Komisi II DPR Tolak Usulan KPU Soal Penghitungan Keterwakilan Perempuan
Komisi II DPR menginginkan agar KPU tidak mengubah aturan mengenai penghitungan jumlah minimal keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg yang diajukan partai politik peserta pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat menolak usulan Komisi Pemilihan Umum yang akan merevisi cara penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota perempuan di setiap daerah pemilihan. KPU diminta konsisten mengimplementasikan aturan yang telah dibuat dan dilaksanakan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/5/2023), sembilan fraksi di Komisi II DPR menolak usulan revisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
RDP tersebut digelar sebagai forum konsultasi rencana revisi PKPU No 10/2023 yang akan dilakukan oleh KPU. Revisi akan dilakukan pada Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 yang mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan apabila menghasilkan angka pecahan. Dalam PKPU No 10/2023 diatur, jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
PKPU No 10/2023 tidak perlu ada perubahan. Jadi, kami tetap konsisten dengan peraturan ini karena relevan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 245 yang membangkitkan kesadaran kepada semua parpol.
KPU awalnya mengusulkan norma itu diubah menjadi ”dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”. Selain itu, disisipkan Pasal 94A yang mengatur waktu bagi parpol untuk memperbaiki daftar bakal calon anggota legislatif. Pasal itu berbunyi, ”Bagi parpol peserta pemilu yang telah mengajukan daftar bakal calon sebelum berlakunya PKPU tersebut melakukan perbaikan daftar bakal calon sampai dengan batas akhir masa pengajuan bakal calon”.
Namun, fraksi-fraksi di Komisi II DPR memandang norma tersebut tak perlu diubah. ”PKPU No 10/2023 tidak perlu ada perubahan. Jadi, kami tetap konsisten dengan peraturan ini karena relevan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 245 yang membangkitkan kesadaran kepada semua parpol,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Menurut dia, semua parpol sudah memenuhi syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR. Bahkan, 18 parpol menyerahkan 37,6 persen caleg perempuan untuk berkontestasi di Pileg 2024, jauh lebih besar dibandingngkan yang dipersyaratkan oleh undang-undang.
Oleh karena itu, lanjut Doli, PKPU No 10/2023 tidak membuat masalah baru maupun tidak memunculkan kekhawatiran kurangnya keterwakilan caleg perempuan seperti yang diungkapkan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Sebab, semua parpol memahami aturan dan melaksanakan aturan tersebut. ”Komisi II DPR meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU No 10/2023,” ujarnya.
Ketua Kelompok Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo memandang, PKPU No 10/2023 tidak perlu diubah. Sebab, perubahan aturan di tengah jalan bisa menimbulkan situasi yang tidak kondusif dan keadaan yang tidak diharapkan saat pemilu. Perubahan dikhawatirkan merugikan parpol karena bisa memicu konflik.
Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan pemilu harus melaksanakan aturan secara konsisten. Pemenuhan afirmasi perempuan tidak hanya dilakukan dalam pendekatan legal dan formal, tetapi juga harus substantif agar peningkatan kualitas perempuan di parlemen bisa tercapai.
”Aturan harus tetap sejalan dengan demokrasi mengingat parpol juga ingin mendapatkan suara dan kursi sebanyak-banyaknya,” ujar Arif.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Mohamad Muraz, meminta KPU memperhatikan kondisi faktual di lapangan. Sebab, banyak parpol kesulitan merekrut caleg perempuan, bahkan harus merengek untuk mengajak perempuan menjadi caleg. Bahkan, ada parpol yang harus mencari ”joki” agar mampu memenuhi jumlah caleg perempuan.
Atas keputusan RDP tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menolak memberikan komentar. Ia tidak menanggapi pertanyaan wartawan yang menanyakan respons KPU atas penolakan Komisi II DPR tersebut.