DPR Beri Tekanan kepada Mahkamah Konstitusi
Komisi III DPR akan memantau putusan uji materi sistem pemilu dan menjadikannya bahan pertimbangan revisi UU MK. Adapun hakim MK menegaskan tak terpengaruh keriuhan wacana publik.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat memberikan tekanan kepada Mahkamah Konstitusi melalui pembahasan revisi keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang tengah berjalan di Komisi III. Waktu pembahasan diperpanjang setidaknya satu masa sidang sambil menunggu Mahkamah membacakan putusan uji materi terhadap sistem pemilu proporsional terbuka. Putusan Mahkamah akan menjadi pertimbangan dalam menentukan keberlanjutan pembahasan substansi Rancangan Undang-Undang MK.
DPR menyetujui permohonan pimpinan Komisi III untuk memperpanjang waktu pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus dan didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad itu, sembilan fraksi parpol menyetujui permohonan tersebut tanpa interupsi. Perpanjangan waktu dimaksud didasarkan pada permintaan pimpinan Komisi III pada rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah, 8 Juni lalu.
”(Pimpinan Komisi III) mengajukan perpanjangan sampai masa persidangan I yang akan datang,” ujar Lodewijk saat membacakan keputusan rapat paripurna.
Ditemui seusai rapat, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman menjelaskan, pembahasan RUU MK membutuhkan waktu yang lebih panjang karena masih ada substansi yang belum selesai dibahas.
Alih-alih merinci substansi yang dimaksud, ia menggarisbawahi bahwa masa pembahasan ini beriringan dengan jadwal pembacaan putusan MK terhadap uji materi sistem pemilu proporsional terbuka. Menurut rencana, Mahkamah akan membacakan putusan tersebut pada Kamis (14/6/2023).
”Secara de facto, kan, memang pembahasan belum selesai dan Kamis ada sidang putusan itu,” kata Habiburokhman.
Ia tak menampik, selain ada substansi yang perlu dituntaskan, kelanjutan pembahasan RUU MK juga menunggu putusan MK tentang sistem pemilu. Putusan tersebut bakal menjadi penentu keberlanjutan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka pada Pemilu 2024 atau berubah ke sistem pemilu proporsional tertutup.
Gerindra dan tujuh fraksi parpol lainnya (Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan) mendukung Pemilu 2024 tetap diselenggarakan dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.
Selain menyatakan penolakan secara berulang sejak uji materi bergulir akhir November 2022, menurut rencana, sejumlah anggota Komisi III DPR juga akan menghadiri langsung sidang pembacaan putusan MK itu.
Habiburokhman membenarkan, dirinya merupakan salah satu yang akan hadir. ”Saya dan kawan-kawan akan hadir ke Gedung MK pada sidang pembacaan putusan tersebut. Kami, kan, posisinya sebagai kuasa DPR di MK, bukan dari delapan atau sembilan fraksi, melainkan perwakilan DPR,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengakui, pembahasan RUU MK belum tuntas. Sejauh ini DPR dan pemerintah telah menyepakati untuk menaikkan syarat minimal usia hakim konstitusi dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Akan tetapi, aturan peralihannya belum selesai dibahas.
Taufik menambahkan, waktu pembahasan lanjutan tersebut akan beririsan dengan pembacaan putusan MK mengenai sistem pemilu. Meski tidak secara langsung, ia tidak memungkiri, putusan MK bakal menjadi pertimbangan dalam pembahasan substansi RUU MK secara lebih lanjut nantinya. ”Jadi istilahnya, itu kebetulan karena waktunya beririsan,” katanya.
Kewenangan hakim
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menambahkan, substansi mendasar yang masih perlu dibahas dalam RUU MK menyangkut kewenangan hakim konstitusi. Berkaca dari putusan terbaru yang dikeluarkan, ada kecenderungan bahwa hakim konstitusi mengambil kewenangan lembaga lain yang semestinya bukan ranah MK. Putusan dimaksud terkait dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Menanti Putusan Sistem Pemilu
Menurut Benny, penentuan masa jabatan KPK, begitu juga sistem pemilu, merupakan bagian dari open legal policy (OLP) yang diatur dalam UU. Artinya, pembentuk UU yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukannya.
Namun, melalui putusan tentang penambahan masa jabatan KPK, MK seolah menambah sendiri kewenangannya untuk memutus hal-hal terkait OLP. Hal tersebut jangan sampai terulang lagi dalam putusan tentang sistem pemilu.
”Fraksi-fraksi diminta memberikan masukan berkenaan dengan adanya kecenderungan MK menambah sendiri kewenangannya, karena itu mengakibatkan tidak adanya constitutional certainty, kepastian konstitusi,” kata Benny.
Ia menambahkan, persoalan kewenangan hakim itu akan dibahas setelah menyimak putusan MK mengenai sistem pemilu.
Lebih dari persoalan teknis dalam jangka pendek, pihaknya juga mendukung agar ada pasal-pasal yang bisa mengatur kewenangan hakim konstitusi agar MK bisa tetap berfungsi sebagai penjaga konstitusi, bukan perpanjangan tangan pihak tertentu untuk kepentingan tertentu.
”Kami minta supaya ditambahkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan itu (kewenangan hakim konstitusi),” ujar Benny.
Tidak terpengaruh
Terkait putusan uji materi sistem pemilu, Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih menegaskan, para hakim konstitusi sama sekali tidak terpengaruh dengan hiruk-pikuk yang ada di dalam wacana publik saat memutus perkara tersebut. Para hakim konstitusi benar-benar hanya fokus pada pemeriksaan berkas perkara, juga kesimpulan yang diajukan oleh para pihak.
”Perlu saya tegaskan bahwa hakim dalam memutus, untuk putusan apa pun, selama saya sebagai hakim MK, benar-benar hanya fokus pada pemeriksaan berkas perkara hingga kesimpulan, tidak dipengaruhi oleh isu apa pun di luar karena kami terikat dengan kode etik,” ujar Enny.
Ia menambahkan, hiruk-pikuk di ruang publik yang dimaksud, misalnya, terkait dengan isu enam hakim mengabulkan permohonan dan tiga menolak yang dilontarkan Denny Indrayana, guru besar hukum tata negara yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Lontaran informasi dari Denny tersebut telah memancing berbagai reaksi, misalnya delapan fraksi di DPR mengancam akan menggunakan kewenangan budgeting jika MK memutus pemilu coblos partai.
Menurut Enny, rapat permusyawaratan hakim (RPH) dilakukan di lantai 16 gedung MK yang sangat senyap. Jumlah orang yang boleh memasuki ruangan tersebut sangat dibatasi. Orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut sudah di bawah sumpah.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, upaya untuk membuat limitasi-limitasi terhadap MK, misalnya melalui pengaturan yang lebih rinci atas OLP atau kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Namun, persoalannya, sejauh mana MK akan mematuhi ketentuan limitasi tersebut. Sebab, norma baru yang dibuat pembentuk UU tersebut bisa dibatalkan oleh MK.
Hal itu pernah terjadi ketika pembentuk UU membuat aturan pembatasan regulasi mana saja yang dapat diuji oleh MK, yakni pada Pasal 50 UU 24/2003. Dalam pasal itu disebutkan bahwa UU yang dapat dimohonkan pengujiannya ke MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. MK mencabut pasal tersebut dalam Putusan Nomor 066/PUU-II/2004.
Charles juga mengingatkan bagaimana DPR juga mempersoalkan MK yang sering memutus melebihi apa yang diajukan pemohon atau ultrapetita. Saat itu, digagas pula bagaimana membatasi MK supaya tidak menjatuhkan putusan ultrapetita.
Namun, hal tersebut juga tidak berhasil. ”Jadi, percuma saja mau membuat limitasi-limitasi. Tidak bisa, nanti bisa dibatalkan sendiri oleh MK,” ungkapnya.
Menurut Charles, membuat pembatasan-pembatasan gerak bagi MK sah-sah saja dilakukan. Namun, pembentuk UU juga harus berhati-hati agar jangan sampai hakim nanti hanya menjadi corong undang-undang. Terobosan-terobosan yang dilakukan hakim, kata Charles, sebenarnya bisa saja dilakukan, tergantung pada kondisi dan kearifan para hakim.
Bagi Charles, sepanjang terobosan putusan yang dilakukan MK tidak disertai indikasi adanya hal-hal menyimpang, seperti intervensi politik atau kekuasaan ataupun dipengaruhi oleh uang, tidak menjadi masalah.
”Bebas saja memutus, mau ultrapetita. Tapi kalau memutus karena intervensi politik atau uang, baru masalah,” katanya.