Antara Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup
Sistem pemilu proporsional terbuka ataupun tertutup sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan. Namun, untuk saat ini, proporsional terbuka dinilai masih lebih tepat untuk diterapkan.

Pimpinan dari tujuh partai politik yang memiliki kursi di MPR/DPR seusai berkumpul dalam Silaturahmi Politik Awal Tahun di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (8/1/2023).
> Sistem proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1999. Sistem ini diubah mulai Pemilu 2004.
> Sistem proporsional tertutup menutup hak pemilih memilih wakil mereka di DPR dan DPRD.
> Sistem proporsional terbuka sudah berulang diterapkan dalam pemilu tetapi masih banyak kelemahan.
Penolakan terhadap sistem pemilu proporsional tertutup semakin kencang. Bahkan, untuk kepentingan itu, partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin rela ”melebur” dengan partai yang selama ini berada di luar pemerintahan. Mengapa sistem itu ditolak? Lalu, apakah sistem proporsional terbuka yang diterapkan di pemilu saat ini sudah sempurna?
Di sebuah hotel berbintang di kawasan selatan Jakarta, elite dari tujuh partai politik (parpol) yang memiliki kursi di MPR/DPR berkumpul, Minggu (8/1/2023) siang.
Lima parpol di antaranya bagian dari parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Amin, yakni Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dua parpol lainnya, parpol yang selama ini berada di luar pemerintahan, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perwakilan dari Partai Gerindra, juga parpol pendukung pemerintahan, meski tidak hadir, melalui Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, turut menyatakan partainya sepaham dengan tujuan digelarnya pertemuan.
Dalam suasana yang hangat, mereka mengesampingkan untuk sesaat perbedaan posisi politik masing-masing. Seperti kata pepatah, dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, selain kepentingan itu sendiri. Kali ini, kepentingan itu terkait menyeruaknya wacana perubahan sistem pemilu, dari proporsional terbuka ke tertutup, yang mengiringi langkah uji materi pasal terkait proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Suasana pertemuan elite dari tujuh partai politik yang memiliki kursi di MPR/DPR, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (8/1/2023).
Beragam dalil diutarakan oleh para elite parpol untuk menjustifikasi penolakan perubahan sistem. Dalil demokrasi menjadi yang paling dominan. Alasannya, dengan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, pemilih tak bisa lagi memilih langsung calon wakil mereka di DPR/DPRD. Penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih akan ditentukan sepenuhnya oleh parpol.
Meski demikian, muncul pula pandangan bahwa perubahan sistem bisa berimbas ke elektabilitas parpol sehingga mendasari munculnya penolakan kuat dari sebagian besar parpol. Bahkan, bagi parpol kecil, bisa saja perubahan sistem mengancam eksistensi mereka. Pasalnya, jika sistem proporsional tertutup diterapkan, tertutup peluang parpol mendulang suara dari caleg yang diajukan parpol sebagaimana bisa diraih saat sistem proporsional terbuka berlaku.
Tak hanya parpol di MPR/DPR, selama beberapa pekan terakhir, parpol yang berada di luar parlemen juga seolah bergantian menyerukan penolakan perubahan sistem pemilu dengan alasan yang mirip. Bersama dengan parpol di MPR/DPR, sejumlah parpol bahkan bertekad mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi sistem pemilu di MK. Parpol itu di antaranya Partai Nasdem, PKS, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Baca Juga: Konstelasi Partai Politik Sangat Dinamis
Pemilu 1999
Sistem pemilu proporsional tertutup sejatinya bukan barang baru dalam kepemiluan di Tanah Air. Pasca-reformasi, sistem itu pernah diterapkan pada Pemilu 1999. Kala itu, pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai dalam surat suara. Adapun penentuan calon terpilih sepenuhnya berdasarkan nomor urut dalam daftar caleg yang sebelumnya telah disodorkan parpol.

Ruang tamu di rumah Achmad Djufri, Kepala Urusan Pemerintah Desa Tuntang, Salatiga, Jawa Tengah, dijadikan salah satu tempat pemungutan suara (TPS) pada Pemilu 1999, Senin (7/6/1999). Bilik suara dibuat sederhana dengan bambu dan ditutupi korden atau taplak meja yang dipinjam dari warga sekitar.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, di Jakarta, Sabtu (7/1), menilai, cara penentuan wakil rakyat dengan sistem tersebut otomatis akan membuat pemilih tidak lagi memiliki hak untuk menentukan wakilnya di parlemen.
Tak hanya itu, proses perekrutan caleg di parpol dilihatnya masih tertutup dan tidak bisa dijangkau oleh pemilih. Faktor-faktor politis, seperti kedekatan dengan elite parpol dan lobi-lobi politik, bisa lebih menentukan dibandingkan dengan kapasitas. Akibatnya, dengan sistem proporsional tertutup, sangat mungkin calon yang hanya karena dekat dengan elite parpol tertentu, tetapi diragukan kapasitasnya, terpilih menjadi wakil rakyat.
Bisa juga terjadi parpol menempatkan anggota legislatif di mana pun dengan semata pertimbangan elektoral dan mengabaikan kedekatannya dengan masyarakat di daerah pemilihan tertentu. Padahal, anggota legislatif semestinya memahami kebutuhan dan menjembatani antara masyarakat dan pemerintah.
Lebih dari itu, dengan penentuan calon terpilih di tangan parpol, anggota legislatif nantinya justru menjadi perpanjangan tangan parpol. Mereka lebih mengutamakan kepentingan parpol, bukan konstituennya. ”Peran masyarakat jadi hampir nol karena tinggal menerima saja pilihan parpol. Padahal, yang menduduki kursi parlemen adalah wakil rakyat, bukan wakil partai,” ujarnya.
Baca Juga: Pindah Partai Politik, Kursi Tak Hilang

Mulai Pemilu 2004
Menjelang Pemilu 2004, pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, memutuskan mengubah sistem pemilu tersebut. Usulan perubahan datang dari pemerintah yang berpegang pada amanat Ketetapan MPR tahun 1999 yang menginginkan pemilu semakin berkualitas dengan memberikan partisipasi politik kepada rakyat semakin luas. Itu artinya hak rakyat sebenarnya tidak hanya menyoblos tanda gambar partai, Kompas (25/1/2003).
Alasan pemerintah ini kemudian diamini seluruh fraksi di DPR, termasuk PDI-P yang saat ini menginginkan sistem pemilu kembali diubah menjadi tertutup. Alhasil, di Pemilu 2004, sistem pemilu berubah menjadi proporsional daftar terbuka. Pemilih bisa memilih tanda gambar parpol dan nama caleg meski penentuan caleg terpilih tetap mengacu pada nomor urut.
Pola penentuan caleg terpilih baru berubah dengan berbasis pada suara terbanyak setelah putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 23 Desember 2008.
Dalam pertimbangannya, MK mengutip Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tentang esensi dari kedaulatan rakyat. MK menilai mekanisme suara terbanyak dalam pemilu merupakan cara terbaik dan memenuhi asas demokrasi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kehendak pemilih. Titik hubung dari tujuan kedaulatan rakyat dengan kualitas penyelenggaraan pemilu adalah agar rakyat sebagai subyek utama dalam kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek dalam mencapai kemenangan semata.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Diminta Tak Terjebak pada Penentuan Sistem Pemilu

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (20/7/2022).
MK yang saat itu dipimpin Mahfud MD juga mempertimbangkan, pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka karena ada keinginan rakyat memilih wakilnya yang diajukan oleh parpol dalam pemilu. Harapannya, wakil rakyat tidak hanya mementingkan kepentingan parpol, tetapi juga mampu membawa aspirasi pemilih.
Dengan putusan ini, mulai Pemilu 2009, sistem pemilu menggunakan proporsional daftar terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Kelebihan dan kekurangan
Tiga kali sudah sistem pemilu ini diterapkan dalam Pemilu 2009, 2014, dan 2019, bukan berarti sistem tersebut sudah sempurna. Kelemahan masih mudah dijumpai. Salah satunya, menurut Penjabat Sementara Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah, masifnya politik uang. Caleg kerap berbuat curang dengan membeli suara pemilih agar mendapatkan suara terbanyak. Selain itu, parpol kerap merekrut figur populer dengan mengabaikan kapasitasnya hanya untuk menarik suara bagi parpol.
Di sisi lain, meski saat ini sistem proporsional tertutup ditentang banyak kalangan, bukan berarti pula sistem itu tak ada kelebihannya. Salah satu keunggulan sistem itu bisa membuat peran parpol menjadi lebih kuat karena parpol dipaksa melakukan kaderisasi dan mendorong institusionalisasi parpol. Bahkan, di sejumlah negara yang menerapkan sistem ini, keterwakilan perempuan dalam parlemen bisa lebih dijamin.

Betty Epsilon Idroos saat masih menjabat Ketua KPU DKI Jakarta menjelaskan pencoblosan surat suara untuk anggota DPR dalam acara Simulasi Pemilu 2019: Perempuan Memiih di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).
Meski demikian, Hurriyah menilai, untuk kondisi Indonesia saat ini, sistem proporsional terbuka tetap paling tepat. Pasalnya, kondisi parpol dilihatnya masih belum ideal untuk menerapkan sistem proporsional tertutup. Hal ini terlihat mulai dari fungsinya dalam kaderisasi, regenerasi, dan kedekatan dengan pemilih yang masih belum baik.
”Parpol seharusnya menjadi institusi yang paling siap berdemokrasi, tetapi ternyata masih menjadi lembaga yang tidak demokratis,” katanya.
Bagaimana selanjutnya perjalanan dari sistem pemilu kita?
Kini, tentu menanti keputusan dari uji materi oleh MK. Namun, apa pun putusan dari MK, apakah proporsional terbuka dipertahankan atau diubah menjadi tertutup, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi karena kelemahan ada dalam setiap sistem.