Penyerahan Surpres RUU Perampasan Aset Berkejaran dengan Masa Reses DPR
Hingga Selasa ini, Menkeu, Jaksa Agung, dan Kapolri belum memberikan persetujuan draf naskah akademik RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana sehingga surat presiden belum dapat dikirim ke DPR.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerahan surat presiden atau surpres untuk membahas bersama Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana berkejaran dengan jadwal masa reses DPR yang dimulai pada 14 April 2023. Dibutuhkan orkestrasi kebijakan dari Presiden Joko Widodo agar kendala teknis pemberian persetujuan terhadap draf regulasi yang dirancang untuk memperkuat pemberantasan korupsi itu cepat teratasi.
Hingga Selasa (4/4/2023), tiga pemimpin instansi, yaitu Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara RI belum memberikan persetujuan terhadap draf naskah akademik dan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Padahal pemberian paraf sebagai simbol persetujuan terhadap draf regulasi itu dibutuhkan sebagai prasyarat penyusunan surpres.
Setelah semua itu tuntas, surpres baru bisa dikirimkan ke DPR, sebagai permintaan membahas bersama. Sebab, RUU tersebut adalah inisiatif dari pemerintah yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2023.
Saat ditanya tentang posisi draf naskah akademik dan RUU Perampasan Aset, Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Selasa (4/4/2023), mengatakan, setelah dicek di Kementerian Sekretariat Negara, ternyata tiga pemimpin instansi yang belum juga memberikan persetujuan. Batas waktu pemberian paraf dari kementerian dan lembaga adalah 30 hari sejak permintaan paraf disampaikan pada 15 Maret 2023 lalu. Artinya, masih ada waktu sekitar 10 hari lagi.
”Kami tinggal kirim saja (surpresnya) kok. Insya Allah sangat kuat komitmen dari pemerintah,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, proses konsolidasi ditargetkan cepat selesai sehingga pemerintah dapat mengusulkan pembahasan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebelum masa reses yang dimulai pada 14 April 2023. RUU itu tidak bisa dibahas jika pemerintah belum mengajukan usulan pembahasan kepada DPR, (Kompas, Sabtu 1 April 2023).
Naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah selesai disusun. Namun, dari enam pemimpin instansi yang dimintai persetujuan draf RUU, baru tiga yang sudah memberikan paraf persetujuan. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, serta Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Sementara tiga pemimpin instansi lainnya seperti disebutkan, yakni Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, belum memberikan paraf persetujuan.
Masalah politis
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, berpandangan, belum diberikannya persetujuan draf RUU dari beberapa instansi itu terlihat sebagai masalah politis, bukan teknis semata. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan berupa orkestrasi dari Presiden Jokowi. Presiden harus memimpin langsung proses sinkronisasi dan pengajuan ke DPR.
Dibutuhkan terobosan berupa orkestrasi dari Presiden Jokowi. Presiden harus memimpin langsung proses sinkronisasi dan pengajuan ke DPR.
Hal itu bisa dilakukan baik melalui rapat terbatas antar-kementerian dan lembaga. Dengan dipimpin langsung oleh Presiden, mekanisme persetujuan yang terhambat pasti akan bisa diatasi cepat.
”Bahkan jika ingin lebih progresif, Presiden bisa mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang,” ujarnya.
Ia menambahkan, publik khawatir permasalahan politis itu akan semakin berlarut jika tidak diatasi langsung oleh Presiden. Jangan sampai momentum RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana yang sudah masuk dalam prolegnas prioritas 2023 terlewatkan.
Jangan sampai wacana pengesahan RUU Perampasan Aset ini hanya berhenti sebagai lip service saja oleh pemerintah jika Presiden tidak turun langsung mengatasi persoalan.
”Jangan sampai wacana pengesahan RUU Perampasan Aset ini hanya berhenti sebagai lip service saja oleh pemerintah jika Presiden tidak turun langsung mengatasi persoalan,” terangnya.
Alvin berharap pemerintah bisa cepat sehingga penyerahan surpres ke DPR tidak terlambat dengan jadwal reses DPR. Selanjutnya, baru bisa berbicara mengenai peran DPR untuk mempercepat pembahasan legislasi itu bersama pemerintah.
Lambannya proses persetujuan lintas kementerian dan lembaga ini seolah bertentangan dengan komitmen Presiden yang kerap disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Beberapa waktu lalu, Mahfud menyebut bahwa ada dua RUU usulan pemerintah yang akan sangat signifikan untuk pemberantasan korupsi. Pertama, RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Kedua, RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal atau Uang Tunai.
”Presiden sudah meminta lagi untuk diajukan ke DPR. Beliau bilang pokoknya RUU Perampasan Aset ini harus gol,” kata Mahfud.
Jika RUU tersebut disahkan, kata Mahfud, ini akan memberikan modal kepada pemerintah baru untuk pencegahan maupun penindakan kasus korupsi. Akan tersedia instrumen hukum yang lebih lengkap, dengan ukuran yang jelas untuk mencegah dan memperkuat pemberantasan korupsi. Ini juga bisa menjadi warisan baik yang diberikan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin kepada pemerintahan baru nanti.
Secara terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Selasa, mengatakan, penyerahan surpres ke DPR hanya menunggu sebentar lagi. Dia menyebut dari level kementerian prosesnya sudah tuntas. Sekarang, bolanya berada di Kementerian Sekretariat Negara dan akan segera digulirkan di DPR.
”Nanti, Setneg akan terus melakukan itu supaya bisa segera dikirim ke DPR,” ucapnya singkat.