Tantangan Keamanan Laut Perbatasan dan Mengelola Laut Natuna Utara
Presiden Joko Widodo menyatakan, tidak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Kehadiran aparat penegak hukum, seperti Bakamla, perlu ditopang aktivitas ekonomi dan langkah diplomatik.
Pertarungan geopolitik di kawasan regional Asia, khususnya Laut China Selatan (LCS), saat ini masih tetap hangat dengan meningkatnya interaksi kepentingan nasional negara pantai dan negara yang berkepentingan di LCS.
Kebijakan asertif ala China serta strategi perimbangan Amerika Serikat (AS) dan aliansinya melalui Kebijakan Indo-Pasifik yang ingin mendorong kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, terkoneksi, sejahtera, dan aman, ibarat menjadi embusan angin yang terus menjaga api konflik tetap menyala di LCS.
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan LCS menempatkan diri sebagai negara non-claimant (negara yang tak menuntut klaim atas LCS) dalam kisruh Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash-line) China. Kementerian Luar Negeri RI telah menegaskan tidak ada masalah perbatasan dengan China. Pernyataan sikap itu disampaikan melalui Perwakilan Tetap RI di New York dalam bentuk nota diplomatik ke Sekjen PBB, menegaskan posisi Indonesia yang menolak, atas dasar hukum internasional, terhadap klaim China yang hanya berdasarkan historical rights.
Suatu masalah perbatasan hanya ada jika kedua pihak yang bersengketa bisa saling menunjukkan koordinat titik batas sesuai klaimnya. Syarat ini tidak dapat dipenuhi oleh China sehingga tentu tak mungkin bagi Indonesia untuk turut berunding masalah perbatasan, sebagaimana diinginkan China, melalui pendekatan bilateral.
Tentu saja berbeda dengan negara-negara lain yang berbatasan langsung dengan Indonesia, di mana mereka memiliki titik-titik pangkal koordinat yang membentuk garis pangkal lurus sebagai dasar klaim mereka.
Perundingan batas laut memang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang lama karena ada banyak rezim laut yang berbeda pengaturannya.
Tantangan Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar di kawasan, Indonesia memiliki wilayah perbatasan laut dengan 10 negara, yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Niugini, Republik Vanuatu, Singapura, Thailand, Timor Leste, serta Vietnam, dan semuanya belum tuntas.
Perundingan batas laut memang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang lama karena ada banyak rezim laut yang berbeda pengaturannya. Kondisi ini menciptakan overlapping claim atau wilayah abu-abu yang secara tidak langsung menyebabkan timbulnya risiko-risiko pelanggaran hukum dan kedaulatan.
Wilayah perbatasan yang belum selesai menyebabkan status quo yang memiliki risiko pelanggaran hukum seperti IUUF (illegal, unreported, unregulated fishing/kegiatan perikanan yang tak sah, tak dilaporkan pada institusi pengelola perikanan yang berwenang, dan kegiatan perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang ada), kejahatan transnasional (transnational crime), serta pelanggaran wilayah.
Baca juga: Tingkatkan Kinerja Bakamla
Untuk mengatasi ini perlu kehadiran aparat penegak hukum yang membangun daya gentar terhadap aktor pelaku pelanggaran hukum itu. Selain itu juga diperlukan pendekatan tertentu seperti provisional arrangement atau kesepakatan bersama pengaturan di wilayah abu-abu sambil menunggu proses penyelesaian batas wilayahnya.
Dari sekian banyak wilayah perbatasan laut, tidak dapat dimungkiri bahwa Laut Natuna Utara (LNU) merupakan wilayah yang paling mendapat perhatian dan prioritas karena selain masih ada overlapping claim dengan Vietnam, LNU juga berbatasan langsung dengan LCS yang tengah memanas sehingga perlu dijaga dan diamankan.
LNU pun telah masuk dalam bagian Prioritas Nasional (PN) ketujuh, yaitu memperkuat stabilitas polhukhankam melalui penguatan keamanan laut di Natuna. Potensi sumber daya alam, jalur perdagangan, dan lalu lintas energi membuat LNU memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional Indonesia.
Lalu, bagaimana mengelola LNU untuk kepentingan nasional Indonesia? Ini tantangan yang besar karena tentu saja pengelolaannya harus melibatkan banyak pihak. Di tengah keterbatasan dan ancaman yang harus dihadapi, kondisi kekuatan dan peluang yang dimiliki, perlu ada langkah dan upaya strategis yang disiapkan untuk menghadapi situasi yang ada.
Luasnya wilayah dan gelar patroli yang dihadapkan pada ketersediaan sumber daya pemantauan, lalu adanya kredibilitas dan nilai strategis Indonesia yang dihadapkan dengan risiko keamanan laut melahirkan pendekatan strategis presence at sea, explore/exploit the sea, dan trust build by sea.
Pendekatan ini diperlukan dalam mengelola LNU untuk menghadapi risiko spill over konflik di LCS yang tentu akan mengganggu hak berdaulat dan kedaulatan RI di LNU. Perlu diwaspadai, konflik sekecil apa pun yang terjadi di laut bisa memicu perang atau konflik yang melelahkan dan berkepanjangan.
Presiden Joko Widodo telah menyatakan, tidak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.
Mengelola LNU
Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat memiliki sikap yang sangat tegas. Presiden Joko Widodo telah menyatakan, tidak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Artinya, segala upaya harus dilakukan untuk menjamin kedaulatan yang diwujudkan dalam bentuk penegakan hukum. Dengan demikian, sudah sangat jelas sikap aparat penegak hukum di perairan dan yurisdiksi Indonesia LNU.
Hal ini telah ditunjukkan oleh TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang secara konsisten hadir di LNU untuk menunjukkan eksistensi kehadiran penjagaan sebagai wujud kedaulatan Indonesia.
Kehadiran aparat penegak hukum ini (presence at sea) perlu juga ditopang dengan kehadiran aktivitas ekonomi (explore/exploit the sea) dan langkah diplomatik (trust build by sea). Kegiatan perikanan dan penelitian di LNU harus digiatkan, kalau perlu ada program khusus yang bertujuan menghadirkan kapal-kapal nelayan yang secara khusus menunjukkan kehadiran aktivitas ekonomi sebagai bentuk penguasaan ekonomi atas wilayah itu.
Demikian juga langkah diplomatik pada tataran di bawah Kementerian Luar Negeri juga perlu ditingkatkan intensitasnya, misalnya dalam bentuk navy to navy talk atau coast guard to coast guard talk.
Dengan demikian, sudah sangat jelas sikap aparat penegak hukum di perairan dan yurisdiksi Indonesia LNU.
Bicara tentang kehadiran di laut, daya tangkal terhadap ancaman keamanan maritim dapat dicapai melalui kehadiran simbol negara karena kehadiran ini secara langsung menekan niat dari aktor ancaman. Formulasi matematis ancaman, menurut Richmond Lloyd, ancaman adalah hasil perkalian dari capability dan intention. Dengan mengecilkan atau menge-nol-kan salah satu variabel akan menekan ancaman.
Ada setidaknya enam instansi pemerintah yang memiliki kapal patroli, tetapi jumlah totalnya saja untuk kapal berukuran besar yang dapat beroperasi ocean going sangat terbatas jika dibandingkan dengan luas wilayah laut yang harus diamankan. Terbatasnya sarana patroli untuk menopang kehadiran perlu diatasi melalui gelar patroli bersama.
Selain kehadiran aparat penegak hukum, penguasaan efektif sebenarnya telah dilakukan dalam bentuk penerapan penegakan hukum berdasarkan UU nasional yang secara unilateral dilaksanakan penuh oleh aparat penegak hukum.
Caranya, dengan melakukan tindakan-tindakan hukum pada pelaku pelanggaran, seperti kapal ikan asing yang kedapatan melakukan penangkapan ikan ilegal di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia LNU.
Namun, tindakan itu belum cukup karena wilayah laut yang tersedia itu sendiri perlu untuk dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. ZEE Indonesia LNU saat ini masih jarang dimanfaatkan, terlebih karakter nelayan penduduk Pulau Natuna yang soliter, dan belum optimalnya peralatan tangkap yang dimiliki sehingga jangkauan melaut juga hanya berkisar laut teritorial.
Sementara itu, potensi perikanan tangkap di Natuna berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 baru berkisar 104.879,82 ton per tahun dari 613.429 ton yang boleh dimanfaatkan. Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara baru untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya perikanan.
Nelayan pada hakikatnya juga merupakan agen informasi terdepan bagi pengawasan langsung aktivitas di permukaan laut karena tingkat kehadiran mereka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapal patroli aparat yang memang sangat terbatas jumlahnya. Bakamla RI pada akhir tahun lalu mengusulkan konsep Nelayan Nasional Indonesia yang selain bekerja sebagai nelayan, juga mengemban tugas untuk memantau dan hadir di wilayah laut yang masih sengketa dengan tentu saja dikawal oleh aparat.
Sementara terkait dengan langkah diplomatik, ASEAN sebagai lembaga regional yang dibangun dengan prinsip konsensus bersama sampai saat ini mampu menunjukkan perannya dalam menjaga stabilitas kawasan. Sejak dibentuk tahun 1967, ASEAN menjadi kawasan yang kondusif, aman, dan damai. ASEAN dapat terus mempertahankan kredibilitasnya sehingga mendapatkan kepercayaan dunia internasional dan menjadi harapan bagi banyak pihak untuk dapat meredam semua konflik yang ada di kawasan regional ASEAN.
Isu kejahatan transnasional, IUUF, dan pelanggaran wilayah tentu menjadi fokus bersama dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara baru untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya perikanan.
Terlepas dari konflik di LCS tersebut, forum ASEAN Coast Guard (ACF) yang belum ada ini perlu untuk dibentuk sebagai wadah bagi sesama negara ASEAN yang saling berbatasan untuk menghadapi setiap permasalahan maritim bersama terkait keamanan maritim.
Forum ini jadi sarana trust building dan capacity building melalui pertemuan pimpinan, pendidikan, dan pelatihan personel pasukan penjaga pantai (coast guard). Forum ACF ini tentu akan menguatkan superstruktur forum di atasnya yang sudah ada, yaitu ASEAN Maritime Forum, yang juga menopang komunitas politik dan keamanan ASEAN. ACF diharapkan mampu membangun kesamaan paradigma negara ASEAN dalam memecahkan berbagai masalah kemaritiman.
Pada akhirnya kita menginginkan LCS yang berbatasan langsung dengan LNU tetap jadi laut yang aman, damai, dan sejahtera. Laut yang dapat dilalui kapal-kapal dagang. Ini menjadi tujuan Indonesia serta negara-negara ASEAN pada umumnya. Hal ini tentu dapat dicapai jika semua pihak menghormati dan mematuhi ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982.
Dan, yang terpenting adalah selalu menghadirkan simbol-simbol negara di LNU dalam rangka pertahanan keamanan, ekonomi, dan diplomasi sehingga LNU dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional Indonesia.
Aan Kurnia Kepala Bakamla RI