Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Dinilai Lemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi
Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang mengecualikan aturan jeda lima tahun sepanjang vonis pengadilan telah mencantumkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dinilai dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mantan terpidana korupsi mendapatkan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024. Hal ini menyusul Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU yang mengecualikan aturan jeda lima tahun sepanjang vonis pengadilan telah mencantumkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Padahal, aturan tersebut bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa mantan terpidana harus melewati jangka lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Pasal 11 Ayat 1 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjelaskan, salah satu yang disyaratkan bagi mantan terpidana adalah telah melewati jangka waktu lima tahun. Asalkan, mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, lampiran Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota memberikan simulasi bahwa mantan terpidana yang diputus pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, yang bersangkutan bebas murni pada 1 Januari 2020. Ketentuan itu hanya berlaku pada pencabutan hak pilih tersebut. Mantan terpidana itu telah memiliki hak untuk dipilih per tanggal 1 Januari 2023, terhitung 3 (tiga) tahun sejak bebas.
KPU berdasarkan pada pertimbangan hukum yang termuat pada halaman 29 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 yang mempertimbangkan ”sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” sehingga mantan terpidana yang mendapatkan pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun maka hanya berlaku pencabutan hak pilih tersebut.
”Lampiran Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota memberikan simulasi bahwa mantan terpidana yang diputus pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, yang bersangkutan bebas murni pada 1 Januari 2020. ”
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menjatuhkan putusan untuk memperketat syarat pencalonan bagi kandidat dalam pemilihan anggota legislatif baik DPRD, DPR, dan DPD yang tertuang dalam Putusan MK 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023. Pengetatan itu, antara lain, dilakukan dengan mengatur mantan terpidana yang akan mengikuti kontestasi elektoral harus melewati jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana.
KPU pura-pura tak pahami putusan MK
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, KPU keliru dan seperti berpura-pura tidak memahami amar putusan MK. Padahal, bagi mantan terpidana yang dikenakan pencabutan hak politik selama tiga tahun sebagaimana simulasi yang dilakukan KPU hak politiknya tetap tidak bisa langsung digunakan. Mantan terpidana tetap harus menunggu dua tahun lagi agar mandat putusan MK berupa masa jeda waktu dapat terpenuhi.
”KPU keliru dan seperti berpura-pura tidak memahami amar putusan MK. Padahal, bagi mantan terpidana yang dikenakan pencabutan hak politik selama tiga tahun sebagaimana simulasi yang dilakukan KPU hak politiknya tetap tidak bisa langsung digunakan. Mantan terpidana tetap harus menunggu dua tahun lagi agar mandat putusan MK berupa masa jeda waktu dapat terpenuhi."
Tak hanya PKPU No 10/2023, kata Kurnia, dalam Pasal 15 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD juga ditemukan masalah serupa.
”Jika dua PKPU tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin akan banyak mantan terpidana korupsi dapat lebih cepat mengikuti kontestasi politik. KPU melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan wakil rakyat yang berintegritas,” kata Kurnia dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Menyoal PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023 secara daring di Jakarta, Senin (22/5/2023).
Kurnia menjelaskan, data Indonesia Corruption Watch sepanjang 2021, ditemukan total 55 terdakwa yang berlatar belakang politik dan 31 orang diantaranya yang dijatuhi hukuman pencabutan hak politik. Adapun rata-rata hukuman pencabutan hak politik juga sangat rendah, yakni 3 tahun 5 bulan.
”Efek jera itu sudah sejalan dengan putusan MK yang menghendaki masa jeda waktu bagi mantan terpidana yang ingin maju dalam kontestasi politik apapun, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif."
Oleh karena itu, pelaku korupsi yang berlatar belakang politik penting untuk diberikan efek jera, di antaranya dengan mewajibkan melewati masa jeda waktu lima tahun sebelum mereka dapat diberikan hak politik kembali. "Efek jera itu sudah sejalan dengan putusan MK yang menghendaki masa jeda waktu bagi mantan terpidana yang ingin maju dalam kontestasi politik apa pun, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif,” katanya.
Kurnia mendesak KPU segera membatalkan PKPU No 10/2023 dan PKPU No 11/2023. KPU tidak lagi mencantumkan syarat berupa menjalani masa hukuman pencabutan hak politik dan tetap berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi berupa melewati masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif. Jika desakan tidak dipenuhi, pihaknya akan melakukan uji materi dua PKPU tersebut ke Mahkamah Agung.
Mantan anggota KPU, Ida Budhiati, menjelaskan, KPU sudah melanggar sumpah jabatan dan prinsip akuntabilitas. KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak mendukung upaya pemberantasan praktik korupsi politik.
”Komitmen mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN tidak tecermin dalam kebijakan KPU saat ini. KPU harus cepat merespons polemik ini terkait mantan terpidana seperti apa yang diberlakukan dalam aturan tersebut,” katanya.
”Komitmen mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN tidak tecermin dalam kebijakan KPU saat ini. KPU harus cepat merespons polemik ini terkait mantan terpidana seperti apa yang diberlakukan dalam aturan tersebut."
Aturan menyesatkan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako FH Unand), Charles Simabura, mengatakan, kedua PKPU tersebut merupakan aturan yang menyesatkan. Ia meminta semua pihak harus menolaknya agar para koruptor benar-benar dicekal atas kejahatan yang mereka lakukan. Ini bertujuan agar pemerintahan baru merupakan hasil pemilu yang bisa benar-benar bersih.
Menurut Charles, sejak reformasi, spirit yang dibawa adalah pemberantasan korupsi. Salah satu cara adalah dengan melakukan pembatasan hak politik narapidana korupsi. Namun, ada pihak-pihak tertentu yang mencoba untuk mencari celah dari sejumlah regulasi yang sudah ada.
”Mereka mencoba melemahkan spirit pemberantasan korupsi melalui PKPU tersebut. Hasilnya yang terjadi ada penurunan gradasi spirit penyelenggara pemilu,” ucap Charles.
Menanggapi hal tersebut, anggota KPU, Idham Holik, mengatakam aturan PKPU 10/2023 dan KPU 11/2023 yang telah diterbitkannya itu sudah sesuai ketentuan dan melewati sejumlah proses. Mulai dari rapat konsultasi di DPR dan uji publik ketika masih berstatus rancangan.
”Putusan Mahkamah Agung Nomor 30 P/HUM/2018, disebutkan MA telah memperbolehkan mantan narapidana maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Mantan narapidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih harus telah melewati masa jeda 5 tahun dan memberikan pernyataan kepada publik melalui media massa," tutur Idham.