Tagar ”No Viral No Justice” dan Ekspresi Kekecewaan Publik terhadap Polri
Tagar-tagar #NoViralNoJustice #PercumaLaporPolisi, dan #SatuHariSatuOknum merupakan bentuk kekecewaan serta kritik publik terhadap Polri yang dinilai lamban menindaklanjuti laporan masyarakat.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
Kekecewaan publik terhadap lambannya Kepolisian Negara RI mengusut laporan masyarakat serta sejumlah kasus kejahatan melahirkan tagar no viral, no justice. Tagar itu juga muncul lantaran beberapa kali Polri baru menindaklanjuti laporan masyarakat setelah kasus tersebut viral di media sosial.
Kasus-kasus yang viral cenderung lebih cepat tuntas dibandingkan kasus atau laporan yang tak menyebar luas di media massa ataupun media sosial. Sorotan sekaligus tekanan publik pada proses dan aparatur penegak hukum membuat perkara berjalan lebih efektif dan efisien.
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Rospita Vici Paulyn, menuturkan, sejumlah kasus yang tak segera ditangani melahirkan tagar-tagar sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepolisian. Selain #NoViralNoJustice, muncul pula tagar #PercumaLaporPolisi, #SatuHariSatuOknum, dan lainnya.
”Ketika viral, alasan-alasan yang bersifat birokratis dan formalistik yang mengganggu dalam situasi normal pun dikesampingkan. Jadi lebih mudah mewujudkan keadilan ketika sudah viral,” ujar Rospita dalam Diskusi Publik ”No Viral No Justice: Betulkah Terjadi dan Upaya Mengatasinya” di Gedung Universitas Gadjah Mada Samator Pendidikan, Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Kasus bunuh diri seorang mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang, Novia Widyasari, salah satunya. Ia bunuh diri di samping makam ayahnya di Mojokerto setelah dipaksa aborsi oleh Bripda Randy Bagus. Kasus Novia yang bunuh diri dengan menenggak racun itu baru diproses setelah ramai dibicarakan di media sosial.
Viralnya suatu kasus memang cenderung segera ditanggapi. Namun, kondisi ini justru menciptakan standar ganda pada keadilan. Hal itu juga tak memberi kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum yang sesuai, terutama perkara pidana. Tersangka ditetapkan dalam waktu relatif singkat.
Sejumlah kasus yang tak segera ditangani melahirkan tagar-tagar sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepolisian.
Selain itu, Rospita menambahkan, fenomena ini tak menjamin dan memberi perlindungan hukum. Seluruh informasi pribadi dalam kasus viral, termasuk aib seseorang akan tersebar luas, padahal bersifat rahasia. Tidak hanya itu, putusan hakim dalam kasus tersebut biasanya dinilai sebagai keadilan substantif, sesuai tuntutan keadilan masyarakat.
Survei Litbang Kompas pada 29 April-10 Mei 2023menunjukkan penegakan hukum ada di posisi keempat dengan tingkat apresiasi publik terendah sebesar 59 persen. Meski demikian, citra Polri naik 11,7 persen dari hasil survei Januari 2023 di level 61,6 persen.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas sekaligus anggota Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi, mengatakan, hasil survei itu menggambarkan kepercayaan publik terhadap Polri masih ada. Karena itu, Polri tidak perlu membela diri jika ada kasus yang viral. ”Hadapi dan terbuka kepada publik,” tuturnya.
Perbaiki sistem
Melihat fenomena itu, Rospita mengingatkan agar reformasi supremasi hukum dilanjutkan. Polri juga dapat memperbaiki sistem pelaporan dan hadiah bagi pelapor tindak kejahatan. Para pelaku kejahatan yang terbukti mencoba atau bertransaksi atas nama uang juga harus diberi hukuman tambahan.
Perbaikan sistem penanganan kasus dinilai penting karena penegak hukum memang harus memberikan pelayanan yang lebih baik dan transparan kepada masyarakat. ”Dengan begitu, masyarakat merasa lebih percaya dan tidak perlu mengandalkan viral di media sosial,” kata Rospita.
Kinerja penegak hukum juga harus ditingkatkan. Penanganan kasus hukum dilakukan cepat dan efektif. Keadilan wajib berada di posisi netral. Artinya, setiap orang harus mendapatkan kedudukan dan perlakuan hukum yang sama. Polri juga perlu memastikan untuk merespons dan menindaklanjuti setiap laporan yang diadukan masyarakat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengungkapkan, ratusan anggota Polri yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan telah ditindak tegas. Pada 2020, ada 129 anggota Polri yang melanggar, dan meningkat menjadi 352 anggota di tahun 2021.
”Institusi Polri telah menyiapkan divisi pengawas internal untuk memastikan tidak ada pelanggaran di internal Polri,” ujarnya.
Pengawasan internal dilakukan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), sedangkan pengawasan eksternal dilaksanakan sejumlah lembaga, antara lain Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi III DPR, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Ombudsman RI.
Ramadhan mengakui, tagar no viral no justice merupakan bentuk kontrol masyarakat bagi Polri. Hal ini menambah pengawasan eksternal bagi institusinya.
Kini, setidaknya ada belasan aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk mengakses pelayanan polisi. Salah satunya, aplikasi Pelayanan dan Pengaduan (Yanduan) melalui Whatsapp untuk memudahkan masyarakat mengajukan aduan juga berkomunikasi langsung dengan kepolisian.