KPK yang pernah tersohor sebagai ”pulau” integritas terus tergerus oleh ulah dari dalam lembaga antirasuah tersebut. Hal itu disebut sebagai imbas revisi UU KPK dan faktor kepemimpinan KPK saat ini.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Kabar tak sedap seolah tak berhenti muncul dari Komisi Pemberantasan Korupsi di masa kepemimpinan Firli Bahuri. Mulai dari pimpinannya yang bergantian dilaporkan karena pelanggaran kode etik kini berlanjut ke bawahannya yang juga terindikasi kuat melanggar kode etik, bahkan pidana. Integritas yang dulu selalu dijunjung tinggi oleh lembaga antirasuah tersebut kini tampak mulai tergerus.
Pada Senin (19/6/2023), Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan hasil penelusurannya atas laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. Dewas KPK memutuskan melanjutkan laporan atas Tanak ke sidang etik menyusul temuan komunikasi Tanak dengan Pelaksana Harian Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Idris Sihite, pihak yang beperkara dengan KPK.
Dewas KPK memang memutuskan menghentikan laporan atas Firli terkait kebocoran hasil penyelidikan dugaan korupsi tunjangan kinerja di Kementerian ESDM karena tak cukup bukti. Namun, sehari setelah pengumuman Dewas KPK, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto menyampaikan bahwa pihaknya menemukan peristiwa pidana dalam kasus dugaan kebocoran hasil penyelidikan tersebut sehingga kini kasus itu tengah disidik kepolisian.
Sebelum kedua kasus itu, ada kasus-kasus pelanggaran kode etik lain oleh pimpinan KPK periode 2019-2024. Firli, misalnya, sudah pernah dijatuhi sanksi oleh Dewas KPK karena terbukti menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi, Juni 2020. Kemudian, Lili Pintauli Siregar sebelum berhenti dari jabatan Wakil Ketua KPK dan posisinya digantikan Tanak juga pernah dinyatakan melanggar kode etik. Lili bahkan mengundurkan diri dari jabatannya saat Dewas KPK menyidangkan dugaan gratifikasi yang ia diterima.
Tak sebatas di level pimpinan, bawahan pun ikut mencoreng marwah KPK. Di hari yang sama saat Dewas KPK mengumumkan status laporan atas Firli dan Tanak, instansi pengawas KPK itu mengungkap adanya dugaan pungutan liar (pungli) Rp 4 miliar di rumah tahanan (rutan) KPK. Belakangan, terkuak lagi adanya pelecehan seksual oleh petugas rutan KPK terhadap istri salah seorang tahanan KPK.
Dengan adanya rentetan kasus itu, aktivis antikorupsi Todung Mulya Lubis merasa prihatin. Sebagai pengamat KPK sekaligus kerap dilibatkan dalam panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK, ia tidak pernah melihat KPK terdegradasi seperti ini sebelumnya.
”Saya baru sekali ini mendengar dan melihat betapa demoralisasi dalam tubuh KPK dan degradasi KPK itu terjadi dalam bentuk yang sangat dahsyat,” ujar Mulya dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk ”Citra KPK Terpuruk, Mengapa?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (28/6) malam.
Selain Mulya, narasumber dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah pemimpin KPK periode 2014-2019, Saut Situmorang, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron hadir secara daring.
Mulya menyampaikan, ketika dulu menjadi Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, ia melihat KPK sebagai ”pulau” integritas di mana tidak boleh ada korupsi dan pelanggaran etika. Namun, sekarang ini justru banyak sekali terdengar kasus pelanggaran etika dan korupsi di tubuh KPK.
”Nah, ini menunjukkan bahwa KPK tidak bisa sebagai pulau integritas. Waktu saya menjadi pansel calon pimpinan KPK, saya mengatakan, persyaratan untuk menjadi pimpinan KPK adalah nomor satu itu integritas, nomor dua itu integritas, dan nomor tiga itu integritas. Dan ini turunannya mesti ke bawah. Semua staf dan pegawai KPK mesti punya integritas,” kata Mulya.
Situasi KPK kini dilihatnya berbeda dengan saat-saat awal seusai dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perubahan disebutnya akibat revisi UU KPK pada 2019. Sejak saat itu, mulai terjadi pelemahan terhadap KPK dan timbul juga demoralisasi serta degradasi pada tubuh KPK. Salah satu dampak yang terasa akibat revisi undang-undang ialah penyingkiran pegawai-pegawai KPK yang berintegritas melalui tes wawasan kebangsaan pada 2021.
”Jadi, saya melihat KPK ini memang dihadapkan pada dua hal. Pertama, undang-undang yang melemahkan KPK, di mana banyak sekali hak-hak dan kewenangan KPK yang dipereteli undang-undang. Kedua, kepemimpinan yang memang tidak seperti yang kita harapkan kalau kita bandingkan dengan KPK pada periode-periode sebelumnya,” tutur Mulya.
Kritik terhadap Dewas
Saut Situmorang mengatakan tidak kaget dengan situasi KPK saat ini. Ia bahkan menyebut ”bencana” di tubuh KPK ini sudah diperkirakan ketika revisi UU KPK mulai diterapkan.
Kala itu, ia melihat setidaknya ada 26 poin kelemahan akibat UU KPK yang baru, di antaranya KPK tidak lagi menjadi institusi independen, KPK akan bermain politik, serta KPK akan lemah dalam nilai-nilai dan norma pemberantasan korupsi. ”Ironisnya, bahkan Dewas KPK tidak mampu mengawasi nilai yang mereka buat sendiri. Nilainya itu, kan, sekarang, integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme, dan kepemimpinan. Nah, ini semua dilanggar,” ujar Saut.
Ekses dari revisi UU KPK itu pun terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang menurun tajam. Sejak 2002, IPK terus meningkat, bahkan sempat menyentuh skor 40 dari skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) pada 2019. Namun, pascarevisi UU KPK, skor IPK menurun, hingga pada 2022 berada di skor 34.
Melihat situasi ini, Saut mengusulkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengembalikan KPK ke undang-undang sebelumnya. Jika perppu terbit, ia meyakini, KPK akan kembali ke khitah perjuangan awal.
Arsul Sani mengungkapkan, perubahan kembali UU KPK merupakan keniscayaan karena undang-undang bukanlah kitab suci. Ia pun melihat KPK saat ini perlu diruwat. Dibutuhkan perubahan manajemen karena ia melihat masalah utamanya bersumber pada perilaku personal KPK.
Ia mengingatkan, KPK tidak bisa terus-terusan melalui jalan yang diyakini paling baik. KPK harus terbuka terhadap respons dan kritik publik. Dalam kasus penyelidikan kasus pungli di rutan KPK, misalnya, KPK dapat meminta penegak hukum lain untuk menyelidikinya.
”Itu akan lebih baik untuk menunjukkan pada masyarakat kredibilitas proses hukum yang dijalankan dalam kasus ini. Kejadian seperti ini sekali lagi menunjukkan bahwa ada yang hilang dalam pengawasan internal. Itu harus diakui. Karena kalau tanpa pengakuan, yang ada itu adalah denial (penyangkalan), maka akan sulit melakukan perbaikan,” ujarnya.
Nurul Ghufron menyampaikan, integritas atau marwah sebuah lembaga tidak bisa hanya disandarkan pada orang per orang, tetapi sistemnya. Karena itu, jika kemudian ada pegawai atau bahkan pimpinan KPK yang bersalah, mereka akan diproses melalui saluran hukum. ”Ini cara kami membangun KPK yang kemudian terjaga integritasnya secara sistemik, sesuai aturan,” katanya.
Terkait pungli di rutan KPK, menurut dia, hal itu sudah terjadi sejak 2018 atau sebelum pimpinan KPK periode 2019-2024. ”Ini yang perlu diklarifikasi, seakan-akan tiba-tiba begitu, semuanya hancur dan berakhir di periode kami. Jadi, mari kita bicara reflektif ke depan. Kita tidak saling menyalahkan. Ini bukan soal tiba-tiba,” kata Ghufron.
Meski demikian, pimpinan KPK saat ini berkomitmen menuntaskannya. KPK mencoba menyelesaikan dari sisi pidana, kedisiplinan pegawai, hingga perbaikan manajemen rutan.