Ahmad Doli Kurnia: 2024 Momentum Kembalinya Kejayaan Golkar
Partai Golkar berambisi mengulang kejayaannya saat Pemilu 2024. Sejumlah strategi pun telah disusun jauh-jauh hari. Seperti apa bentuknya? Apakah Airlangga Hartarto tetap akan dijagokan sebagai capres Golkar?
Menghadapi Pemilu 2024, sejumlah strategi telah disusun jauh-jauh hari oleh Partai Golkar. Dari mulai restrukturisasi organisasi, peremajaan dan penguatan infrastruktur partai, hingga menetapkan calon presiden yang akan diusung ketika Pemilu 2019 baru tuntas digelar. Bahkan, baru-baru ini Golkar telah merajut kerja sama dengan Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan yang dinamakan Koalisi Indonesia Bersatu. Sebuah tradisi baru di perpolitikan Tanah Air karena pembentukan koalisi dilakukan jauh sebelum pemilu digelar.
Semua persiapan dan strategi yang ditempuh ini tak lepas dari ambisi partai berlambang pohon beringin itu untuk mengulang kemenangan partai pada Pemilu 2004 sekaligus kejayaan partai selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Pemilu 2024 menjadi landmark partai karena pada saat itu Golkar akan berusia 60 tahun, menjadikannya partai tertua di Tanah Air.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Seperti apa persisnya strategi yang disiapkan Golkar? Apa tantangan yang dihadapi? Akankah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto tetap dijagokan Golkar meski elektabilitasnya tidak signifikan? Bagaimana pula Koalisi Indonesia Bersatu menentukan capres ketika setiap parpol di dalamnya punya kepentingan berbeda?
Kompas mewawancarai Wakil Ketua Umum Golkar bidang Pemenangan Pemilu Ahmad Doli Kurnia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (22/7/2022). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana persiapan Golkar menghadapi Pemilu 2024?
Kami sangat serius mempersiapkan itu. Contoh pertama, dari segi struktur organisasinya juga diorientasikan untuk konsolidasi gerakan pemenangan pemilu lebih kuat. Makanya, kami, di struktur organisasi pemenangan pemilunya, dirinci, ada sepuluh bidang. Setiap bidang fokus mengurus pemenangan pemilu di wilayah tertentu. Jadi, wilayah Indonesia telah dibagi ke sepuluh bidang itu.
Yang kedua, kami sadar betul bahwa untuk menang, jaringan partai itu tidak cukup sampai struktur formal di tingkat kelurahan dan desa, tetapi harus sampai ke tingkat tempat pemilihan suara (TPS). Makanya, kami buat badan saksi nasional. Di pemilu sebelumnya tidak ada badan itu. Setelah kepengurusan di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto (hasil Munas Golkar 2019), kami langsung membuat. Begitu pula badan pemenangan pemilu kami buat setelah munas. Kalau dulu badan-badan ini baru dibuat setahun menjelang pemilu.
Selain itu, baru pertama kali di munas kemarin itu, kami mencantumkan di dalam AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga), perintah untuk konsolidasi formal di setiap tingkatan. Konsolidasi ini harus tuntas sampai tingkat desa/kelurahan persis setahun setelah munas. Selain menentukan pengurus baru Golkar di setiap tingkatan, konsolidasi ini untuk mengecek infrastruktur partai yang ada. Jadi, sekaligus alat untuk audit organisasi. Nah, terkait dengan konsolidasi ini, kami mendorong pula program-program peremajaan.
Baca juga: Caleg Pesohor, dari Panggung Turun ke Kampung
Seperti apa peremajaan itu dan mengapa penting bagi Golkar?
Kami sadar masyarakat tradisional pemilih Golkar sejak Orde Baru makin lama makin berkurang secara alamiah karena faktor usia dan lain-lain. Kemudian, perkembangan masyarakat Indonesia juga semakin lama semakin modern, semakin cerdas.
Makanya, Golkar harus berubah dan mengambil pendekatan berbeda. Etalase atau wajah partai harus berubah menjadi lebih remaja, lebih ramah terhadap masyarakat yang sekarang tumbuh. Manajemen partai tidak bisa lagi dengan cara-cara konvensional. Kepemimpinannya pun harus terjadi regenerasi. Makanya, sekarang, orang-orang yang ikut terlibat dalam kepemimpinan Pak Airlangga relatif orang-orang muda semua. Mungkin ada sekitar 70-80 persen.
Lihat saja, yang ada di DPR sekarang, misalnya, pimpinan-pimpinan alat kelengkapan DPR dari Golkar semua usianya relatif muda. Begitu pula dengan ketua-ketua Golkar di daerah, relatif muda semua dan generasi baru. Sampai sekarang, alhamdulillah, kami juga sudah punya orang-orang baru yang bisa mengisi struktur partai sampai ke tingkat kelurahan dan desa.
Nah, ini tentu juga memunculkan harapan baru, tetapi sekaligus tantangan baru. Orang-orang baru dan muda ini harus terus dikuatkan ketokohannya, kapasitasnya, dan akseptabilitasnya di publik. Namanya, ya, proses peremajaan begitu, tidak instan. Tetapi, paling tidak, sekarang, Golkar sudah mulai meletakkan dasar-dasar peremajaan di dalam internal organisasinya.
Penetapan Airlangga Hartarto sebagai capres jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2024 juga bagian dari strategi partai?
Di Munas Golkar 2019 diputuskan bahwa Golkar harus punya capres sendiri pada 2024. Kenapa? Kami punya pengalaman di pemilu sebelumnya bahwa parpol yang mendapatkan penambahan perolehan suara yang signifikan adalah parpol yang punya capres yang berasal dari kadernya sendiri. Berdasarkan pengalaman sebelumnya juga, kalau Golkar punya capres sendiri dari awal, itu semangat, motivasi kader-kader partai itu semakin tinggi. Jadi, ada hope (harapan) yang mendorong mereka untuk bekerja.
Mengapa ketua umum kami ditetapkan sebagai capres? Karena, ini bicara tentang kontribusi terhadap bangsa dan negara. Artinya, posisi presiden itu sebetulnya tidak hanya sekadar ingin merebut kekuasaan, tetapi juga panggilan bangsa dan negara untuk mengabdi lebih konkret lagi. Maka, kalau itu panggilan bangsa dan negara, kami ingin memberikan kader kami yang terbaik.
Nah, di Golkar ini kami menganggap bahwa ketua umum itu adalah kader terbaik pada periode itu. Di antara yang lain semua, dialah yang terbaik. Untuk itu, karena waktu itu kami sudah memilih Pak Airlangga sebagai ketum kami, dialah yang kami anggap terbaik untuk memimpin Golkar sehingga dia juga yang kami berikan kepada bangsa dan negara untuk yang terbaik tadi.
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Apakah betul semua solid mendukung Airlangga karena beberapa waktu lalu sempat tersiar kabar sebaliknya, apalagi dengan elektabilitasnya yang tertinggal jauh dari figur potensial capres lainnya?
Salah satu yang menyelamatkan dan membuat Partai Golkar ini tetap besar bahwa kami punya aturan organisasi dan sekaligus kami menaatinya. Partai ini dikelola dengan konsensus. Jadi, momentum-momentum munas dan rapat pimpinan nasional, itu, kan, bentuknya menjadi produk hukum internal partai. Dan kami besar karena kami menghormati produk-produk hukum itu.
Nah, kami sudah putuskan, di munas tahun 2019, kami harus punya capres sendiri, dan capres itu Pak Airlangga Hartarto. Sejauh ini, semuanya taat terhadap putusan itu. Dan kami juga berjuang sejauh ini dengan keputusan yang sudah kami ambil. Keputusan munas itu, kan, harus dihormati.
Terkait dengan elektabilitas Pak Airlangga, kami mengukur dan sekaligus mengevaluasi kerja-kerja politik kami. Kami punya mekanisme dan sistem sendiri. Walaupun survei-survei soal capres dari berbagai lembaga survei buat kami juga sebagai second opinion. Kami menghargai hasil survei-survei itu dan selalu juga menjadikan itu sebagai bahan pertimbangan kami.
Nah, sejauh ini, terutama kami di pemenangan pemilu, kami melihat respons publik terhadap kerja-kerja politik yang dilakukan oleh Golkar, baik itu untuk kepentingan elektabilitas partai maupun elektabilitasnya Pak Airlangga, so far (sejauh ini) bagus. Tidak ada resistensi.
Bagaimana strateginya untuk bisa memenangkan partai sekaligus memenangkan Airlangga?
Kami memahami bahwa Pemilu 2024 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya (pemilu legislatif dan presiden akan digelar di tahun yang sama dengan pemilihan kepala daerah serentak nasional). Oleh karena itu, kami di pemenangan pemilu membuat konsep strategi pemenangan terintegrasi. Jadi, semua struktur partai, semua pimpinan partai, semua kader partai, ini sekaligus harus bekerja dalam konsep ”three in one”.
Kami sebut ”three in one” karena semua harus memenangkan partai, memenangkan capres, dan memenangkan dirinya sendiri dengan agendanya, entah dia sebagai calon anggota DPR atau sebagai calon kepala daerah.
Jadi, gerakan dan operasi pemenangan pilpres (pemilu presiden) itu satu paket dengan pemenangan pileg (pemilu legislatif) dan pilkada (pemilihan kepala daerah). Semua terlibat dan merasa punya kepentingan bersama. Makanya, saya mengatakan, pencalonan Pak Airlangga sebagai capres, itu bukan kepentingan Pak Airlangga, tidak hanya kepentingan DPP, tetapi kepentingan partai yang kami putuskan secara bersama di munas. Nah, oleh karena itu, semua harus punya tanggung jawab. Karena apa? Kami mau menang di 2024.
Apalagi, kan, sekarang kami punya langkah politik baru, dengan Koalisi Indonesia Bersatu. Ini, kan, satu langkah inovasi politik baru buat kami. Pesan yang ingin kami sampaikan, salah satunya, adalah kalau bicara tentang pileg dan membangun kerja sama, itu tidak mesti harus mendekati injury time pada saat pendaftaran capres-cawapres. Sebab, di situ nanti orang akan kembali terbangun image bahwa politik hanya bicara soal bagi-bagi kekuasaan saja. Tetapi, kami bisa bicara itu dari awal.
Baca juga: Koalisi Dini, Ikhtiar Parpol Lepas dari Bayang-bayang Figur Capres
Selain itu, dengan waktu yang cukup panjang, kami juga sudah bisa mendiskusikan tentang sebetulnya konstruksi seperti apa, sih, Indonesia yang mau kami bangun di 2024-2029. Visi apa yang mau kami sampaikan ke publik? Narasinya seperti apa? Dengan begitu, publik juga bisa melihat bahwa kami punya konsep. Kami tahu Indonesia ini mau dibawa ke mana, sekaligus nanti mau kami dialogkan dengan masyarakat. Apa feedback dari masyarakat? Relasi ini yang ingin kami bangun.
Salah satu partai di KIB, yakni PAN, juga ingin memunculkan nama capres-cawapres dalam Rapat Kerja Nasional PAN, Agustus mendatang, lalu bagaimana keputusannya soal capres-cawapres dari KIB?
KIB ini sepakat bahwa kami bicara membangun tradisi politik baru, kemudian bicara tentang konstruksi Indonesia apa yang ingin kami bangun. Kemudian, baru nanti di bab-bab terakhir kami bicara tentang siapa yang nanti akan membawa narasi besar tersebut, siapa paket capres-cawapresnya.
Nah, tetapi, dalam konteks KIB, kami belum bicara sampai bab itu. Jadi, selama memang belum (sampai pembicaraan di bab terakhir itu), ya, saya kira, mengalir saja, misalnya PPP atau PAN ingin memunculkan nama capres. Silakan saja. Itu mekanisme internal partai masing-masing.
Tetapi, pada saatnya nanti, di bab terakhir, itu pembicaraannya bertiga. Golkar sudah punya calon Pak Airlangga. Nanti, kita lihat, (partai) di sana muncul siapa? Kan, kita tidak tahu. Nanti, jangan-jangan, bisa jadi, di PPP muncul nama Pak Airlangga juga atau nama Ketua Umum PPP Pak Suharso Monoarfa. Lalu, di PAN ada nama Ketua Umum PAN Pak Zulkifli Hasan. Ya, tinggal berunding saja bertiga. Tentu, kami berharap dalam konteks Golkar, nanti pada pembicaraan itu, nama Pak Airlangga termasuk yang dipertimbangkan cukup kuat. Atau nanti dimungkinkan juga, kami masih membuka diri kemungkinan bergabungnya partai politik yang lain. Itu, kan, nanti di bab-bab berikutnya.
Baca juga: Tekad Bulat PDI-P Mengejar ”Hattrick” Kemenangan Pemilu
Sejumlah strategi telah disusun dan diimplementasikan, begitu pula pendekatan baru dari Golkar untuk memikat calon pemilih, yakinkah 2024 jadi titik kembalinya kejayaan Golkar?
Kami punya tekad yang kuat. Kami sudah beberapa kali pemilu nomor dua terus. Dan di 2024, kami menganggap, ini momentumnya. Kenapa? Pertama, nanti di 2024, Golkar berumur 60 tahun, dan menjadikannya partai tertua di Indonesia. Nah, ini tentu menjadi motivasi tersendiri bagi kami bahwa kami ingin di 2024 itu sebagai partai tertua, ya, sekaligus juga partai yang paling diterima oleh masyarakat, dengan wajah barunya yang sekarang.
Kedua, tahun 2024 itu adalah tahun di mana 20 tahun sebelumnya kami terakhir menang nomor satu. Jadi, itu tahun ke-20 yang merupakan juga momentum buat kami untuk menang lagi. Kami menganggap bahwa satu komunitas, satu negara, itu, kan, siklus perubahan mendasarnya antara 20-25 tahun. Nah, Golkar menginginkan perubahan mendasar terjadi di Indonesia itu dan Golkar yang mengantarkan setelah terakhir kali kami menang di 2004.