Evaluasi Sistem Pemilu Sebaiknya Setelah Pemilu 2024
Sidang lanjutan uji materi pasal terkait sistem pemilu proporsional terbuka dalam UU Pemilu, kembali bergulir di MK. Salah satu ahli yang dihadirkan berpendapat agar evaluasi sistem pemilu setelah Pemilu 2024. Mengapa?

.
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi diminta untuk menolak permohonan uji materi terkait dengan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka yang berlaku saat ini menjadi tertutup. Meskipun diakui pentingnya evaluasi terhadap pemberlakuan sistem proporsional terbuka, akan tetapi hal tersebut harus dilakukan dengan tenang dan pada momen yang tepat. Sebaiknya, evaluasi sistem pemilu dilaksanakan setelah Pemilu 2024.
Pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, pilihan kebijakan sistem pemilu, apakah akan menggunakan proporsional terbuka, tertutup, atau campuran, perlu dibahas lebih lanjut dengan diskusi yang lebih tenang dan ideal. Ia mengakui, evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka memang perlu dilakukan. Akan tetapi, Charles meminta agar hal tersebut dilakukan setelah pemilu 2024 selesai dilaksanakan, serta dilakukan dalam proses legislasi yang memperhatikan partisipasi publik yang bermakna.
”Hari ini, pembentukan lembaga-lembaga pemilu di provinsi, kabupaten, dan kota masih belum selesai. Kenapa tidak kita biarkan KPU dan Bawaslu fokus dulu mempersiapkan infrastruktur pemilu dengan regulasi yang sudah ada, ketimbang ini (perubahan sistem pemilu) kita lakukan di tengah jalan. Ketika tahapan sudah mulai masuk di posisi krusial, pada saat peserta pemilu sudah bersemangat, secara bergelombang datang untuk mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Saya pikir ini penting juga untuk dipertimbangkan,” kata Charles saat menyampaikan keterangan ahli di persidangan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya terkait sistem pemilu, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Dalam kesempatan tersebut, Charles meminta MK dalam putusan terkait perkara pengujian sistem pemilu yang tengah berlangsung saat ini dapat memberi panduan prinsipil terhadap prinsip konstitusional, ”Apakah mau menggunakan mix system, apakah mau terbuka atau proporsional tertutup,” ungkapnya di dalam persidangan MK yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca Juga: Delapan Fraksi di DPR Tolak Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F13%2Fda657f26-22f7-4133-ab65-f6b16defca9c_jpg.jpg)
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (13/3/2023).
Sidang tersebut merupakan sidang ke-14 perkara pengujian sistem pemilu proporsional terbuka yang diajukan oleh sejumlah kader partai politik, seperti Demas Brian Wicaksono dkk. Mereka menguji Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2) dan Pasal 426 Ayat (3) UU Pemilu terkait sistem pemilu. Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sidang perdana digelar sejak November 2022. Dalam persidangan ke-14 kemarin, agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh pihak terkait, dalam hal ini Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Sementara itu, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengungkap beberapa prinsip mengenai sistem pemilu yang demokratis. Salah satu di antaranya memberikan pilihan terbaik bagi rakyat di mana pilihan-pilihan tersebut dipaparkan dengan kelengkapan informasi yang seluas-luasnya.
Ini sejalan dengan hasil riset Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang berjudul International Obligations for Elections Guidelines for Legal Frameworks, yang menyebutkan bahwa persoalan transparansi dan hak mendapatkan informasi menjadi salah satu poin penting dalam pelaksanaan pemilu. Tanpa kelengkapan informasi tentang seorang calon wakil rakyat, maka terbuka kemungkinan munculnya sosok yang tidak mewakili pilihan rakyat.
Salah satu kritik utama terhadap sistem proporsional tertutup adalah terkait tingkat keterwakilan. Sistem tersebut kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara calon anggota legislatif (caleg) dengan konstituennya. Sistem proporsional tertutup tidak menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili. Sehingga, yang terjadi adalah pemilih seperti membeli kucing dalam karung.
Baca Juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F02%2F9aa48291-2d1e-460e-a979-1a64aed65a70_jpg.jpg)
Pelipatan surat suara calon anggota DPR dalam Pemilu 2019 di GOR Kebon Jeruk, Jakarta, Sabtu (2/3/2019).
Di sisi lain, para caleg pun bisa jadi tidak memahami konstituen atau kondisi wilayah yang diwakili mengingat terbatasnya intensitas hubungan mereka dengan para pemilih. Faktor kedekatan tersebut menjadi syarat utama dari perwakilan rakyat, menjadi sokoguru demokrasi dan esensi pemilu itu sendiri.
”Oleh karena itu, dalam sistem proporsional tertutup, perwakilan rakyat menjadi ambigu karena bisa jadi caleg lebih mewakili kepentingan partai ketimbang konstituennya,” kata Firman Noor.
Firman Noor juga mengungkapkan sistem pemilu proporsional terbuka memberi dampak positif terhadap internal kelembagaan dan pelaksanaan fungsi partai politik. Menurut dia, sistem pemilu proporsional terbuka jauh dari anggapan telah melemahkan parpol. Sebaliknya, system tersebut justru berpeluang besar dalam mempertahankan demokrasi internal partai dan menguatkan pelembagaan partai.
”Terkait demokrasi internal, terbuka peluang bagi kader partai untuk tetap memiliki daya tawar yang baik dari kecenderungan pemaksaan elite atau pimpinan partai. Dengan keberhasilan kader membangun hubungan baik dengan konstituen, dia memiliki daya tawar untuk tidak mudah disingkirkan dari dapilnya. Pergantian seseorang dalam sebuah dapil dengan kader yang tidak dikenal masyarakat akan membawa risiko menurunnya jumlah dukungan dan kursi partai di dapil,” ungkap Firman.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F03%2F02%2F4f789b06-2c0d-485f-b0df-f9f23f644062_jpeg.jpg)
Firman Noor
Ia menambahkan, dalam situasi tersebut, kader tetap dapat bersikap kritis demi kepentingan partai tanpa khawatir akan tersingkir dari dapil atau jabatannya di partai terkait. Sebaliknya, sistem proporsional tertutup bagi Firman Noor membuka peluang terjadinya pemusatan kekuasaan dan ketergantungan tinggi kepada pimpinan partai yang pada akhirnya menyebabkan kualitas kelembagaan partai dan demokrasi internal partai menurun.
Meskipun saat ini demokrasi di Indonesia belum sempurna, menurut Firman, sistem proporsional terbuka masih bisa diharapkan untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih mewakili rakyat. Peluang terciptanya pemerintahan yang demokratis di kemudian hari lebih besar. Ia juga mencatat, sistem proporsional terbuka lebih banyak digunakan di pemerintahan-pemerintahan yang paling demokratis.
Baca Juga: Pindah Partai Politik, Kursi Tak Hilang
Mengutip catatan Economist Intelegent Unit Tahun 2022, dari 10 negara paling demokratis di dunia, enam di antaranya menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. ”Dari data sederhana di atas, dapat dikatakan, jika memang dijalankan dengan baik, sistem proporsional terbuka akan dapat mendukung peningkatan kualitas demokrasi di sebuah negara,” ujarnya.