Bawaslu Diminta Rekomendasikan Revisi PKPU Pencalonan Anggota Legislatif
"Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 tak sesuai ketentuan perundang-undangan lebih tinggi. Yang dilakukan KPU dengan membuat aturan ini telah melanggar UU serta sumpah dan janji jabatan," ujar mantan anggota KPU, Ida Budhiati.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak Badan Pengawas Pemilu merekomendasikan revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang mengatur penghitungan bakal calon anggota legislatif perempuan. Sebab, aturan pembulatan ke bawah hasil penghitungan desimal dinilai melanggar Undang-Undang Pemilu. Bawaslu akan membahas polemik itu dalam forum bersama Bawaslu dengan KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Desakan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menerbitkan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 disuarakan oleh sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Puluhan orang berkaus hitam mendatangi Kantor Bawaslu di Jakarta, Senin (8/5/2023), dan diterima audiensi oleh anggota Bawaslu, Lolly Suhenty dan Totok Hariyono.
Dalam Pasal 8 Ayat (2) PKPU tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan angka pecahan. Apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sedangkan jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Saat konferensi pers seusai audiensi, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang terdiri dari 23 organisasi dan lembaga menyatakan menolak Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 karena melanggar Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Aturan itu juga mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan juga menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam. Sesuai kewenangannya, Bawaslu harus menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi Pasal 8 PKPU No 10/2023.
Jika dalam waktu 2x24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024. Upaya hukum tersebut adalah melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
”Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang dilakukan KPU dengan membuat aturan ini telah melanggar undang-undang serta sumpah dan janji jabatan,” ujar mantan anggota KPU dan DKPP, Ida Budhiati.
Menurut dia, Bawaslu memiliki instrumen hukum untuk mengingatkan KPU karena melanggar UU. Oleh karena itu, Bawaslu harus mengingatkan KPU agar merevisi aturan yang salah tersebut karena dampaknya bisa mengamputasi hak politik perempuan.
Ida mengingatkan, negara telah memberikan jaminan partisipasi politik kepada perempuan yang secara historis mengalami ketertinggalan. Oleh karena itu, ada afirmasi guna memberikan kuota sekurang-kurangnya 30 persen kepada perempuan untuk berkontestasi dalam pemilu legislatif. Parpol peserta pemilu juga diwajibkan memberikan kuota sekurang-kurangnya 30 persen kepada caleg perempuan.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demorkasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, selama ini KPU hanya menempatkan aturan penghitungan bakal calon anggota legislatif perempuan dalam rumus matematika. Penerapan matematika pemilu tersebut tidak relevan karena tidak dibutuhkan. Akibatnya, KPU mengabaikan afirmasi 30 persen kepada perempuan yang telah diatur dalam UU Pemilu.
Pembulatan ke bawah juga membuat persentase keterwakilan perempuan di dapil yang jumlah calegnya 4, 7, 8, dan 11 kurang dari 30 persen. Akibatnya, terdapat pengurangan 1 caleg perempuan di 38 dapil dari 84 dapil dibandingkan dengan di Pemilu 2019 yang menerapkan pembulatan ke atas. ”Perempuan yang seharusnya bisa berkompetisi akhirnya tidak mendapatkan tiket jika parpol hanya menerapkan jumlah minimal yang diatur di PKPU,” tuturnya.
Atas desakan tersebut, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengatakan, Bawaslu akan mengkaji desakan dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Oleh karena itu, pihaknya akan mengadakan forum tripartit KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk membahas polemik tersebut. Sebab, permasalahan ini harus segera diselesaikan sehingga affirmative action dilaksanakan sekaligus tidak mengganggu tahapan pemilu yang sedang berjalan.
Menurut dia, Bawaslu selalu mengingatkan KPU agar PKPU tidak ada yang bertentangan dengan undang-undang. Pihaknya juga akan mengecek lagi aturan di PKPU yang dipersoalkan tersebut. Jika bertentangan dengan undang-undang, perlu direvisi dan dikoreksi tanpa mengabaikan proses yang sudah berjalan di KPU, harusnya bisa dikoreksi.
”Terkait sikap Bawaslu, secara institusi kami harus berdiskusi. Walaupun secara personal saya bisa menyatakan harusnya tidak boleh melampaui undang-undang,” katanya.
Anggota KPU RI, Idham Holik, menilai, Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 merupakan turunan teknis dari UU Pemilu. Penghitungan jumlah caleg perempuan menggunakan pembulatan desimal juga sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta memenuhi affirmative action.
”Saya yakin, rekan-rekan jurnalis pada saat di sekolah ataupun perkuliahan, ketika dilakukan pembulatan secara matematika murni, maka 0 sampai 4 itu dibulatkan ke bawah dan 0,5 ataupun lebih itu dibulatkan ke atas. Ini, kan, standarnya standar matematika, bukan pembulatan hal yang baru dalam dunia matematika,” tuturnya.
Idham mengatakan, aturan pembulatan ke bawah muncul saat proses konsultasi dengan DPR. Dalam dinamika saat rapat konsinyering, berkembang usulan pendekatan matematika murni untuk menghitung jumlah bakal caleg perempuan. ”Pada saat pembahasan dilakukan bersama pembentuk undang-undang, dan itu juga dihadiri oleh penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan DKPP,” katanya.