KPU Diminta Konsisten Revisi PKPU Terkait Kuota Caleg Perempuan
Mekanisme pembentukan PKPU dalam situasi normal sebaiknya tak dilakukan karena tahapan pencalonan anggota legislatif tengah bergulir. Konsultasi dengan DPR dan pemerintah bisa saja melalui pemberitahuan tertulis.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Komisi Pemilihan Umum mengubah cara penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota DPR dan DPRD perempuan di setiap daerah pemilihan sudah tepat. KPU diharapkan konsisten dengan rencana perubahan itu, termasuk saat mengonsultasikannya ke DPR dan pemerintah.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU telah melayangkan surat permintaan konsultasi ke DPR pada Rabu (10/5/2023). Konsultasi ke DPR dan juga pemerintah disebutnya wajib untuk pembentukan regulasi terkait penyelenggaraan pemilu. ”Termasuk di dalamnya perubahan peraturan,” katanya di Jakarta, Rabu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Cara penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap daerah pemilihan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 diputuskan direvisi oleh KPU setelah rapat dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Selasa (9/5/2023) malam.
Dalam Pasal 8 Ayat 2 itu disebutkan, hasil penghitungan dibulatkan ke bawah jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50. Adapun jika hasilnya 50 atau lebih, hasil penghitungan dibulatkan ke atas. Implikasi dari aturan ini mengurangi jumlah bakal caleg perempuan di sejumlah dapil. Pasal tersebut akan direvisi menjadi dalam hal penghitungan 30 persen menghasilkan angka pecahan dibulatkan ke atas. Aturan ini pula yang berlaku di pemilu sebelumnya.
KPU juga menyisipkan Pasal 94A yang mengatur waktu bagi parpol untuk memperbaiki daftar bakal caleg. Pasal itu berbunyi bagi parpol peserta pemilu yang telah mengajukan daftar bakal calon sebelum berlakunya PKPU tersebut melakukan perbaikan daftar bakal calon sampai dengan batas akhir masa pengajuan bakal calon.
Apabila parpol peserta pemilu tidak dapat melakukan perbaikan daftar bakal calon sampai dengan batas akhir masa pengajuan bakal calon pada 14 Mei, parpol bisa melakukan perbaikan daftar calon pada tahapan pengajuan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon. Dalam hal ini, pengajuan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon berlangsung pada 26 Juni hingga 9 Juli 2023.
Saat dimintai tanggapan terkait rencana KPU merevisi PKPU tersebut, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mendukung langkah KPU tersebut. Menurut dia, perempuan perlu mendapatkan dukungan agar memiliki perwakilan yang lebih banyak dalam politik. Oleh karena itu, langkah untuk merevisi penghitungan keterwakilan caleg perempuan 30 persen sangat tepat.
Sebagai parpol pertama yang telah mendaftarkan bakal calegnya ke KPU, katanya, PKS akan mengecek ulang komposisi bakal caleg perempuan di setiap daerah pemilihan agar sesuai dengan aturan yang baru. Namun, ia optimistis keterwakilan bakal caleg perempuan PKS di tingkat DPR sudah memenuhi ketentuan karena persentasenya mencapai 35 persen.
Kompas juga telah meminta tanggapan kepada Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa, serta Ketua Kelompok Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Wibowo. Namun, ketiganya enggan memberikan komentar.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar belum ingin menanggapi perubahan PKPU No 10/2023. Pemerintah masih menunggu rencana pembahasan mengenai perubahan PKPU tersebut. ”Untuk lebih lanjut, silakan tanya ke KPU,” katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, mengatakan, revisi PKPU harus dilakukan lebih cepat mengingat saat ini tahapan pencalonan anggota legislatif sudah berjalan. Jika harus menunggu konsultasi dengan DPR dan pemerintah, prosesnya akan lebih lama karena DPR masih dalam masa reses hingga 15 Mei atau sehari setelah tahapan pendaftaran bakal caleg berakhir.
Oleh karena itu, ia menilai revisi PKPU tidak perlu lagi melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Sebab, pembahasan PKPU pencalonan anggota legislatif sudah dilakukan pada April lalu. Norma yang akan diubah pun bukan hal yang baru karena sudah pernah dikonsultasikan. ”Cukup disampaikan bahwa KPU akan mengubah sebagian norma yang pernah dibahas bersama dengan DPR dan pemerintah,” katanya.
Seandainya harus melalui rapat dengar pendapat, Nurlia mengingatkan KPU agar konsisten dengan keputusan yang telah diambil. KPU harus menunjukkan kemandiriannya sebagai penyelenggara pemilu untuk tidak mengakomodasi intervensi dari DPR untuk mempertahankan norma yang bertentangan dengan undang-undang. Terlebih, usulan DPR saat rapat dengar pendapat tidak bersifat wajib diikuti.
”KPU tidak hanya melayani peserta pemilu, tetapi juga pemilih. Jadi harus berani mempertahankan sikap untuk konsisten dengan revisi. Apapun aturannya, parpol pasti akan mematuhi aturan yang berlaku dalam pemilu,” ujarnya.
Mantan anggota KPU dan DKPP, Ida Budhiati, mengingatkan, KPU harus memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan (sence of urgency). Sebab, tahapan pemilu sudah ditentukan dan waktunya pun dibatasi. Oleh karena itu, KPU harus bekerja cepat untuk menetapkan revisi PKPU.
Menurut dia, kondisi saat ini termasuk dalam situasi darurat mengingat tahapan pencalegan sudah berjalan. Mekanisme pembentukan PKPU dalam situasi normal sebaiknya tidak dilakukan karena prosesnya membutuhkan waktu yang panjang. Dengan demikian, proses konsultasi dengan DPR dan pemerintah bisa saja disampaikan melalui pemberitahuan secara tertulis agar proses pengambilan keputusan lebih cepat karena tidak bergantung dengan jadwal dari DPR.
”Situasi sudah sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum dalam memenuhi keterwakilan perempuan,” ujarnya.
Ida menilai, kebijakan KPU untuk mengoreksi PKPU mesti dimaknai sebagai pengakuan adanya pelanggaran hukum terhadap hak politik perempuan. Atas kesadaran tersebut, penyelenggara pemilu akhirnya mengoreksi dan menindaklanjutinya dengan merevisi aturan terkait.
”Pelanggaran ini tidak akan terjadi apabila KPU punya komitmen tinggi untuk mematuhi sumpah jabatan,” katanya.