Komisi III DPR mendengar sejumlah nama yang berpeluang menjadi Wakapolri menggantikan Komjen Gatot Eddy Pramono yang akan pensiun pada 28 Juni mendatang. Penentuan Wakapolri merupakan otoritas dari Kapolri.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para personel Polri mengikuti upacara peringatan HUT Ke-73 Bhayangkara tahun 2019 di Monas, Jakarta, Rabu (10/7/2019). Acara ini merupakan puncak dari peringatan hari ulang tahun Bhayangkara yang jatuh setiap 1 Juli.
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono akan memasuki masa pensiun pada 28 Juni mendatang. Sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat berharap sosok penggantinya dapat mempercepat proses reformasi kultural di tubuh Polri. Selain menyelesaikan akar dari sejumlah permasalahan, reformasi kultural penting untuk menghadapi tantangan berat Polri jelang Pemilu 2024.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mengatakan, meski penentuan Wakil Kepala Kepolisian Negara RI (Wakapolri) merupakan otoritas Kapolri, pihaknya berharap agar sosok yang nantinya dipilih dapat membantu Kapolri menuntaskan persoalan budaya dan perilaku para personel Polri.
Berkaca dari sejumlah kasus yang terkuak beberapa waktu terakhir, masih ditemukan polisi yang terlibat dalam percaloan, bahkan penipuan perekrutan Polri. Sebelumnya, mengemuka pula gaya hidup hedonisme polisi, sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan polisi, bahkan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo.
Trimedya mengatakan, hal itu memperlihatkan capaian reformasi kultural yang masih jauh dari harapan. Padahal, Polri dinilai sudah mendapatkan anggaran, persenjataan, dan kesejahteraan yang layak. Oleh karena itu, ia berharap Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo memberikan perhatian khusus mengenai reformasi kultural. ”Mudah-mudahan nanti (Wakapolri) ada penugasan khusus dari Kapolri (tentang) bagaimana menuntaskan reformasi kultural, itu yang paling berat,” ujar Trimedya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Tak hanya itu, Trimedya juga mendorong agar posisi Wakapolri bisa diberikan otoritas dalam pengawasan penanganan perkara, baik yang ditangani Mabes Polri, polda, maupun polres. Dengan otoritas tersebut, Wakapolri bisa berkeliling memantau sekaligus bersikap tegas terhadap proses penegakan hukum di daerah-daerah. Hasil pemantauan itu nantinya dijadikan rekomendasi kepada Kapolri.
Menurut dia, penambahan otoritas Wakapolri itu penting karena masa kepemimpinan Listyo Sigit Prabowo menghadapi tantangan berat. Indonesia telah memasuki tahun politik jelang Pemilu Serentak 2024. Dalam konteks itu, Polri harus bisa menjaga netralitas, baik institusi maupun para personelnya.
”Yang paling berat bagi Polri adalah nanti 2024 itu menjaga netralitas. Jangan sampai Polri terseret ke kanan dan ke kiri,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono
Trimedya mengaku sudah mendengar sejumlah nama yang digadang-gadang bakal menjadi Wakapolri. Sejumlah nama tersebut ialah Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Kalemdiklat) Polri Komjen Purwadi Arianto, Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Komjen Fadil Imran, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Ahmad Dofiri, dan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Agus Andrianto.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menambahkan, selama ini tugas pokok dan fungsi Wakapolri sebagian besar adalah mengurus urusan rumah tangga di internal Polri. Wakapolri saat ini, Komisaris Jendral Gatot Eddy Pramono, pun dinilai cukup berhasil, baik dalam mengurus pekerjaan rumah tangga maupun mendorong reformasi birokrasi dan sistem kerja di institusi tersebut.
Kendati demikian, masih ada sejumlah hal yang harus ditingkatkan. Misalnya, pelayanan publik serta mutasi dan promosi berbasis reward and punishment. ”Untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tersebut, saya kira Wakapolri yang baru adalah sosok yang punya kemampuan manajerial untuk terus mendorong dan menyelesaikan pekerjaan reformasi di tubuh Polri untuk menuju yang dikomitmenkan Kapolri, yakni membuat Polri Presisi,” kata Arsul.
Lebih dari itu, Arsul sepakat, reformasi kultural merupakan pekerjaan yang harus diprioritaskan Polri. Namun, hal tersebut tidak bisa hanya diserahkan kepada satu orang, tetapi juga membutuhkan kerja sama antara Kapolri dan Wakapolri. Mekanisme pengawasan internal juga harus terus didorong, yaitu dengan membuka ruang bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk berperan mengawasi reformasi kultural.
”Tidak kalah penting adalah melibatkan organisasi masyarakat sipil yang punya latar keahlian dan pengalaman,” katanya.
Sejalan dengan Kapolri
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan, selama ini posisi Wakapolri kerap diasosiasikan sekadar pengganti bagi Kapolri. Sebab, kewenangan negara terkait dengan tugas kepolisian hanya diberikan kepada Kapolri. Wakapolri hanya akan menggantikan jika Kapolri berhalangan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (kiri) didampingi Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono seusai memberikan keterangan pers terkait dengan perkembangan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Nopriansyah Hutabarat, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Kendati demikian, anggapan itu bisa ditepis Jika Kapolri mampu mendelegasikan kewenangannya secara tepat. Sebaliknya, Wakapolri juga harus bisa menerjemahkan visi dan misi Kapolri ke dalam kerja-kerjanya.
Bambang menambahkan, tugas Wakapolri merupakan pembantu utama Kapolri untuk menjalankan program-programnya. Program dimaksud, khususnya, untuk melakukan koordinasi internal serta memberikan masukan terhadap kebijakan Kapolri.
”Sangat tidak dibenarkan bila dalam posisi wakil, seseorang menjalankan visi dan misinya sendiri yang tak sejalan dengan Kapolri. Tetapi, juga tak akan memiliki dampak apa-apa bila sosok Wakapolri hanya sekadar ada tanpa memberi warna pada kebijakan-kebijakan Kapolri,” ujar Bambang.
Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
Berkaca pada kebutuhan itu, tambahnya, calon Wakapolri hendaknya merupakan sosok yang kuat, memiliki idealisme, dan berintegritas. ”Meski begitu, Wakapolri juga harus tetap bisa menempatkan diri sebagai wakil sehingga tidak muncul matahari kembar di tubuh Polri,” kata Bambang.
Menurut dia, Wakapolri yang dapat memenuhi kriteria tersebut diharapkan bisa mendorong percepatan perbaikan institusi Polri, tidak terkecuali reformasi kultural. Sebab, reformasi kultural tak bisa tercapai tanpa didahului perubahan struktur dan instrumen.
”Selama pejabat pemegang instrumen adalah sosok yang pro status quo, nyaman dengan kondisi yang sudah ada, tentu akan sulit mendorong perubahan kultural di Polri,” ujar Bambang.