Bareskrim Tak Hadir, Sidang Praperadilan Dugaan Gratifikasi Ketua KPK Ditunda
Sidang gugatan praperadilan LP3HI terhadap Bareskrim Polri terkait dugaan gratifikasi fasilitas helikopter Ketua KPK Firli Bahuri ditunda. Lewat sidang itu, LP3HI menuntut agar dugaan gratifikasi itu diusut Bareskrim.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang perdana permohonan praperadilan Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia terhadap Kepala Badan Reserse Kriminal Polri terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasifasilitas helikopter oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri ditunda pekan depan. Perkara itu kembali dipersoalkan lewat sidang praperadilan karena dinilai tidak ada kelanjutan untuk pengusutannya.
Sistem Informasi Penelusuraan Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mencantumkan jadwal sidang dengan nomor perkara 36/Pid.Pra/2023/PN JKT.SEL berlangsung pukul 09.00. Kemudian sidang dibuka pukul 13.00 oleh hakim tunggal Afrizal Hadi.
Sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal Afrizal Hadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (8/5/2023), itu hanya dihadiri pemohon, yakni Wakil Ketua Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) Kurniawan Adi Nugroho. Hakim kemudian memutuskan menunda persidangan lantaran tim Divisi Hukum dari pihak Bareskrim Polri selaku termohon tidak hadir.
”Termohon tidak ada kabar ya. Karena (termohon) tidak hadir, sidang ditunda. Termohon supaya hadir Senin, 15 Mei,” kata Afrizal.
LP3HI melayangkan permohonan praperadilan terkait dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan gratifikasi fasilitas helikopter yang diduga diterima Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Dalam gugatannya, Firli Bahuri selaku pimpinan KPK disebut melakukan perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, untuk berziarah ke makam orangtuanya dengan menggunakan alat transportasi berupa helikopter sekitar Juni 2020.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat perbedaan harga sewa helikopter dari yang seharusnya dengan harga yang dilaporkan Firli ke Dewan Pengawas KPK. Terdapat selisih harga sekitar Rp 141 juta yang ditengarai sebagai bentuk diskon dan termasuk dalam kategori gratifikasi.
Terkait dengan gratifikasi tersebut, Perkumpulan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) telah melaporkannya ke Dewan Pengawas KPK dan telah diputus bersalah. ”Bahwa terhadap gratifikasi tersebut, Perkumpulan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) telah melaporkannya ke Dewan Pengawas KPK dan telah diputus bersalah,” tulis permohonan praperadilan LP3HI.
Dugaan gratifikasi itu telah dilaporkan ICW ke Bareskrim Polri pada 3 Juni 2021. Namun, hingga LP3HI mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Bareskrim Polri selaku termohon tidak juga menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka penerimaan gratifikasi.
LP3HI menyebutkan, penanganan yang lama dan tidak kunjung selesai atas dugaan tindak pidana perkara tersebut membuktikan Bareskrim Polri melakukan tebang pilih atas penegakan hukum di Indonesia. ”Karena termohon telah menghentikan penyidikan perkara a quo secara tidak sah dan melawan hukum, maka termohon harus dihukum untuk melanjutkan penyidikan atas laporan dalam perkara a quo berupa menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka tindak pidana gratifikasi dan melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum untuk segera dilakukan penuntutan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” tulis LP3HI dalam permohonan praperadilan.
Berdasarkan catatan ’Kompas’, Dewan Pengawas KPK telah menjatuhkan putusan bahwa Firli Bahuri terbukti bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku KPK karena terbukti menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi pada Juni 2020.
Berdasarkan catatan Kompas, Dewan Pengawas KPK telah menjatuhkan putusan bahwa Firli Bahuri terbukti bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku KPK karena terbukti menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi pada Juni 2020. Dalam sidang putusan Kamis (24/9/2020) yang dipimpin Ketua Dewan Pengawas KPK sekaligus Ketua Majelis Tumpak H Panggabean, Firli dinyatakan terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) Huruf f Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Firli dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selain itu, Firli juga dikenakan sanksi agar ia sebagai Ketua KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku KPK.
Di sidang etik Dewan Pengawas KPK pada September 2020, seperti diungkapkan peneliti ICW, Wana Alamsyah, Firli mengaku membayar sewa helikopter selama empat jam sebesar Rp 30,8 juta karena memperoleh diskon Rp 7 juta per jam. Sementara itu, berdasarkan informasi dari penyedia jasa penyewaan helikopter yang diperoleh ICW, sewa helikopter selama empat jam dikenai biaya Rp 172,3 juta. Dengan demikian, ada selisih Rp 141,5 juta yang diduga sebagai gratifikasi (Kompas, 4 Juni 2021).
Seusai sidang praperadilan, Kurniawan menyebutkan, seharusnya penyidik dapat menyelesaikan semua laporan pengaduan atau temuan-temuan yang dilakukan hingga tuntas. Akan tetapi, dugaan gratifikasi fasilitas helikopter Firli yang dilaporkan ke Bareskrim Polri tidak ada kelanjutannya.
”Hingga saat ini publik tidak mendapatkan kepastian. Jika dihentikan, dengan alasan apa dan dilanjutkan bagaimana prosesnya. Oleh karena itu, kami mengajukan praperadilan penghentian penyidikan secara materiil ke PN Jakarta Selatan melawan Bareskrim Polri sebagai pihak termohon,” ujarnya.