KPU Minta Rekrutmen Penyelenggara Pemilu Ditata Ulang
Ketua KPU Hasyim Asy'ari berharap, di masa mendatang, pengisian anggota KPU provinsi serta KPU kabupaten/kota dilakukan sebelum tahapan pemilu dimulai.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum berharap agar rekrutmen penyelenggara pemilu ditata ulang. Selaras dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi, KPU juga menilai rekrutmen penyelenggara pemilu idealnya dilakukan sebelum tahapan pemilu dimulai.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan, saat ini rekrutmen penyelenggara pemilu tidak bisa dilakukan secara serentak. Sebab, akhir masa jabatan setiap anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berbeda-beda. Oleh karena itu, rekrutmen disesuaikan dengan berakhirnya jabatan anggota KPU periode sebelumnya.
Menurut Hasyim, rekrutmen penyelenggara yang dilakukan bergelombang, bahkan dilakukan di tengah tahapan pemilu, merupakan situasi yang tidak ideal. Semestinya, rekrutmen perangkat-perangkat pemilu, termasuk penyelenggara atau anggota KPU di semua tingkatan, dilakukan sebelum dimulainya tahapan pemilu. Namun, hal itu baru bisa dilakukan jika ada revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya mengatur perekrutan penyelenggara pemilu.
”Apa yang disampaikan di dalam pertimbangan putusan uji materi di MK untuk pengisian anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sebaiknya ke depan ditata ulang,” ujar Hasyim seusai pelantikan anggota KPU kabupaten/kota di kantor KPU, Jakarta, Rabu (28/6/2023).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 120/PUU-XX/2022 yang dibacakan Selasa (27/6/2023) menegaskan, makna keserentakan yang dimaksudkan di dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 sebenarnya tak hanya keserentakan pada penyelenggaraan pemungutan suara. Akan tetapi, keserentakan itu juga meliputi unsur-unsur penting dalam tahapan penyelenggaraan pemilu, salah satunya pengisian penyelenggara pemilu.
”Oleh karena telah diadopsi model pemilu secara serentak, tidak ada pilihan lain selain melakukan pengisian penyelenggara pemilu secara serentak,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan.
Dalam pertimbangannya, MK memberi rambu-rambu apabila pembentuk undang-undang melakukan penyesuaian terhadap UU No 7/2017 tentang Pemilu, khususnya soal perekrutan penyelenggara pemilu, agar dikaitkan dengan keserentakan pemilu. Pertama, perekrutan penyelenggara pemilu harus dilakukan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilu. Kedua, perekrutan tersebut hendaknya didesain dengan lebih baik sehingga menghasilkan penyelenggara yang mampu mewujudkan asas-asas pemilu yang ada dalam Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945.
Dengan desain yang baik, proses perekrutan dapat menghasilkan anggota KPU dan Bawaslu yang kompeten serta memiliki integritas, juga mampu menjaga independensi terhadap semua peserta pemilu. Ketiga, penyelenggara pemilu hasil perekrutan itu hendaknya juga dibekali secara memadai melalui pelatihan, workshop, atau bimbingan teknis pelaksanaan tugas kepemiluan.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, ketiga pertimbangan MK tersebut akan berkonsekuensi perlunya pembentuk UU menata dan menyelasarkan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu di semua tingkatan yang saat ini berserakan. Revisi perlu dilakukan agar rekrutmen penyelenggara pemilu secara serentak bisa dilakukan sebelum dimulainya tahapan Pemilu 2029. Dengan demikian, tidak boleh ada penyelenggara pemilu yang direkrut saat tahapan pemilu sedang berlangsung.
”Putusan MK ini sebenarnya memberi peluang perpanjangan masa jabatan penyelenggara untuk Pemilu 2024 demi mewujudkan keserentakan rekrutmen. Namun, karena permohonan dilakukan saat seleksi sudah dilakukan KPU, hal itu menjadi tidak relevan untuk diimplementasikan saat ini,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Titi, pemerintah dan DPR tetap harus melakukan simulasi atau menyusun skenario agar rekrutmen penyelenggara Pemilu 2029 mendatang bisa dilakukan serentak sebelum masuk tahapan pemilu. Seleksi sebelum tahapan pemilu juga diyakini bisa menjaga kondusivitas tahapan pemilu karena penyelenggara tidak disibukkan oleh pekerjaan di luar pelaksanaan tahapan pemilu.
”Dengan demikian, fokus dan integritas penyelenggara juga lebih bisa terjaga,” katanya.
Lebih jauh, ujar Titi, salah satu isu krusial lainnya yang juga perlu dipertimbangkan adalah soal relevansi mempertahankan kelembagaan penyelenggara pemilu yang permanen di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hal itu mengingat penyelenggaraan pemilu dan pilkada dilangsungkan pada tahun yang sama setiap lima tahun sekali. Dampaknya, akan banyak kekosongan kerja yang akan dihadapi penyelenggara pemilu.