Kepentingan Politis Hambat Pembahasan RUU Perampasan Aset
Hampir dua bulan sejak pemerintah kirim surat presiden berisi usul pembahasan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana pada 4 Mei lalu, DPR belum juga memprosesnya. Paripurna Selasa ini pun, DPR masih beralasan. Ada apa?
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski menyadari urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat mengakui bahwa masih ada prioritas lain yang menyebabkan surat presiden mengenai RUU tersebut belum ditindaklanjuti. Nasib pembahasan semakin tak bisa dipastikan karena masih ada tarik-menarik kepentingan antarfraksi partai politik di DPR.
Hampir dua bulan setelah pemerintah mengirimkan surat presiden (surpres) berisi usul pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana pada 4 Mei lalu, DPR belum juga memutuskan untuk memprosesnya. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/6/2023), surpres itu belum juga dibacakan.
Puan yang didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Nasdem Rachmat Gobel hanya menyetujui ikhtisar hasil pemeriksaan semester II tahun 2022 serta penyerahan laporan hasil pemeriksaan semester II tahun 2022 dan penyampaian laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2022 oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Ditemui seusai rapat paripurna, Puan menjelaskan, saat ini DPR dan pemerintah tengah fokus pada rapat-rapat pembahasan anggaran tahun 2023. Hal tersebut harus menjadi prioritas karena merupakan bagian dari siklus penjadwalan rutin. Mengenai surpres tentang RUU Perampasan Aset, ada mekanisme dan tata tertib yang harus dipatuhi sebelum RUU tersebut dibahas oleh DPR bersama pemerintah.
”Bukan berarti ini tidak kami lakukan (tindak lanjuti), ini tetap kami jalankan, tetapi sesuai mekanismenya, ada prioritas-prioritas tertentu yang memang kami dahulukan. Karena, ya, sekarang ini teman-teman DPR banyak kegiatan di dapil (daerah pemilihan), bertemu dengan konstituen, dan sebagainya,” kata Puan.
Bukan berarti ini tidak kami lakukan (tindak lanjuti), ini tetap kami jalankan, tetapi sesuai mekanismenya, ada prioritas-prioritas tertentu yang memang kami dahulukan. Karena, ya, sekarang ini teman-teman DPR banyak kegiatan di dapil (daerah pemilihan), bertemu dengan konstituen, dan sebagainya.
Ia tak memungkiri, di tengah marak ditemukannya kasus pencucian uang, pembahasan RUU Perampasan Aset kian mendesak dan perlu segera diselesaikan. Kendati demikian, pembahasan membutuhkan masukan dari masyarakat sambil tetap memperhatikan dinamika situasi lainnya. ”Jadi, jangan melakukan satu pembahasan dengan terburu-buru, kemudian tidak sabar, hasilnya tidak maksimal,” ujar Puan.
Lodewijk menambahkan, tindak lanjut atas surpres RUU Perampasan Aset masih menunggu titik temu di antara fraksi-fraksi partai politik (parpol). Ia tak memungkiri masih ada tarik- menarik kepentingan yang belum mencapai kesepakatan. Namun, ia tak menjelaskan kepentingan yang dimaksud.
Itu, kan, ada proses secara politik di antara fraks-fraksi, masih berjalan. Setelah mereka bulat, baru sampai ke kami di pimpinan DPR itu.
”Itu, kan, ada proses secara politik di antara fraks-fraksi, masih berjalan. Setelah mereka bulat, baru sampai ke kami di pimpinan DPR itu,” kata Lodewijk.
Mengenai sikap Fraksi Golkar, ia tak mau menjelaskan. Menurut dia, pihaknya masih menunggu laporan dari ketua fraksi kepada Ketua Umum Golkar mengenai pembahasan RUU Perampasan Aset. Untuk memutuskan sikap yang bakal diambil, Golkar juga masih harus memperhatikan pandangan dari fraksi-fraksi lain.
”Lagi berproses. Saya belum tahu bagaimana (sikap Golkar), kita tunggu karena kita (juga) tidak bisa sendirian,” ujar Lodewijk.
Ikuti proses
Sementara itu, sejumlah fraksi parpol di DPR tak mengakui adanya perdebatan yang menentukan nasib pembahasan RUU Perampasan Aset. Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan belum melihat secara detail draf RUU Perampasan Aset. Sejauh ini, pihaknya hanya mendapatkan gambaran umum dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. ”Kami ikut proses yang ada di DPR. Kalau sekarang saatnya dibahas, Fraksi PAN siap ikut membahas,” katanya.
Kami ikut proses yang ada di DPR. Kalau sekarang saatnya dibahas, Fraksi PAN siap ikut membahas.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menambahkan, sesuai dengan mekanisme di DPR, surpres yang telah dikirimkan oleh pemerintah akan dibahas oleh pimpinan DPR dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus). Pimpinan DPR juga yang akan menugaskan alat kelengkapan Dewan (AKD) mana yang akan membahasnya. ”Komisi III pada prinsipnya siap untuk segera membahas itu,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto, melalui keterangan tertulis menyatakan, pihaknya juga tengah menunggu hasil rapat Bamus DPR untuk menentukan AKD yang akan membahas RUU Perampasan Aset. Pihaknya siap jika nanti Komisi III yang mendapatkan penugasan.
Wihadi menambahkan, RUU Perampasan Aset membutuhkan masukan dari para ahli dan unsur masyarakat lainnya. Saran dari banyak pihak penting karena RUU ini menyangkut hal baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Fraksi Gerindra juga akan mempelajari dengan saksama draf RUU tersebut. Sebab, nantinya DPR bertugas menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, juga menekankan, pembahasan RUU Perampasan Aset nantinya harus didasarkan pada aspek hukum, baik terkait prinsip maupun teori hukum. Selain itu, perdebatan yang mungkin timbul dalam pembahasan diharapkan tak diartikan sebagai bentuk penolakan atau penghambatan terhadap RUU Perampasan Aset.
”Jadi, narasi yang dibangun selama ini adalah narasi yang keliru karena faktanya DPR tidak pernah menolak. Bisa dilihat dari proses prolegnas (program legislasi nasional) yang tidak pernah ada hambatan sama sekali. Tetapi, karena sudah dibangun narasi yang keliru ini, kami juga khawatir publik akan menilai negatif ketika ada perdebatan. Padahal, perdebatan itu bukan perdebatan politis, tetapi perdebatan teoretik mengenai hukum,” ujar Taufik (Kompas, 14/6/2023).
Dipertanyakan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang, alasan DPR belum menindaklanjuti surpres RUU Perampasan Aset karena ada prioritas lain patut dipertanyakan. Sebagai lembaga yang mewakili seluruh rakyat Indonesia, sudah seharusnya DPR mengurusi banyak hal sehingga diperlukan tata kelola dan manajemen. Untuk mendukung tata kelola dan manajemen itu, berbagai instrumen itu pun sudah disediakan, mulai dari kesekjenan, staf ahli, komisi-komisi, berbagai badan, hingga pimpinan DPR.
Karena itu, jika ada kebutuhan mendesak seperti RUU Perampasan Aset tidak dikerjakan karena disebut ada hal penting lain, artinya DPR mengakui bahwa RUU tersebut tidak mendesak.
”Karena itu, jika ada kebutuhan mendesak seperti RUU Perampasan Aset tidak dikerjakan karena disebut ada hal penting lain, artinya DPR mengakui bahwa RUU tersebut tidak mendesak,” kata Lucius.
Ia menambahkan, DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang harus berjalan beriringan. Tak bisa ada satu tugas yang lebih diprioritaskan ketimbang yang lain. Untuk itu, pimpinan DPR semestinya secara khusus mengatur pembagian waktu dan tugas pada berbagai unit kerja di DPR.
Mengenai masih adanya proses politik antarfraksi yang belum tuntas, kata Lucius, hal itu juga janggal. Sebab, perdebatan semestinya terjadi setelah RUU dibahas bukan sebelumnya. Kesepakatan antarfraksi seharusnya sudah selesai ketika Baleg bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membahas daftar RUU yang ada di Prolegnas Prioritas Tahunan.
Menurut Lucius, sejumlah alasan itu justru memperlihatkan kecenderungan untuk terus mengulur waktu pembahasan RUU Perampasan Aset. Sebab, selama ini RUU tersebut dispekulasikan bakal menjadi momok bagi pihak-pihak yang memiliki harta kekayaan tidak sah. ”Kalau DPR tampak takut membahas RUU Perampasan Aset, mungkin saja mereka memang punya banyak aset ilegal yang tak mau dirampas negara jika RUU-nya tersedia,” ujar Lucius.