Propam Polri masih melanjutkan pemeriksaan terhadap AKBP Tri Suhartanto atas dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 300 miliar. Nominal tersebut dinilai terlampau tinggi bagi seorang ASN.
JAKARTA, KOMPAS — Divisi Profesi dan Pengamanan Polri terus melakukan pemeriksaan terhadap Ajun Komisaris Besar Polisi Tri Suhartanto, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, atas dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 miliar. Polri membuka kemungkinan untuk menggandeng pihak lain untuk pemeriksaan Tri yang kini menjabat sebagai Kepala Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan, ini guna menjamin obyektivitas penyidikan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (6/7/2023), mengatakan, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri masih melanjutkan pemeriksaan terhadap Tri. ”Masih didalami oleh Propam, sedang dalam proses. Bila sudah ada update-nya (hasil pemeriksaan terakhir), nanti kami sampaikan,” ujar Ramadhan.
Sebelumnya, Tri disebut memiliki transaksi hingga Rp 300 miliar. KPK menyatakan bahwa transaksi sebesar Rp 300 miliar itu telah dikonfirmasi, dan diketahui transaksi itu berasal dari bisnis milik Tri yang dijalanin pada 2004-2018 (Kompas.id, 4/7/2023).
Belakangan diketahui pula bahwa selama bertugas di KPK, pada akhir 2018 hingga Februari 2023, Tri juga pernah diperiksa Dewan Pengawas (Dewas) dan Inspektorat KPK. Saat itu, Tri diperiksa terkait dengan dugaan penanganan perkara kasus korupsi eks Bupati Bogor Ade Yasin. Saat itu, menurut Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, baik Dewas maupun Inspektorat KPK sudah memeriksa Tri, dan menyatakan Tri tak terbukti dalam penanganan perkara itu.
Adapun Ade terjaring operasi tangkap tangan KPK pada 26 April 2022 karena menyuap petugas Badan Pemeriksa Keuangan. Ade divonis empat tahun penjara. Vonis tersebut lebih berat dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, yaitu tiga tahun penjara.
Ali mengatakan, pemeriksaan terhadap Tri oleh Dewas dan Inspektorat tidak terkait dengan transaksi Rp 300 miliar. Sebab, transaksi itu dilakukan Tri sebelum gabung KPK. Tri bergabung dengan KPK pada akhir 2018 hingga Februari 2023.
Akan tetapi, anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, membantah bahwa Dewas pernah memeriksa Tri. Ia mengatakan, Tri belum sempat diperiksa Dewas karena sudah dikembalikan ke Polri. Namun, Tri sempat diperiksa oleh Inspektorat sebelum dikembalikan ke Polri. ”Kasusnya lupa, yang jelas bukan soal rekening Rp 300 miliar,” kata Syamsuddin.
Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, nominal Rp 300 miliar bukan jumlah yang sedikit bagi seorang aparatur sipil negara (ASN), bahkan ketika memiliki usaha sekalipun. Tri harus dapat menjelaskan sumber transaksi tersebut. Selain itu, ia juga perlu menjelaskan besaran pajak yang telah dibayar, ada atau tidaknya indikasi pencucian uang, serta penyalahgunaan wewenang.
”Makanya, Undang-Undang (UU) pembuktian terbalik itu memiliki urgensi untuk diterbitkan, untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini,” ujar Bambang.
Ia menilai, mencuatnya dugaan transaksi mencurigakan Tri karena adanya pembiaran terhadap kontrol dan pengawasan internal. Polri dinilai lemah memenuhi kedua unsur tersebut. Jika pun ada, kerap muncul konflik kepentingan karena pengawas merupakan bagian dari pelanggar.
Kondisi serupa dapat terjadi pada anggota Polri lainnya, termasuk anggota KPK yang berasal dari kepolisian. Hal itu merupakan fenomena gunung es. ”Kalau mau ditelisik, oknum-oknum seperti itu sangat banyak. Problemnya, siapa yang mau menelisik bila kewenangan penyidikan yang diberikan negara hanya pada kepolisian,” kata Bambang.
Bambang menambahkan, pemeriksaan terhadap Tri perlu melibatkan pihak lain guna menjaga obyektivitas penyidikan. Polri dapat menggandeng Dewan Pengawas KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Setelah kasus ini, idealnya perlu ada pemeriksaan komprehensif dan berkala. Namun, saat ini masalahnya ada pada siapa yang akan memeriksa dan kemauan diperiksa ketika tak ada UU yang mengatur.
Rekening gendut
Berkaca pada kasus-kasus rekening ”gendut” di tubuh Polri, kebanyakan masalah itu tak diusut tuntas. Selama tak ada perubahan regulasi, sistem kontrol, dan pengawasan, kasus serupa pasti akan terulang lagi.
”Apalagi bila publik sudah mulai apatis untuk melakukan pengawasan pada perilaku personel aparat penegak hukum. Apatisme itu didasari karena tidak adanya tindakan maupun sanksi yang tegas bagi pelanggaran etik semacam itu,” ujar Bambang.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan akan memproses Tri jika ditemukan pelanggaran (Kompas.id, 5/7/2023).