Polri Janji Jelaskan Dugaan Penyimpangan Pengadaan Gas Air Mata
Indonesia Corruption Watch temukan dugaan peningkatan harga pada pengadaan gas air mata di Polri. Kompolnas telah bersurat ke Kapolri minta penjelasan hal itu. Polri berjanji akan menjelaskannya dalam waktu dekat.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch mengungkap adanya dugaan penyimpangan pada pengadaangas air mata di Polri pada tahun 2022. Untuk itu, Polri meminta waktu menjelaskan dugaan tersebut.
ICW menemukan keganjilan atas pengadaan gas air mata oleh kepolisian. Pihaknya menemukan dugaan potensi peningkatan harga dalam pengadaan alat pelontar (pepper projectile launcher)dalam penandatanganan kontrak pada Januari 2022.
Pihak kepolisian masih enggan mengonfirmasi dugaan tersebut dan menjanjikan akan menjelaskannya dalam waktu dekat. ”Dalam waktu dekat akan disampaikan terkait hal tersebut (dugaan peningkatan harga pengadaan gas air mata). Saya komunikasikan supaya minggu ini sudah bisa disampaikan,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divis Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Albertus Wahyurudhanto, mengapresiasi temuan ICW yang menunjukkan adanya pantauan kritis dari pihak eksternal pada Polri. Namun, pihaknya tetap akan membuktikan kebenaran dari temuan tersebut. Untuk itu, Kompolnas telah berkirim surat ke Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit melalui Inspektorat Pengawasan Umum Polri untuk meminta penjelasan resmi.
Ia berharap agar internal Polri jadi institusi yang transparan. ”Seperti kemarin disampaikan Pak Presiden (Joko Widodo) pada 1 Juli (2023) bahwa semua (pihak) mengawasi polisi. Saya kira ini harus dipahami pada posisi polisi sebagai insitusi yang menjadi perhatian publik sehingga dia harus melakukan hal-hal sesuai ketentuan yang ada,” tutur Wahyu.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) meluncurkan hasil pemantauan atas pengadaan gas air mata oleh kepolisian. Pembicara berasal dari sejumlah kalangan. Mereka adalah peneliti ICW, Wana Alamsyah; Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali; dan perwakilan Advokasi Internasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Nadine Sherani.
Wana menemukan dugaan potensi peningkatan harga dalam pengadaan alat pelontar pada awal tahun 2022. Dalam analisisnya, harga barang di toko resmi sebesar 479,99 dollar AS yang setara dengan Rp 6,9 juta per unit berdasarkan kurs 24 Februari 2022, asumsi saat pemenang kontrak dapat menyediakan barangnya.
Saat itu, kepolisian membeli 187 unit. Ketika dihitung dengan biaya lain-lain, yakni ongkos kirim, biaya administrasi, dan keuntungan perusahaan, maka seharusnya estimasi total pengadaan barang sebesar Rp 1,6 miliar. Namun, nilai kontrak pemenang tender sebesar Rp 49,9 miliar. Alhasil, ada selisih Rp 48,2 miliar antara estimasi total pengadaan barang dan nilai kontrak pemenang tender.
”Maka, diduga adanya kemahalan harga yang ditetapkan oleh kepolisian saat membuat pagu anggaran. Hal ini berdampak terhadap adanya potensi pemborosan dan dugaan kemahalan harga sekitar 30 kali lipat dari harga yang ditawarkan Byrna selaku produsen projectile launcher,” tutur Wana dalam diskusi daring, Minggu (9/7/2023).
Wana menambahkan, selain peningkatan harga yang mengindikasikan pelanggaran pada proses pembelian perlengkapan gas air mata, sejumlah dugaan pelanggaran lain juga dilakukan.
”Dalam konteks korupsi pengadaan, modusnya biasanya tindakan itu dimulai dari proses perencanaan,” kata Wana. Apabila sebelumnya suatu barang tak ada dalam proses perencanaan, kemudian tiba-tiba muncul, hal ini berisiko mengakomodir sejumlah penyedia tertentu karena dianggap ada ”kontribusi”.
Selain itu, ada juga dugaan perusahaan yang tak berkualifikasi, tetapi tetap dimenangkan panitia pengadaan, kemudian persaingan usaha semu atau persekongkolan horizontal dua perusahaan pada enam paket pengadaan. Dugaan lain terkait adanya perusahaan boneka yang diragukan kapasitasnya.
Hal serupa diutarakan Zakki. Nomine (calon pemenang) dari perusahaan boneka dapat mengorbankan kepentingan nasional, apalagi ketika mendapatkan proyek dengan nilai tender yang besar. ”Perjanjian nomine dapat mengakibatkan kebocoran devisa, penghindaran pajak, monopoli pasar, dan penyalahgunaan sumber daya alam oleh motivasi tidak terkontrol,” kata Zakki.
Menanggapi hal ini, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang disebut ICW ibarat penyakit menahun yang tak pernah terobati.
Menurut dia, hal itu serupa dengan kasus Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas yang tersandung skandal korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM). Ia kemudian divonis 18 tahun penjara, tetapi tak pernah disidang etik. ”Artinya ada pembiaran oleh internal terkait kasus korupsi jika menyangkut elite di internal,” ujar Bambang.
Wana mengatakan, sejumlah pihak perlu bekerja sama untuk memperbaiki kinerja Polri. Beberapa di antaranya butuh ketegasan dari beberapa lembaga, termasuk Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden, katanya, juga perlu mengevaluasi kinerja Polri dan memangkas anggarannya terutama pada aspek pembelian peralatan dan perlengkapan yang berisiko merepresi warga. Selain itu, DPR, khususnya Komisi III, segera memanggil Polri untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan anggaran dan peralatan gas air mata yang menimbulkan korban jiwa, termasuk Tragedi Kanjuruhan yang menelan lebih dari 100 korban jiwa.
Komisi Penyelesaian Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman RI dapat menginvestigasi dugaan-dugaan maladministrasi pengadaan dalam tubuh kepolisian. Adanya persekongkolan horizontal dan prosedur pengadaan perlu diperiksa.
”Beberapa pengadaan diduga mengabaikan prosedur administratif. Salah satunya tadi saat memilih pemenang pengadaan,” ujar Wana.