Airlangga: Keberanian Memimpin di Persimpangan Jalan
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto melihat, pada 2024, Indonesia masih akan ada di persimpangan jalan. Lalu, apa gagasan Airlangga untuk membawa Indonesia keluar dari persimpangan dan menjadi negara maju?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F16%2Fa3a499c5-373d-4f14-b317-998ecc457828_jpg.jpg)
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Dengan wajah semringah, Airlangga Hartarto keluar dari ruang kerjanya di gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, untuk menyambut kedatangan kami di suatu petang pada pertengahan Juni lalu. Ia pun menyodorkan tangan, lalu menyalami kami satu per satu sambil mempersilakan masuk. Airlangga sudah menunggu kedatangan kami selepas menuntaskan pekerjaan hariannya sebagai menteri koordinator di Kabinet Indonesia Maju.
Kendati ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga tak keberatan untuk membicarakan pandangannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar serta dinamika politik menjelang Pemilu 2024. Hanya saja, Airlangga mewanti-wanti bahwa tak semua hal bisa ia ungkap. ”Karena yang namanya politik, itu justru yang tidak bisa dibocorkan,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Itu hanya satu lelucon yang ia sampaikan ketika baru saja bertemu. Selama perbincangan berlangsung sekitar satu jam, ada saja guyonan lain yang ia kemukakan. Asumsi bahwa Menko Perekonomian adalah sosok yang kaku karena selalu berhadapan hal-hal yang ”berat” dan serius seketika berganti menjadi seorang pemimpin humoris dan penuh keceriaan. Seperti ketika ia membahas kemeja batik bernuansa kuning yang dikenakan. ”Kuning itu, kan, happy color, he-he-he,” ujar Airlangga.
Saat memaparkan strategi Golkar menghadapi pemilu, Airlangga yang juga menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Wushu Indonesia mengibaratkannya seperti jurus wushu. Ada jurus taolu yang mengandalkan gerak individu sembari memanfaatkan tenaga lawan. Ada pula sanda, yakni pertarungan yang jurus-jurusnya harus menyesuaikan dengan konteks di lapangan. ”Jadi, mana yang butuh tenaga lawan, mana yang butuh tenaga kepruk, ha-ha-ha. Partai Golkar siap untuk semua kekuatan. (Tetapi) pertandingan masih jauh, sekarang friendly game dulu,” ujarnya.
Lihat juga: Airlangga Hartarto Jelaskan Perjalanan Partai Golkar di Setiap Gelaran Pemilu di Indonesia
Airlangga pun menekankan, Partai Golkar melalui Musyawarah Nasional (Munas) 2019, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) 2021, dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2023 telah memberikan mandat kepada ketua umumnya untuk menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres), serta menentukan langkah strategis dalam menghadapi Pilpres 2024. Ia percaya diri bisa mewujudkan mandat itu meski berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, tingkat keterpilihannya masih tertinggal dibandingkan dengan sejumlah bakal capres dari parpol dan gabungan parpol lain. Merujuk survei Litbang Kompas pada Mei lalu, tingkat elektabilitas Airlangga di bawah 1 persen.
Hasil survei, menurut Airlangga, tak serta-merta merepresentasikan suara pemilih. Sebab, suara pemilih yang sesungguhnya ada di tempat pemungutan suara (TPS). Untuk mengoptimalkan perolehan suara di TPS, partai yang didirikan sejak 1964 itu pun sudah membangun infrastruktur hingga ke level paling bawah.
”Jadi, kalau di TPS, kami sudah siapkan dengan teman-teman. Golkar itu, kan, salah satu partai yang kekuatannya sampai ke grass root, sampai ke desa-desa. Kalau di survei itu, kan, 1.000 responden, beda ya dengan 250 juta orang yang memilih, itu akan berbeda,” tuturnya.
Airlangga meyakini, kekuatan infrastruktur Golkar bisa menopang perolehan suara jika dirinya maju di Pilpres 2024. Apalagi, segmentasi pemilih parpol yang bersifat karya-kekaryaan itu diperkirakan mencapai 50 persen dari total jumlah pemilih. Meski pangsa pemilih tersebut bakal diperebutkan beberapa parpol lain, seperti Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat, Airlangga meyakini bahwa Golkar yang telah 11 kali mengikuti pemilu akan lebih unggul.

Bekal sebagai ketua umum parpol itu juga dipandang bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi Airlangga. Sejumlah bakal capres yang saat ini tercatat memiliki elektabilitas tinggi seperti Gubernur Jawa Tengah yang juga bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan sekaligus bakal capres dari Partai Gerindra Prabowo Subianto, serta mantan Gubernur DKI Jakarta yang diusung menjadi bakal capres dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera Anies Baswedan tidak memiliki privilese seperti yang dimiliki Airlangga selaku Ketua Umum Golkar.
”Yang membedakan (dengan ketiga bakal capres itu) adalah Ketua Umum Golkar. Kami punya pasukan. Golkar ini, kan, punya pengalaman untuk membangun dan pengalaman itu terakumulasi. Senior-senior Golkar pun masih hidup dan masih berkontribusi,” tutur Airlangga.
Terlepas dari itu, Airlangga menganggap ketiga sosok tersebut sebagai sahabat. Sebab Ganjar, Anies, dan dirinya sama-sama alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sementara Prabowo merupakan salah satu peserta konvensi calon presiden Golkar pada 2004.
Rekam jejak membangun
Bagi Airlangga, posisi Golkar sebagai parpol berpengalaman tidak hanya bermanfaat untuk menghimpun suara. Rekam jejak sebagai partai yang tidak pernah berada di luar pemerintahan itu juga menjadi bukti, Golkar mampu mengawal program pembangunan terus berjalan. Tak hanya semasa Orde Baru, tetapi juga pasca-Reformasi. Mulai dari pemerintahan Presiden ke-3 RI Habibie, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Persiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden ke-7 RI yang masih menjabat sampai sekarang, Joko Widodo.
Baca juga: Ganjar: Komitmen Menghadirkan Pemerintahan Bersih dan Melayani

Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto
Selama mendampingi enam presiden, setidaknya ada tiga hal yang bisa dituntaskan Golkar. Pertama, program teknokratis. Kedua, menyusun target-target pembangunan. Terakhir, bekerja sama dengan parlemen sehingga Indonesia bisa melakukan reformasi dari segi legislasi.
”Jadi, ya, ke depan memang yang paling aman kalau Golkar ada di dalam pemerintahan. Artinya, lebih baik lagi kalau dipimpin oleh Partai Golkar,” ucap Airlangga.
Apalagi, Golkar juga telah membuat peta jalan pembangunan Indonesia hingga 2045. Sejak dipimpin Aburizal Bakrie (2009-2019), Golkar telah memetakan situasi dan menganalisis berbagai pengungkit yang bisa dioptimalkan dalam pembangunan untuk memastikan Indonesia menjadi negara maju.
Selama ia menjabat Menko Perekonomian, kebijakan-kebijakan yang diusulkan Golkar juga dianggap membantu Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 dengan pertumbuhan ekonomi yang terjaga. Bahkan, pada 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,31 persen merupakan angka tertinggi sejak periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi pada 2014.
Persimpangan jalan
Dengan bekal sebagai Ketua Umum Golkar yang menjabat Menko Perekonomian sejak 2019 hingga sekarang, Airlangga menyebut dirinya sebagai sosok yang bisa melihat tantangan Indonesia ke depan. Menurut dia, pada 2024, Indonesia akan berada di persimpangan jalan, yakni pilihan menjadi negara maju pada 2045 atau tetap tinggal sebagai negara berpendapatan menengah.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa mengambil kebijakan di tengah dinamika geopolitik dan ekonomi global. Mulai dari perang antara Rusia dan Ukraina yang belum tuntas hingga adanya kebijakan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa yang berpotensi menghambat ekspor Indonesia. Pemimpin ke depan juga mesti bisa memastikan Indonesia diterima di pergaulan internasional yang sama-sama berkomitmen pada ekonomi hijau dan gerakan antikorupsi.
”Cross road itu harus disambut dengan kepemimpinan yang paham geopolitik, geoekonomi. Nah, Golkar punya kader yang siap. Sebagai contoh, kami berani mengusulkan menteri yang sangat muda, berusia 30-an tahun. Itu menunjukkan bahwa Golkar punya kader yang bisa ditempatkan di berbagai posisi,” tutur Airlangga.
Dalam konteks nasional, Indonesia juga punya tantangan pemerataan pembangunan. Pemerintahan saat ini berupaya meresponsnya dengan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai negara maritim. Pembangunan ekonomi ke depan akan dilakukan dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi di beberapa kluster daerah, di antaranya di koridor utara Jawa, Kalimantan Selatan, Sumatera bagian selatan, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Cross road itu harus disambut dengan kepemimpinan yang paham geopolitik, geoekonomi. Nah, Golkar punya kader yang siap.
Selain itu, Indonesia juga harus bisa memenuhi target menghapus kemiskinan ekstrem. Hal itu dipandang sangat terkait dengan ketersediaan lapangan kerja, daya beli masyarakat, dan harga bahan pokok. Saat ini, pemerintah tengah mengedepankan program bahan pokok murah sambil menunggu perluasan lapangan kerja. Adapun penciptaan lapangan kerja dilakukan dengan mendorong investasi dan memberikan pinjaman bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
Baca juga: Ahmad Doli Kurnia: 2024 Momentum Kembalinya Kejayaan Golkar
Airlangga melanjutkan, untuk menjadi negara maju, Indonesia jelas harus memperkuat sumber daya manusia (SDM). Saat ini pemerintah mempercepat penguatan SDM dengan mendorong pendidikan vokasi dan pembangunan politeknik yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan di dalam dan luar negeri.
Pembentukan koalisi
Sekalipun memiliki kader dan infrastruktur partai yang kuat, Golkar tak bisa menjadi peserta Pilpres 2024 tanpa berkoalisi. Bekal perolehan 85 kursi atau 15 persen dari total kursi yang ada di DPR, partai berlambang beringin itu belum bisa memenuhi ambang batas pencalonan capres/cawapres yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Golkar pun memulainya dengan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Juni tahun lalu.
Akan tetapi, KIB saat ini tak lagi aktif karena PPP telah menyatakan dukungan kepada Ganjar. PAN mengajukan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir untuk menjadi bakal cawapres pendamping Ganjar atau Prabowo. Adapun Golkar konsisten untuk mengusung Airlangga.

(Dari kiri) Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono saat menghadiri Silaturahmi Ramadhan di kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023).
Oleh karena itu, Airlangga terus membangun komunikasi politik dengan parpol-parpol lain. Namun, sasarannya masih tetap pada parpol yang saat ini berada di koalisi pemerintahan. Kombinasi yang diincar tentu yang memiliki peluang kemenangan tertinggi dan kesamaan preferensi akar rumput mengenai pasangan calon yang akan diusung.
Pada setiap pembicaraan, Golkar menawarkan konsep koalisi permanen. Artinya, koalisi sejak awal sudah membicarakan sikap dalam pilpres di putaran pertama dan putaran kedua jika ada, serta ketika sudah berada di pemerintahan. Kesepahaman komprehensif sejak awal itu penting agar ke depan, kesepakatan yang dibuat tidak hanya berbasis transaksional.
Baca juga: Gus Muhaimin: Mewujudkan Keadilan Politik dan Kesejahteraan Hidup
Airlangga mengakui, tidak mudah untuk mencapai kesepakatan tersebut. Selain harus menyamakan persepsi secara teknis dan strategis, diperlukan pula penerimaan semua parpol atas sosok yang diusung oleh Golkar. Dari sekian banyak pembicaraan, ada yang diklaim sudah memasuki tahap intens dan menjanjikan, yakni dengan Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PAN. Namun, keputusan untuk berkoalisi atau tidak akan bergantung pada opsi yang tersedia nantinya.
”Kalau dengan Gerindra-PKB, (Golkar menginginkan) cawapres. Kalau dengan PAN, capres,” kata Airlangga.
Ia melihat, pembentukan koalisi ke depan berpotensi menghasilkan dua, tiga, dan empat poros berdasarkan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung. Jika terwujud dua poros, itu akan menjadi pilihan yang sulit bagi semua parpol. ”Kalau tiga atau empat poros, itu yang paling nyaman,” ungkap Airlangga.