Kejagung Menguak Dugaan Korupsi di Pelindo, Enam Orang Ditahan
Dugaan korupsi dana pensiun kembali terjadi di Badan Usaha Milik Negara. Kali ini di PT Pelabuhan Indonesia (Persero). Modus yang dilakukan pun serupa dengan kasus-kasus terdahulu, salah satunya investasi.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kejaksaan Agung menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan di PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Tahun 2013-2019. Kerugian negara ditengarai mencapai Rp 148 miliar.
Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung sekaligus menahan keenam tersangka itu.
Para tersangka yang ditahan adalah Edi Winoto (EWI) sebagai Direktur Utama DP 4 (2011-2016), Khamidin Suwarjo (KAM) sebagai Direktur Keuangan dan Investasi DP4 (2008-2014), Umar Samiaji (US) menjabat Manajer Investasi DP4 (2005-2019), Imam Syafingi selaku anggota staf investasi sektor riil (2012-2017), serta Chiefy Adi Kusmargono (CAK) sebagai Dewan Pengawas DP4 (2012-2017). Makelar tanah dari pihak swasta adalah Ahmad Adhi Aristo (AHM).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan, Selasa (9/5/2023), EWI, KAM, dan AHM ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung. Sementara tiga lainnya ditahan di Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat.
Menurut Ketut, ketika menjalankan program pengelolaan Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan (DP4), ada investasi pembelian tanah serta penyertaan modal pada PT Indoport Utama dan PT Indoport Prima.
”Dalam pelaksanaan pengelolaannya terdapat perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 148 miliar,” ujar Ketut.
Setidaknya ada dua modus yang dilakukan untuk tiap kegiatan. Pertama, adanya fee makelar dan harga tanah yang dinaikkan sehingga terjadi kelebihan dana. Hal itu diterima tim pengadaan tanah pada pembelian di Salatiga, Palembang, Tangerang, Tigaraksa, dan Depok.
Selain itu, modus lainnya adalah melakukan investasi penyertaan modal ke PT Indoport Utama dan PT Indoport Prima agar uang dapat dicairkan. Namun, dana tersebut tak dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Kejagung mengidentifikasi peran setiap tersangka. Pertama, EWI menyetujui pembelian tanah tanpa didasari standar operasional prosedur (SOP) dengan alasan menyertakan modal ke PT Indoport Utama dan PT Indoport Prima. Padahal, ia menjabat sebagai komisaris, sehingga uang dapat dicairkan.
Sementara itu, KAM jadi tersangka karena menyetujui pengeluaran dana guna membeli tanah dan penyertaan modal pada dua perusahaan itu. US dan IS berperan mengusulkan investasi tak sesuai SOP. CAK tak memberi saran, pendapat, evaluasi, serta meninjau arahan investasi. Pihak swasta, AHM menerima fee tak sah guna membeli tanah di Depok dan Palembang. Seluruh tersangka mengantongi keuntungan tak sah.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto (jo), Pasal 18 Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, penyelewengan dana pensiun kerap terjadi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebelum di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), ada pula korupsi di Dana Pensiun Pertamina (2017), PT Pupuk Kalimantan Timur (2018), dan PT Asabri (2021).
”Mengapa hal itu sering terjadi? Karena ada konflik-konflik kepentingan dari para pengurus perusahaan. Biasanya mereka juga menerima feedback dari organisasi atau badan usaha di mana dana pensiun ini menempatkan dana investasinya,” tutur Zaenur.
Zaenur berpendapat bahwa pasal-pasal yang digunakan Kejagung untuk menjerat tersangka sudah tepat. Namun, ia menilai seharusnya Kejagung dapat menjerat tersangka dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebab, ada kerugian negara cukup besar yang harus segera dilakukan pengusutan TPPU. Hal ini dapat mengoptimalkan aset pemulihan pengembalian kerugian keuangan negara.
”UU TPPU itu sangat efektif untuk mendukung aset recovery dibandingkan hanya dengan menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),” katanya.