Syarat Minimal Hakim Konstitusi Jadi 60 Tahun, Nasib Tiga Hakim MK Belum Jelas
Panja RUU MK DPR dan pemerintah menyepakati syarat minimal usia hakim konstitusi diubah dari 55 tahun menjadi 60 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat untuk menaikkan syarat minimal usia hakim konstitusi yang semula 55 tahun menjadi 60 tahun. Namun, pembentuk undang-undang belum menyepakati aturan peralihan ketentuan lama ke ketentuan baru mengingat saat ini ada tiga hakim konstitusi yang tidak memenuhi syarat usia minimal 60 tahun jika aturan baru tersebut diberlakukan.
Ketiga hakim konstitusi tersebut adalah Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra yang tahun ini baru genap berusia 55 tahun, Daniel Yusmic P Foekh yang baru berusia 58 tahun, dan Guntur Hamzah yang baru berusia 58 tahun.
Kesepakatan pemerintah dengan Panitia Kerja Komisi III DPR mengenai batas usia minimal hakim MK tersebut diambil dalam rapat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang digelar secara tertutup, Rabu (24/5/2023).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, saat dikonfirmasi membenarkan tentang naiknya batas usia minimal menjadi hakim konstitusi. Salah satu alasan yang digunakan saat menaikkan usia minimal hakim konstitusi adalah agar kematangan serta kenegarawanan hakim yang bersangkutan lebih terjamin.
Baca juga : Saat DPR ”Manjakan” Hakim MK
Selain itu, hal tersebut diambil sesuai dengan politik hukum pembentuk undang-undang bahwa masa jabatan seorang hakim konstitusi maksimal 10 tahun. Seperti diketahui, UU No 24/2003 tentang MK (UU MK pertama) mengatur masa jabatan hakim konstitusi lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya. Ketentuan ini kemudian diubah dalam perubahan ketiga UU MK (UU No 7/2020) menjadi masa jabatan maksimal 15 tahun atau berusia maksimal 70 tahun.
”Kok, langsung jadi 15 tahun. Jadi, ini semacam corretive action. Kita tidak kembali ke model dulu di mana hakim konstitusi menjabat selama lima tahun, kemudian diseleksi kembali untuk diangkat untuk lima tahun berikutnya. Karena proses seleksi ini dirasa mengganggu independensi. Maka, kita sepakati masa jabatan menjadi maksimal 10 tahun dan mulai dari usia 60 tahun,” kata Arsul.
Ditanya mengenai status tiga hakim MK yang saat ini belum genap 60 tahun, Arsul mengatakan bahwa pemerintah dan DPR akan mempertimbangkan hal tersebut secara matang. Belum ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR mengenai ketentuan peralihan yang mengatur tentang para hakim yang menjabat saat ini (Pasal 87).
Jadi, ini semacam corretive action. Kita tidak kembali ke model dulu di mana hakim konstitusi menjabat selama lima tahun, kemudian diseleksi kembali untuk diangkat untuk lima tahun berikutnya. Karena proses seleksi ini dirasa mengganggu independensi. Maka, kita sepakati masa jabatan menjadi maksimal 10 tahun dan mulai dari usia 60 tahun.
Berdasarkan surat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tertanggal 23 Mei 2023 yang dikirimkan kepada Wakil Ketua DPR/Koordinator Bidang Politik dan Keamanan terkait tindak lanjut pembahasan RUU tentang perubahan keempat UU MK, pemerintah mengusulkan rumusan Pasal 27A dan Pasal 87 (ketentuan peralihan). Adapun rumusan yang diusulkan sebagai berikut:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 65 (enam puluh lima) tahun, masa jabatannya berakhir terhitung 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penetapan Keputusan Presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi yang bersangkutan; dan
b. hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dan telah melewati usia 65 (enam puluh lima) tahun, masa jabatannya berakhir mengikuti usia pensiun berdasarkan Undang-Undang ini.
Akan tetapi, Arsul mengatakan, fraksi-fraksi tidak sependapat dengan usulan pemerintah. Ada fraksi yang mengusulkan agar bagi hakim konstitusi yang belum memenuhi syarat usia minimal 60 tahun, nasibnya diserahkan kepada lembaga pengusul melalui konfirmasi. Apabila lembaga pengusul menyatakan bahwa karena yang bersangkutan belum memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU baru, kemudian lembaga tersebut memutuskan untuk melakukan seleksi kembali, maka akan dilakukan seleksi ulang.
”Tapi catatan yang kami sampaikan adalah bahwa hal ini tidak boleh mengganggu tugas-tugas MK, terutama dalam menangani sengketa pemilu dan pilkada. Karena pandangan itu, maka saya usulkan agar UU MK baru ini baru efektif berlaku setelah sengketa pilkada selesai. Itu usulan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan,” ujarnya. Menurut Arsul, proses seleksi ulang hakim konstitusi untuk mencari pengganti hakim yang belum memenuhi syarat usia minimal bisa sangat mengganggu.
Terkait dengan masih adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR mengenai ketentuan peralihan, diputuskan bahwa masing-masing akan membahasnya secara internal terlebih dahulu. Pemerintah juga akan berkonsultasi dengan staf ahli yang bertugas di MK dan bukan kepada hakim konstitusi karena hal tersebut berkaitan dengan nasib mereka.
”Kesimpulan rapat tadi adalah masing-masing kami dalami dulu. Kami tidak mau terburu-buru juga. Kami dalami apakah mau seperti model yang diusulkan pemerintah atau yang diusulkan fraksi-fraksi, tetapi dengan catatan harus dipastikan tidak akan terjadi disrupsi dalam penanganan sengketa pemilu dan pilkada,” ujarnya.
Selain membahas usia minimal hakim konstitusi, pemerintah dan DPR juga menyepakati komposisi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang akan bertugas untuk menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi yang diatur dalam Pasal 27A. Kedua belah pihak sepakat anggota MKHK terdiri dari satu hakim konstitusi, satu orang usulan MK, satu orang usulan Mahkamah Agung, satu orang usulan DPR, dan satu orang usulan Presiden. Syarat keanggotaan MKHK adalah tidak menjadi anggota partai politik.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, berubah-ubahnya pengaturan usia minimal hakim konstitusi menjadi upaya pembentuk undang-undang untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman. Tidak pernah ada alasan yang jelas terkait dengan berubah-ubahnya usia minimal menjadi hakim MK.
”Ini sudah terang benderang mau menyatakan bahwa mereka owner hakim MK. Ini seperti penggantian Hakim Aswanto di tengah jalan, tidak ada alasan obyektif apa pun. Sudah batal secara logika hukum dan politik hukum pembangunan,” ujarnya.
Seharusnya, menurut Charles, UU No 7/2020 (perubahan ketiga UU MK) dilaksanakan terlebih dahulu, apalagi sudah ada tafsir dari MK mengenai regulasi tersebut. ”Mereka seharusnya konsisten, dilaksanakan dulu dua atau tiga tahun, dilihat apa implikasi negatifnya. Jika ada implikasi negatifnya, masyarakat sudah tentu melakukan judicial review. Jangan ujug-ujug karena tidak terima dengan putusan MK, lalu enak saja mengubah aturan,” katanya.
Baca juga : Aturan Peralihan Bisa Hindarkan RUU MK dari Konflik Kepentingan
Perubahan pengaturan usia minimal tersebut disebut Charles sebagai preseden yang kian buruk. Langkah tersebut seakan mengonfirmasi apa yang disampaikan Tom Ginsburg, profesor hukum internasional dan ilmu politik dari Universitas Chicago, mengenai upaya-upaya intervensi terhadap pelaku kekuasaan kehakiman. ”Kalau ini bagian dari intimidasi terhadap kekuasaan kehakiman,” kata Charles.
Salah satu advokat yang sering beracara di MK, Viktor Santoso Tandiasa, menilai, pembentuk undang-undang saat ini cenderung senang mengubah-ubah nasib orang. ”Dia merasa kayak punya kekuasaan yang bisa menentukan nasib seseorang melalui undang-undang. Kalau seandainya untuk lebih baik, tidak masalah. Tapi, kalau kemudian merugikan orang yang terdampak, bermasalah,” ujarnya.