KPU dan Bawaslu Perlu Memiliki Kesepahaman soal Silon
Perlu ada kesepahaman antara KPU dan Bawaslu terhadap tahapan Pemilu 2024, terutama keterbukaan akses pada sistem informasi pemilu. Sinergi di antara keduanya dibutuhkan untuk memperkuat penyelenggaraan pemilu.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dibutuhkan kesepahaman dan kesamaan tafsir antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu terhadap pelaksanaan tahapan Pemilu 2024, terutama keterbukaan akses pada sistem informasi pencalonan atau Silon. Hingga kini, Silon yang memuat, antara lain, data calon anggota legislatif sebagai peserta pemilu, belum dapat diakses oleh Bawaslu secara leluasa.
Akses tersebut dibutuhkan Bawaslu, bukan untuk mengganggu kerja teknis dan fokus pelaksanaan tahapan pemilu dari KPU, melainkan untuk melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap kelengkapan persyaratan peserta pemilu.
Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, berpendapat, Komisi Pemilihan Umum dinilai keliru dalam menempatkan posisi Bawaslu jika akses Silon saja masih terus dibatasi. Bawaslu merupakan bagian penyelenggara pemilu yang seharusnya mendapatkan akses Silon, sama seperti KPU, karena prinsip pemilu adalah transparansi dan akuntabilitas.
Menurutnya, jika KPU terbukti melanggar kode etik lembaga penyelenggara pemilu, Bawaslu harus bertindak tegas dengan melaporkannya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. ”Keberadaan Bawaslu sejatinya membantu KPU dalam mengeliminasi terkait lolos atau tidaknya caleg-caleg yang bermasalah. Sebab, kalau sampai ada caleg bermasalah yang lolos bisa berdampak pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik pada kerja-kerja penyelenggara pemilu,” kata Titi di Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Mantan Komisioner Bawaslu Wahidah Suaib menjelaskan, Bawaslu dan KPU memiliki kedudukan yang setara seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurutnya, seharusnya akses Bawaslu terhadap data informasi terkait bakal calon anggota legislatif itu tak dibatasi.
Pada Pasal 1 Undang-Undang No 17/2017 tentang Pemilu disebutkan, penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu. Ketiga lembaga ini, kata Wahidah berfungsi sebagai penyelenggara pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.
”KPU mesti memberikan akses Silon yang lebih luas kepada Bawaslu. Akses yang diberikan tidak sebatas fitur melihat, seperti nomor urut, nama, ataupun dapil (daerah pemilihan). Kalau saya melihatnya ada ketidakmengertian KPU dengan fungsi Bawaslu yang dianggap lembaga di luar penyelenggara pemilu,” kata Wahidah.
Keterbatasan akses itu membuat fungsi pengawasan Bawaslu kurang maksimal. Padahal, Bawaslu dan juga publik memerlukan transparansi dari KPU agar lembaga pengawasan itu dapat menunjukkan prosedur yang dilakukan KPU sesuai atau tidak dengan aturan.
”Dalam tahapan pemilu saat ini, Bawaslu butuh memeriksa kelengkapan berkas bakal caleg seperti legalitas Ijazah. Itu mulai dari kelengkapan berkas, ketepatan berkas, dan keabsahan berkas atau legalitas. Jika sudah ada teknologi, itu dapat mempermudah kerja tim Bawaslu, selain juga dilakukan di lapangan,” tuturnya
Sebelumnya, Bawaslu mengeluhkan keterbatasan akses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang diberikan KPU. Akses Silon yang diberikan KPU pada akhir Mei lalu dinilai masih sangat terbatas. Bawaslu tidak bisa mengakses dokumen persyaratan bakal caleg, seperti fotokopi ijazah yang dilegalisasi serta surat keterangan jasmani dan rohani. Bawaslu hanya bisa melihat bahwa dokumen persyaratan bakal caleg itu telah diunggah ke Silon.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, tidak semua berkas bisa diakses Bawaslu. Sebab, ada informasi yang dikecualikan, seperti ijazah dan rekam medis yang sifatnya pribadi. Namun, Bawaslu tetap bisa mengecek dokumen secara langsung dengan mendatangi lokasi verifikasi administrasi (Kompas.id, 12/6/2023).
Upaya persuasif
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty, mengatakan, Bawaslu terus berupaya melakukan pendekatan persuasif dengan KPU untuk membangun sinergitas kedua lembaga. Namun, jika tidak ada kemajuan, Bawaslu akan menempuh jalur seperti sengketa informasi atau melaporkan ke DKPP.
”Saat ini kami melakukan pengawasan melekat untuk mengatasi kesulitan ini. Ternyata, tidak dapat maksimal karena (untuk melihat data di Silon) kami dibatasi hanya 15 menit. Keterbatasan ini tentu memengaruhi kualitas mengawasi tahapan verifikasi administrasi bakal caleg,” tuturnya.
Mantan anggota KPU dan DKPP, Ida Budhiati, menambahkan, terkait data rahasia yang selama ini menjadi patokan KPU merupakan hal teknis yang bisa disiasati sepanjang ada kemauan dan itikad baik. Apalagi, alasan KPU yang tidak memberikan akses untuk melihat ijazah, CV, dan rekam medis para bakal caleg karena merupakan data pribadi dan masuk kategorisasi informasi publik yang dikecualikan. Padahal, kuncinya pada itikad baik sebagai sesama penyelenggara pemilu dan kesamaan tujuan untuk memastikan pemilu berjalan jujur dan adil.
”Jika kinerja Bawaslu itu bisa maksimal dalam melakukan fungsi pengawasan, itu juga akan menurunkan risiko gugatan kepada KPU bila ada sengketa pemilu,” katanya.