Setelah tujuh bulan berlalu, polemik perubahan sistem pemilu akan segera menjadi terang. MK telah menjadwalkan sidang pembacaan putusan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka pada Kamis (15/6/2023).
Setelah menggelar persidangan sejak November 2022, Mahkamah Konstitusi akan segera memutus permohonan uji konstitusionalitas sistem pemilu proporsional daftar terbuka. Pada Kamis (15/6/2023), perkara yang sempat menghebohkan Republik ini akan menjadi terang benderang.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso, Senin (12/6/2023), mengatakan, undangan untuk menghadiri pembacaan putusan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah disebarkan kepada para pihak. Salah satunya Komisi Pemilihan Umum.
Perkara uji materi sistem pemilu legislatif kembali menjadi sorotan publik setelah Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menyampaikan informasi tentang kemungkinan putusan yang akan diambil majelis hakim MK. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menyebarkan informasi bahwa posisi hakim konstitusi terhadap perkara itu adalah 6:3. Artinya, enam hakim mengabulkan permohonan untuk mengubah sistem pemilu menjadi proporsional daftar tertutup dan tiga hakim mempertahankan sistem proporsional terbuka.
Delapan dari sembilan partai politik di parlemen langsung menggelar konferensi pers yang intinya meminta MK bersikap negarawan dengan tidak mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga ikut nimbrung dengan mengatakan perlunya mengusut kebocoran informasi yang disampaikan Denny. Situasi politik memanas.
Enam pemohon
Sebenarnya siapakah orang-orang yang ”membuat” kehebohan dengan mengajukan pengujian norma sistem proporsional terbuka? Ada enam orang yang menjadi pemohon perkara itu. Dua di antaranya Demas Brian Wicaksono, pengurus PDI Perjuangan di Kabupaten Banyuwangi, dan Yuwono Pintadi yang mengeklaim sebagai anggota Partai Nasdem, tetapi kemudian dibantah oleh elite Nasdem. Selain itu, ada juga warga yang ingin mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif 2024, Fahrurrozi. Pemohon lainnya adalah Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono yang mengajukan permohonan selaku calon pemilih.
Perkara tersebut diregister pada 16 November 2022. Sidang pertama digelar 23 November 2022 dengan hakim panel yang diketuai Saldi Isra dengan anggota Arief Hidayat dan Wahiduddin Adams.
Para pemohon menguji pasal-pasal terkait dengan norma yang mengatur penerapan sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu. Mereka menolak sistem tersebut karena dinilai cenderung mengarah pada populisme yang bisa membahayakan bentuk negara kesatuan seperti diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945. Sistem proporsional terbuka diidentikkan dengan liberalisasi dan kebebasan tanpa batas sehingga sangat mungkin ditumpangi ideologi lain yang tak sesuai dengan Pancasila.
Selain itu, mereka juga mendalilkan peran parpol yang dikesampingkan dalam proses pemilu. Padahal, Pasal 22 E Ayat (3) UUD 1945 jelas mengamanatkan peserta pemilu adalah partai politik. Demas dan Yuwono sebagai kader partai yang telah berproses merasa dirugikan dengan proses pemilihan yang menonjolkan kekuatan individu, bukan kekuatan partai. Sistem proporsional terbuka juga mengakibatkan pemilu berbiaya tinggi dan melahirkan korupsi politik.
Pengujian sistem pemilu jelang penyelenggaraan Pemilu 2024 sontak mengundang atensi dari banyak pihak. MK menerima sedikitnya 14 permohonan sebagai pihak terkait dan satu permohonan menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan. Semuanya meminta MK menolak permohonan Demas dan kawan-kawan.
Banyaknya pihak terkait yang kemudian juga mengajukan ahli untuk meyakinkan sembilan hakim MK membuat sidang menjadi panjang. Tujuh bulan. Selain mendengarkan keterangan pemohon, pemerintah, dan DPR, sidang juga harus mendengarkan keterangan KPU, partai-partai yang menjadi pihak terkait, pegiat pemilu seperti Perludem, serta perorangan seperti M Soleh.
Soleh merupakan advokat yang mengajukan permohonan uji materi terkait hal yang sama tahun 2008. Kala itu, Soleh terdaftar sebagai caleg.
MK dalam putusan nomor 22-24/PUU-VII/2008 menyatakan, sistem pemilu proporsional terbuka konstitusional dan merupakan sistem yang bisa mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. Menurut MK, peran parpol dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya calon-calon yang cakap untuk kepentingan rakyat.
MK membatalkan Pasal 214 Huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu yang mengatur tentang calon terpilih merupakan calon yang mendapatkan suara di atas 30 persen bilangan pembagi pemilih. Jika tak ada yang memperoleh angka tersebut, calon yang menempati urutan lebih kecillah yang terpilih atau berdasar nomor urut. Penentuan caleg terpilih tak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara caleg. Penentuan caleg terpilih didasarkan pada suara terbanyak.
Dalam pertimbangannya, MK juga menyinggung bahwa diberikannya hak kepada rakyat secara langsung memilih caleg dengan suara terbanyak tidak hanya memberi kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihan, tetapi juga lebih adil. Keadilan tidak hanya untuk para caleg, tetapi juga masyarakat.
Rumit
Dari 11 ahli yang diajukan ke hadapan persidangan, empat ahli mendukung diubahnya sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Tujuh ahli lainnya meminta MK tetap mempertahankan sistem pemilu yang sudah digunakan sejak 2009 tersebut.
Tidak tepat jika perubahan sistem pemilu dilakukan berdasarkan proses pengujian di MK. MK, dalam persoalan ini, sebaiknya cukup memberikan panduan atau kerangka-kerangka dalam penentuan sistem pemilu yang ada.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas yang diajukan sebagai ahli, Khaerul Fahmi, dalam sidang 15 Mei mengungkapkan kerumitan yang akan terjadi jika sistem pemilu proporsional terbuka diubah menjadi proporsional tertutup dan diberlakukan pada Pemilu 2024. Hal tersebut akan menyebabkan penyelenggaraan Pemilu 2024 penuh dengan ketidakpastian. Sebab, seluruh rangkaian tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan saat ini merupakan tahapan yang sesuai dengan kerangka sistem proporsional terbuka yang ada dalam UU No 7/2017.
Menurut dia, tidak tepat jika perubahan sistem pemilu dilakukan berdasarkan proses pengujian di MK. MK, dalam persoalan ini, sebaiknya cukup memberikan panduan atau kerangka-kerangka dalam penentuan sistem pemilu yang ada.
Dari luar sidang, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyampaikan, jika MK mengembalikan pemilu ke sistem proporsional tertutup, putusan itu akan jadi preseden buruk. Sebab, menurut Bivitri, perkara sistem pemilu itu tidak masuk dalam isu konstitusional.
Senada dengan Bivitri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Firman Noor, mengatakan, perubahan sistem pemilu akan merepotkan parpol dan mengganggu tahapan pemilu.
Kini, pembacaan putusan MK tinggal hitungan hari. Banyak kalangan berharap MK tetap bersikap sebagai negarawan dalam memutus perkara uji materi sistem pemilu proporsional terbuka itu.