Sudah Disahkan Jadi UU, Perppu Pemilu Tak Kunjung Diserahkan ke Pemerintah
Sejak disetujui DPR sebulan lalu, naskah RUU tentang Perppu No 1/2022 tentang Pemilu, dan delapan RUU provinsi, belum juga dikirim ke pemerintah. Jangan sampai reses jadi alasan menunda pengiriman dokumen tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Naskah Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum, dan delapan RUU provinsi yang sudah disepakati untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 April 2023 lalu, belum juga diserahkan kepada pemerintah. DPR tidak bisa menjadikan masa reses sebagai alasan sehingga mengulur-ulur waktu penyerahan sejumlah RUU krusial tersebut.
Berdasarkan informasi yang diterima Kompas di Sekretariat Negara pada Jumat (5/5/2023), hingga sebulan setelah kesembilan naskah RUU itu disetujui untuk disahkan menjadi UU, pemerintah belum menerimanya. Kesembilan naskah RUU tersebut ialah RUU Perppu Pemilu dan delapan RUU provinsi.
DPR tidak bisa menjadikan masa reses sebagai alasan sehingga mengulur-ulur waktu penyerahan sejumlah RUU krusial tersebut.
Delapan RUU provinsi tersebut meliputi RUU tentang Sumatera Utara, RUU tentang Sumatera Selatan, RUU tentang Jawa Barat, RUU tentang Jawa Tengah, RUU tentang Jawa Timur, RUU tentang Maluku, RUU tentang Kalimantan Tengah, dan RUU tentang Bali.
Padahal, menurut Pasal 72 Ayat 2 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU paling lama tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Merujuk pada Pasal 73 Ayat 1 dan 2, RUU disahkan oleh Presiden paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Jika RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu tersebut, RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Kemudian, merujuk pada Pasal 73 Ayat 1 dan 2, RUU disahkan oleh Presiden paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Jika RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu tersebut, RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar saat dihubungi di Jakarta, Jumat ini, belum dapat memastikan apakah kesembilan naskah RUU tersebut sudah diserahkan ke pemerintah atau belum. ”Saya akan cek prosesnya di sekretariat,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa meminta pimpinan DPR segera berkomunikasi dengan pemerintah terkait penyerahan sejumlah naskah RUU yang telah disetujui untuk disahkan itu. Hal ini penting karena salah satu RUU yang belum diundangkan merupakan RUU krusial, yakni RUU tentang Perppu Pemilu.
Perlu didudukkan masalah ini, kenapa pimpinan DPR atau sekjen DPR kokbegitu lama memproses ini, belum dikirim-kirim juga. Apalagi Perppu Pemilu, kan, sudah lama disahkan lewat paripurna. Tak hanya itu, Perppu Pemilu ini menjadi sangat penting karena terkait proses pelaksanaan pemilu.
”Perlu didudukkan masalah ini, kenapa pimpinan DPR atau sekjen DPR kok begitu lama memproses ini, belum dikirim-kirim juga. Apalagi Perppu Pemilu, kan, sudah lama disahkan lewat paripurna. Tak hanya itu, Perppu Pemilu ini menjadi sangat penting karena terkait proses pelaksanaan pemilu,” ujar Saan.
Komisi II DPR, menurut dia, hanya bisa mendorong percepatan proses pengiriman itu. Sebab, saat ini sudah memasuki ranahnya pimpinan DPR. Tugas dan kewajiban konstitusional Komisi II DPR sudah selesai ketika menyerahkan kesembilan RUU itu ke Rapat Paripurna DPR pada awal April lalu untuk disahkan menjadi UU.
”Jadi, ini lebih kepada etika adminsitratif karena RUU sudah disetujui menjadi UU. Dan tentu pemerintah, kan, juga punya kewajiban scara administratif untuk mengundangkan itu. Kan, pasti ada perubahan, diberi nomor juga, kan, dan yang paling penting, itu akan menjadi rujukan semua pihak,” ucap Saan.
Tidak bisa jadi alasan
Sebagaimana diketahui, saat ini DPR memang tengah memasuki masa reses. Masa reses DPR dimulai sejak 14 April hingga 15 Mei mendatang.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, jika dilihat dari jangka waktu itu, seharusnya ada jeda waktu sekitar 10 hari antara rapat paripurna dan dimulainya masa reses. Jika pimpinan DPR serius melihat urgensi dari kesembilan RUU ini, salah satunya RUU Perppu Pemilu, jeda waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk memproses pengiriman RUU kepada pemerintah. Namun, nyatanya, keseriusan pimpinan DPR itu tidak ada.
Mau ’ngapain’ coba DPR menunda-nunda RUU yang sudah disetujui? Kan, enggak ada urgensinya. Apalagi pemberlakuan UU, kan, terjadi setelah disahkan oleh Presiden (diundangkan). Jadi, kalau bisa cepat, ya mestinya enggak perlu ditunda-tunda.
”Mau ngapain coba DPR menunda-nunda RUU yang sudah disetujui? Kan, enggak ada urgensinya. Apalagi pemberlakuan UU, kan, terjadi setelah disahkan oleh Presiden (diundangkan). Jadi, kalau bisa cepat, ya mestinya enggak perlu ditunda-tunda,’ ujar Lucius.
Memang, berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada jeda waktu 30 hari setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah sebelum disahkan oleh Presiden. Namun, menurut Lucius, jeda waktu 30 hari itu tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bagi DPR untuk menunda-nunda pengiriman naskah RUU-RUU yang sudah disahkan itu ke Presiden.
Begitu pula dengan sudah memasukinya masa reses. DPR semestinya tidak bisa menjadikan itu sebagai alasan mundurnya penyerahan naskah RUU ke pemerintah. Sebab, sebagai suatu institusi, DPR seharusnya bekerja di bawah sistem sehingga urusan sekretariat sudah bisa berjalan dengan baik.
”Jadi, enggak bisa santai-santai begitu urus negara. Apalagi karena alasan ada ketentuan terkait 30 hari itu. Kan sudah jelas bahwa persetujuan RUU di DPR juga sudah melibatkan menteri yang menjadi petugas presiden. Jadi, enggak perlu DPR khawatir RUU tidak disahkan Presiden jika sudah disetujui bersama di DPR,” kata Lucius.
Yang jadi persoalan adalah apabila DPR memanfaatkan penundaan ini untuk mengotak-atik naskah RUU yang sudah disetujui untuk disahkan. ”Ruang (otak-atik naskah RUU) itu mungkin terjadi. Ini yang mestinya disadari oleh DPR agar kerja mereka tak selalu dikritik karena lamban untuk urusan yang sangat penting, seperti pengesahan UU ini,” ucapnya.