Proyek Fiktif di BUMN, Pengawasan Internal Kebobolan
BUMN dinilai masih menjadi sapi perah. Akibatnya, korupsi berulang terjadi di BUMN.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terjadinya dugaan korupsi dengan modus proyek ataupun pengadaan fiktif di sejumlah badan usaha milik negara akhir-akhir ini ditengarai sebagai akibat dari berbagai faktor, seperti tata kelola yang buruk, utang yang menumpuk, serta dugaan perilaku koruptif. Kasus korupsi dengan modus semacam itu sekaligus mengindikasikan mekanisme pengawasan internal yang tidak berfungsi.
Sebagaimana diberitakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi oleh PT Graha Telkom Sigma tahun 2017-2018. Kasus tersebut terkait dengan perjanjian kerja sama fiktif pembangunan apartemen, perumahan, hotel, dan penyediaan batu split dengan beberapa perusahaan.
Selain itu, penyidik Kejagung juga menangani kasus korupsi yang terjadi di PT Waskita Beton Precast Tbk dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Kasus yang akhirnya membuat Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk Destiawan Soewardjono ditetapkan sebagai tersangka tersebut diduga terkait proyek fiktif yang dibuat untuk mencairkan sejumlah fasilitas pembiayaan.
Tak hanya Kejagung, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menangani kasus dugaan korupsi di BUMN, yakni PT Amarta Karya (Persero), terkait proyek fiktif yang menyeret direktur utama dan direktur keuangan perusahaan tersebut, yakni Catur Prabowo dan Trisna Sutisna.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman, ketika dihubungi pada Minggu (14/5/2023), berpandangan, kasus dugaan korupsi yang terjadi di tubuh BUMN tidak lepas dari kondisi internalnya, yakni adanya utang dan tuntutan untuk mendapatkan keuntungan. Persoalan yang mestinya bisa diatasi itu menjadi rumit karena tata kelola perusahaan yang buruk.
”Atas dasar kesulitan itu, oknum direksi di BUMN berupaya mendapatkan pemasukan yang seolah merupakan pendapatan resmi. Proyek fiktif itu, kan, bisa mendatangkan keuntungan yang tercatat pendapatan perusahaan. Istilahnya direksi harus kreatif,” ujar Boyamin.
Tidak hanya mencatatkan keuntungan, dana yang masuk dari proyek fiktif itu juga ada yang digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo. Bukan tidak mungkin utang yang harus ditutup itu sebelumnya juga digunakan untuk keperluan yang sama, yakni menutup utang yang bermasalah.
Di sisi lain, lanjut Boyamin, kasus terkait proyek fiktif tersebut semakin menegaskan tata kelola BUMN yang buruk. Padahal, jika BUMN berhasil memenangkan tender suatu proyek infrastruktur, keuntungan yang bakal diperoleh sudah cukup besar. Apalagi, dalam suatu proyek infrastruktur, biasanya BUMN hanya berperan sebagai manajer. Sementara pengerjaannya diserahkan kepada subkontraktor.
”Dengan cara itu, mereka (BUMN) bisa untung lebih besar lagi karena mereka memberi harga ke subkontraktor dengan harga yang lebih murah atau ditekan,” tutur Boyamin.
Faktor lain yang menurut Boyamin juga turut memperbesar perilaku koruptif di tubuh BUMN adalah setiap posisi direksi BUMN ada harganya atau harus ”dibeli”, entah kepada oknum politisi, oknum pemerintah, atau pihak tertentu. Sebagai gantinya, mereka harus mendapatkan dana yang didapatkan dari jalur tidak resmi alias fiktif.
”BUMN kita masih menjadi sapi perah yang berdampak pada biaya tinggi. Nah ini yang sangat disayangkan karena Kementerian BUMN belum mampu membina BUMN kita untuk menjalankan tata kelola yang baik,” ujar Boyamin.
Pengajar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, berpandangan, proyek fiktif semestinya merupakan sesuatu yang sulit dikerjakan oleh jajaran direksi BUMN ketika fungsi pengawasan yang dijalankan dewan komisaris berjalan optimal. Sebab, setiap rencana aksi dari direksi biasanya dilaporkan kepada dewan komisaris sebuah BUMN.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (kanan) didampingi Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) memberikan keterangan kepada para jurnalis setelah menghadiri kegiatan penandatanganan perjanjian kerja sama dalam rangka pencegahan korupsi melalui Whistle Blowing System (WBS) di Gedung Juang KPK, Selasa (2/3/2021). Kegiatan tersebut diikuti oleh 27 perusahaan BUMN. WBS merupakan aplikasi untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi.
Dalam menjalankan pengawasan, dewan komisaris juga bisa melibatkan komite audit untuk mendalami suatu transaksi atau aksi korporasi yang dirasa janggal.
Di sisi eksternal, pengawasan eksternal oleh auditor independen berdasarkan laporan keuangan yang dilakukan oleh BUMN, termasuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), semestinya menjadi pengawasan yang berlapis bagi sebuah BUMN.
”Kalau masih terjadi kebocoran juga, masih terungkap kasus korupsi lewat transaksi fiktif, semua mekanisme pengawasan ini bobol alias tidak berfungsi. Apalagi, kalau BUMN-nya juga sudah go public (perusahaan terbuka), ini bisa menurunkan kepercayaan investor,” tutur Toto.
Untuk memperbaiki hal itu, menurut Toto, tidak ada jalan lain selain meningkatkan kualitas pengawasan terhadap BUMN. Salah satunya adalah sungguh-sungguh menjalankan fungsi koordinasi tiga pihak dalam manajemen risiko dalam sebuah organisasi untuk mencegah kecurangan, yakni antara pemilik risiko, pengawas risiko, dan unit audit internal.
Dari sisi eksternal, ketika BPK atau auditor eksternal sudah memberikan rekomendasi berupa catatan perbaikan, hal itu harus langsung dijalankan pada tahun buku berikutnya. Sebab, sering terjadi catatan perbaikan itu diberikan berulang. ”Di samping itu, law enforcement harus ditegakkan untuk memberikan efek jera,” kata Toto.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan, peristiwa penetapan tersangka kepada jajaran direksi BUMN merupakan peringatan kepada BUMN lain. Ia mengingatkan agar BUMN yang lain bekerja secara profesional dan transparan sesuai peta jalan yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, perkembangan penyidikan perkara dugaan korupsi di PT Waskita Karya (Persero) Tbk maupun PT Graha Telkom Sigma akan disampaikan besok (15/5/2023).