Komitmen KPU dalam Pemberantasan Korupsi Dipertanyakan
"PKPU ini sebenarnya dibuat untuk kepentingan rakyat atau justru untuk gerombolan politikus busuk yang ingin menjarah uang rakyat?," kata Busyro Muqoddas, mantan pimpinan KPK.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan keberpihakan Komisi Pemilihan Umum terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pengecualian masa jeda lima tahun bagi terpidana yang memperoleh hukuman tambahan pencabutan hak politik justru memberi kemudahan, terutama bagi mantan terpidana kasus korupsi, untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Mantan komisioner Komisi KPK Laode M Syarif mengatakan, Indonesia tidak kekurangan orang baik untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). ”Oleh karena itu, jika aturan KPU yang baru membolehkan mantan terpidana kasus korupsi bisa ikut pemilihan umum sebelum lima tahun bebas, keberpihakan KPU pada pemberantasan korupsi patut dipertanyakan,” tuturnya.
Melalui keterangan tertulis, Selasa (13/6/2023), Laode dan sembilan mantan komisioner KPK lainnya menyoroti Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sama dengan Laode, sembilan mantan komisioner KPK, yakni Erry Riyana Hardjapamekas, Haryono Umar, Moch Jasin, Mas Achmad Santosa, dan Busyro Muqoddas. Selain itu ada Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Saut Situmorang, juga mempertanyakan komitmen KPU dalam pemberantasan rasuah.
Busyro mengatakan, fakta hukum bahwa korupsi di Indonesia telah menjelma sebagai kejahatan sadisme politik sudah diantisipasi oleh KPK di masa lalu. Jika KPU mengizinkan mantan koruptor untuk maju lagi di arena politik tanpa harus melewati masa jeda lima tahun, maka PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023 layak dipertanyakan.
”PKPU ini sebenarnya dibuat untuk kepentingan rakyat atau justru untuk gerombolan politikus busuk yang ingin menjarah uang rakyat?,” ujarnya.
Menurut Jasin, KPU seharusnya memastikan bahwa pelaksanaan pemilu dapat mengakomodasi calon-calon pejabat publik dengan rekam jejak yang baik yang dapat dipilih masyarakat. KPU jangan membentuk regulasi yang memberi kemudahan bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri.
PKPU ini sebenarnya dibuat untuk kepentingan rakyat atau justru untuk gerombolan politikus busuk yang ingin menjarah uang rakyat?
Abraham menambahkan, orang-orang yang pernah terlibat korupsi seharusnya tidak boleh lagi maju untuk berkompetisi pada jabatan publik, termasuk menjadi wakil rakyat. Sebab, kejahatan korupsi bukan merupakan kekhilafan.
Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif bukan sesuatu yang menggembirakan karena seolah berdamai dengan koruptor. KPU juga dianggap telah menyelundupkan pasal yang membuka caleg bagi mantan terpidana korupsi untuk berkontestasi tanpa melewati masa jeda lima tahun.
”Ini jelas pembangkangan atas putusan MK dan memperlihatkan KPU tidak memiliki semangat antikorupsi,” ujar Abraham.
Bambang menilai, norma baru di PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023 yang mengecualikan pemberlakuan masa jeda lima tahun bagi terpidana yang memperoleh hukuman tambahan pencabutan hak politik tergolong perbuatan melawan hukum. Aturan tersebut juga kontra konstitusional karena bertentangan dengan putusan MK. KPU dinilai telah mencoreng nama baik dan kehormatan lembaga penyelenggara pemilu. ”KPU harus mengubah PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023 agar tidak bertentangan dengan putusan MK dan asas-asas dalam Undang-Undang Pemilu,” katanya.
Saat ini, Kedua PKPU tersebut tengah diuji ke Mahkamah Agung oleh Abraham, Saut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Indonesia Corruption Watch yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih. Uji materi telah diajukan ke MA pada Senin (12/6/2023).
Mereka menguji Pasal 11 Ayat (6) PKPU No 10/2023 yang mengatur pemberlakuan masa jeda lima tahun tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik. Norma yang sama ada dalam Pasal 18 Ayat (2) PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan DPD. Norma tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan dua putusan MK sehingga dinilai mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Keterwakilan perempuan
Selain uji materi PKPU terkait pencalonan mantan terpidana, Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan juga mengajukan uji materi PKPU No 10/2023 ke MA, Senin (5/6/2023). Lewat uji materi itu, Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan mempersoalkan Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan DPR dan DPRD. Pasal itu memuat penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan angka pecahan dibulatkan ke atas.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU menghormati hak hukum warga negara atau sekelompak warga negara untuk melakukan uji materi atas PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023. Terlebih, uji meteri terhadap PKPU juga pernah terjadi ada 2018 terhadap PKPU No 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Saat itu, KPU melarang mantan terpidana korupsi mendaftar sebagai caleg. Namun, MA membatalkan aturan tersebut sehingga KPU merevisi PKPU No 20/2018 dengan PKPU No 31/2018. ”Putusan MA atas judicial review mengenai PKPU terhadap Undang-Undang Pemilu adalah salah satu sumber hukum dalam penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Kuasa hukum pemohon uji materi, Fadli Ramadhanil, optimistis MA akan mengabulkan kedua perkara uji materi yang telah diajukan. Sebab, sangat mudah menemukan pertentangan norma dalam PKPU terhadap Undang Undang Pemilu dan Putusan MK. ”Pelanggaran normanya mudah ditemukan dan dinilai oleh MA,” katanya.
Menurut dia, MA bisa memutus uji materi lebih cepat dari batas maksimal 30 hari kerja setelah permohonan diterima. Selain pertentangan norma yang mudah ditemukan, aturan di PKPU ini juga menjadi perhatian publik. Bahkan, eks pimpinan KPK juga memberikan perhatian atas polemik tersebut.
Fadli menuturkan, gugatan PKPU ke MA tidak akan mengganggu tahapan pemilu. Sebab, batas waktu maksimal putusan pada Agustus mendatang masih dalam tahapan pencalonan anggota legislatif. Dengan demikian, revisi bisa segera dilakukan dan diimplementasikan.
”Daftar caleg tetap baru diumumkan pada November sehingga medio Agustus daftar caleg yang tidak memenuhi syarat pencalonan bisa segera diganti saat penyusunan daftar caleg sementara,” tuturnya.