Koalisi Kawal Pemilu Bersih menduga ada penyelundupan pasal sehingga bekas terpidana korupsi bisa maju dalam Pemilihan Anggota Legislatif 2024 tanpa harus melewati masa jeda lima tahun seperti diamanatkan putusan MK.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum atau KPU dinilai telah memberikan karpet merah bagi terpidana korupsi dengan mempermudah syarat para pelaku korupsi untuk mengikuti pemilihan calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, mantan terpidana korupsi tak harus melewati masa jeda lima tahun untuk maju dalam kontestasi jika pencabutan hak politik yang dijatuhkan pengadilan kurang dari masa jeda tersebut.
Mereka bisa langsung mengajukan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2024 begitu masa pencabutan hak politik yang dijatuhkan oleh putusan berkekuatan hukum tetap terlampaui. Misalnya, terpidana korupsi yang dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan politik tiga tahun, maka ia tak perlu menunggu masa jeda hingga lima tahun sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Terkait dengan hal ini, Minggu (28/5/2023) di depan Gedung KPU, Jakarta, Koalisi Kawal Pemilu Bersih menggelar aksi untuk memprotes dua peraturan KPU yang mengatur hal tersebut. Kedua peraturan dimaksud, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dan PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan Anggota DPD yang keduanya diterbitkan pada pertengahan April lalu.
Adapun Koalisi Kawal Pemilu Bersih terdiri atas sejumlah organisasi nonpemerintah yang memiliki perhatian terhadap masalah pemilu. Koalisi menduga ada penyelundupan pasal yang membuka celah bagi mantan terpidana korupsi untuk maju dalam kontestasi pemilihan anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda lima tahun yang diperintahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 11 Ayat (6) PKPU No 10/2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU No 11/2023 memberi pengecualian khusus jika putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memberi ketentuan lain khusus untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, dua PKPU tersebut memberikan karpet merah bagi mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Sebab, keduanya mencantumkan pengecualian perhitungan masa jeda waktu lima tahun khusus untuk mantan terpidana korupsi yang dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik kurang dari lima tahun.
Selain itu, KPU menghapus kewajiban pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bagi caleg terpilih di dalam PKPU No 10/2023.
”Apa yang dilakukan oleh KPU, terutama para komisioner bertentangan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi), berupaya mengikis nilai independensi, bahkan merusak asas pemilu,” ujar Kurnia. KPU dianggap telah menyelundupkan pasal yang meringankan terpidana korupsi maju dalam Pemilu Legislatif 2024.
Namun, KPU membantah telah melakukan penyelundupan pasal. Dalam keterangannya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengungkapkan bahwa pihaknya merujuk pada putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagai sumber hukum. Tak hanya di bagian amar putusan, KPU juga melihat bagian pertimbangan putusan.
Dalam amar putusan No 87/2022, MK menyatakan norma Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu, khususnya terkait masa jeda bagi mantan terpidana, bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai perlunya masa jeda 5 tahun setelah mantan terpidana menjalani pidana penjara berdasar putusan yang berkekuatan hukum tetap.
”Karena sanksi pencabutan hak politik dicalonkan berdasar putusan pengadilan, oleh MK dianggap sudah adil sebagai jeda waktu, sehingga tidak perlu digenapi jadi 5 tahun. MK menghormati putusan pengadilan yang ada,” kata Hasyim Asy’ari kepada wartawan.
Dengan demikian, apabila seorang terpidana korupsi diberi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun, ia tidak perlu menggenapi masa jeda hingga lima tahun setelah bebas jika hendak mencalonkan diri menjadi caleg.
Menurut Kurnia, KPU hanya berpura-pura tidak memahami konstruksi putusan MK. Mestinya, perhitungan yang benar tetap berpijak pada kewajiban melewati masa jeda lima tahun. MK pun di dalam pertimbangannya sudah menjelaskan alasan mengapa waktu lima tahun dipilih sebagai masa jeda.
Pertimbangan itu tercantum dalam putusan No 87/2022, yaitu bahwa masa tunggu lima tahun setelah terpidana menjalani masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan instrospeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Penafsiran KPU atas putusan MK oleh Kurnia dipandang bakal memberi dampak buruk pada pemilu, pemberantasan korupsi dan masyarakat selaku pemilih. KPU terlihat seperti sedang ingin mencoreng nilai integritas dalam pemilu. Upaya MK melalui putusannya untuk menghadirkan caleg yang rekam jejak hukumnya bersih, dirusak oleh KPU dengan membolehkan mantan terpidana korupsi mencalonkan diri lebih cepat dari masa jeda yang sudah dianggap konstitusional oleh MK.
KPU juga dinilai berpihak kepada koruptor dan mengabaikan pemberian efek jera untuk pelaku korupsi. Menurut Kurnia, seharusnya KPU memahami bahwa masa jeda lima tahun merupakan bagian atau rangkaian dari upaya pemberian efek jera kepada pelaku korupsi.