Independensi KPU Diragukan Soal Penghitungan Keterwakilan Perempuan
Penolakan Komisi II DPR seharusnya tidak mengubah keputusan KPU yang berencana merevisi PKPU No 10/2023 soal penghitungan bagi caleg perempuan. Jika rencana itu tak direalisasikan, KPU akan sulit dipercaya publik.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan mengingatkan Komisi Pemilihan Umum agar tidak tersandera kepentingan partai politik setelah Komisi II DPR menolak rencana perubahan ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan. Konsultasi KPU dengan DPR dan Pemerintah tidak bersifat mengikat. Karena itu, revisi aturan dapat segera dilakukan KPU sebagai lembaga independen agar pemilu tetap konstitusional dengan terpenuhinya kuota bakal caleg perempuan minimal 30 persen tersebut.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyampaikan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 92/PUU-XIV/2016 menyatakan hasil konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah tidak bersifat mengikat. Penolakan yang dilakukan Komisi II DPR itu seharusnya tidak mengubah keputusan KPU yang berencana akan melakukan revisi Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Sangat disayangkan meski KPU sudah melakukan konferensi pers untuk merevisi aturan tersebut, KPU tidak dapat bersikap independen setelah adanya rapat konsultasi dengan pemerintah dan DPR. Padahal, KPU bisa memutuskannya secara mandiri karena sudah ada putusan MK bahwa hasil konsultasi itu tidak mengikat,” ujar Khoirunnisa yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan saat dihubungi di Jakarta, Kamis (18/5/2023).
Dalam Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 itu disebutkan, hasil penghitungan dibulatkan ke bawah jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50. Adapun jika hasilnya 50 atau lebih, hasil penghitungan dibulatkan ke atas.
Implikasi dari aturan ini mengurangi jumlah bakal caleg perempuan di sejumlah dapil. Pada Selasa (9/5/2023) malam, KPU setelah rapat dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengatakan bahwa pasal tersebut akan direvisi menjadi penghitungan 30 persen itu menghasilkan angka pecahan yang dibulatkan ke atas. Aturan ini telah berlaku di pemilu sebelumnya.
Sementara hasil kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/5/2023), sembilan fraksi di Komisi II DPR menolak usulan revisi PKPU No 10/2023.
Implikasi dari aturan ini mengurangi jumlah bakal caleg perempuan di sejumlah dapil.
Menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, PKPU No 10/2023 tidak perlu ada perubahan. Apalagi, semua parpol sudah memenuhi syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR. Bahkan, 18 parpol menyerahkan 37,6 persen caleg perempuan untuk berkontestasi di Pileg 2024, jauh lebih besar dibandingkan yang dipersyaratkan oleh undang-undang.
Atas keputusan RDP tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menolak memberikan komentar. Ia tidak menanggapi pertanyaan wartawan yang menanyakan respons KPU atas penolakan Komisi II DPR tersebut (Kompas.id, 17/5/2023).
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah berpendapat klaim parpol yang menyatakan telah melebihi minimal kuota 30 persen bakal caleg perempuan masih sulit dibuktikan. Jika memang telah melebihi kuota 30 persen keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024, seharusnya parpol tidak ada masalah dengan revisi PKPU No 10/2023.
”Sistem Informasi Pencalonan atau Silon hanya bisa diakses oleh KPU. Publik pun menjadi sulit untuk membuktikan parpol mana saja yang memenuhi persyaratan kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan,” tutur Hurriyah.
Apalagi, dari perhitungan Puskapol UI, kata Hurriyah, aturan itu berpotensi mengurangi keterwakilan politik perempuan di parlemen. Padahal Pemilu 2019, jumlah caleg perempuan DPR telah mencapai 40 persen.
”Kami mencatat dapil (daerah pemilihan) yang terdampak terutama dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11 di DPR, maka aturan ini akan berdampak pada sekitar 38 dapil sehingga jumlah caleg perempuan akan berkurang,” katanya.
Menurut Hurriyah, pendaftaran bakal caleg yang sudah selesai pada 14 Mei lalu disusul dengan ketidakpastian penetapan revisi PKPU No 10/2023 dapat berdampak luas bagi pelaksanaan dan perlindungan hak politik perempuan untuk berpartisipasi sebagai bakal caleg DPR dan DPRD. Apabila KPU memutuskan mengikuti sepenuhnya keputusan konsultasi dengan DPR, akan dinilai publik sebagai bentuk inkonsistensi dan ketidakmandirian KPU dalam mengatur dan menyelenggarakan pemilu.
Dengan demikian, salah satu cara yang bisa dilakukan masyarakat sipil adalah menempuh uji materi ke Mahkamah Agung. Cara ini dapat mengoreksi PKPU No 10/2023 yang tidak sesuai dengan UU No 7/2017.
Masyarakat sipil mengingatkan KPU terhadap pentingnya menjaga integritas dan independensi sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU Pemilu.
Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia Titi Anggraini mengatakan, pengujian PKPU No 10/2023 yang diajukan kepada Mahkamah Agung adalah paling lambat 30 hari kerja sejak Peraturan KPU diundangkan. Uji materi yang akan dilakukan ini tentu tidak mempunyai banyak waktu yang tersisa untuk upaya hukum tersebut.
Masyarakat sipil mengingatkan KPU terhadap pentingnya menjaga integritas dan independensi sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU Pemilu. Selain itu, KPU bisa dilaporkan ke DKPP karena telah melanggar sumpah dan janji sebagai penyelenggara pemilu. Hak ini supaya menjadi pembelajaran bahwa publik serius mengawal integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu.
”Ke depan, KPU akan sulit dipercaya publik dan DPR akan terus berulang mendikte KPU dalam mengatur tahapan pemilu dengan dalih sebagai pihak yang paling punya otoritas menginterpretasikan maksud UU Pemilu No 7/2017 itu,” tutur Titi.