Pemerintah Menghendaki Dibentuknya Penjaga Pesisir Indonesia
Sebagai wilayah perairan, Indonesia menyimpan beragam potensi sumber daya alam yang sekaligus berisiko menimbulkan ancaman keamanan laut. Untuk itu, pemerintah menginginkan hadirnya Penjaga Pesisir Indonesia.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menghendaki dibentuknya Penjaga Pesisir Indonesia atau Indonesia Coast Guard untuk menjaga keamanan wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Kehadirannya untuk mengatasi berbagai ancaman yang senantiasa dihadapi di kawasan perairan Indonesia, baik itu penyelundupan manusia dan barang maupun penangkapan ikan secara ilegal.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD, keinginan membentuk Penjaga Pesisir Indonesia itu sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. ”Lembaga itu berfungsi menjaga keamanan, penyelenggaraan keselamatan, serta penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia,” ucapnya dalam Seminar Pembangunan Keamanan Laut untuk Mendukung Pencapaian Target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Selain Mahfud, hadir pula pembicara lainnya di seminar itu, yaitu CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa serta Christina Aryani dan Bobby Adhityo Rizaldi selaku anggota Komisi I DPR. Hadir juga Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Aan Kurnia serta Deputi Bidang Polhuk dan Keamanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bogat Widyatmoko sebagai pemberi materi.
Dalam uraiannya, Mahfud menyampaikan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-14 negara terluas dengan wilayah daratan dan perairan yang cukup luas. Selain itu, letaknya juga strategis dan memiliki sumber daya alam yang beragam. Dengan kondisi yang demikian, Indonesia menghadapi beragam risiko ancaman, seperti pelanggaran batas wilayah, penangkapan ikan ilegal, penyelundupan manusia atau barang, dan pencemaran lingkungan.
”Posisi secara geografis berdampak pada tingginya aktivitas kemaritiman dan kepentingan dengan segala permasalahannya, baik dalam skala nasional maupun internasional,” ujar Mahfud.
Dalam situasi isu geopolitik nasional cukup stabil, kata Mahfud, itu masih hadapi ancaman dari dalam dan luar negeri. Salah satu ancaman perairan yang perlu menjadi perhatian adalah yang berkaitan dengan perkembangan teknologi, karena kondisi itu dapat menimbulkan masalah kriminalitas di kawasan maritim (maritime cyber risk).
Sebagai isu strategis, menurut Mahfud, Presiden Jokowi mengarahkan kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan di laut harus memiliki pemahaman yang sama terkait dengan keamanan laut dengan mengutamakan kepentingan negara dan nasional serta terkoordinasi dengan baik. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.
Dalam perspektif yang lebih luas, Mahfud berharap agar peradaban bahari dapat terbangun. ”Budaya bahari itu, perbedaan boleh ada, tapi jangan sampai membuat kita guncang, apalagi sampai hancur,” katanya.
Menurut Mahfud, Presiden Jokowi mengarahkan kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan di laut harus memiliki pemahaman yang sama terkait dengan keamanan laut.
Menurut dia, budaya bahari sama dengan membangun kerukunan. Sebab, saat ini, semua orang ditimpa budaya kontinen yang menekankan pada persaingan untuk saling mengalahkan demi mencapai kemenangan. ”Kita tidak boleh kalah membangun teknologi di bidang keamanan, tapi (juga) di bidang demokrasi, ideologi, dan budaya supaya ikut dan mengembangkan budaya dan peradaban bahari,” tambah Mahfud.
Syarat pembangunan
Mas Achmad Santosa mengatakan, sistem keamanan laut berperan penting bagi suatu negara. Sistem keamanan laut yang responsif dan tangguh merupakan syarat pembangunan. Sebab, hal itu berpengaruh pada berbagai inisiatif pemanfaatan dan perlindungan ekosistem laut dari tingkat nasional hingga global.
Isu-isu lain yang tengah jadi perhatian global dan regional terkait dengan maritim adalah tata kelola keanekaragaman hayati, perubahan iklim berdampak pada laut, peningkatan aktivitas militer dan semi militer di sejumlah tempat, serta kasus pelanggaran HAM di laut.
”Arah pembangunan yang sudah ditetapkan dalam RPJPN 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2030 seharusnya juga merespons isu-isu di atas sehingga berbagai dinamika dapat kita antisipasi dan atasi,” kata Achmad.
Bagi DPR, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, apa pun bentuk keamanan yang diajukan pemerintah akan diterima. Namun, keberadaannya tetap harus diakui secara internasional, seperti dilakukan Taiwan. ”Yang penting coast guard itu memiliki relevansi dengan organisasi maritim dunia karena dia harus diakui sebagai sesuatu yang resmi,” ujar Bobby.
Penjagaan ini, lanjutnya, perlu memperhatikan fungsinya untuk menghalau Operasi Zona Abu-abu atau Grey Zone Operation yang dilakukan China di wilayah Laut China Selatan atau klaim sembilan garis putus-putus (nine dash-line). ”Kita perlu punya national coast guard, organisasi sipil, tetapi punya kekuatan paramiliter,” kata Co-chair Oceans Caucus itu.
Menurut dia, Operasi Zona Abu-abu ini telah mengganggu kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, Bobby juga menyarankan pembentukan entitas sipil yang memiliki kemampuan militer.