KPK Optimistis Hakim Tolak Praperadilan Lukas Enembe
KPK telah memaparkan 142 dokumen yang menerangkan bahwa proses penyidikan perkara Lukas Enembe sesuai aturan hukum. KPK juga telah menghadirkan delapan orang ahli untuk membantah seluruh dalil dari pihak Lukas.
Dalam sidang praperadilan dengan agenda kesimpulan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (2/5/2023), tim Biro Hukum KPK dan kuasa hukum Lukas menyerahkan berkas kesimpulan kepada hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hendra Utama Sutardodo. Namun, berkas tersebut dianggap dibacakan.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, untuk membantah seluruh dalil dari pemohon, tim Biro Hukum KPK telah memberikan argumentasi jawabannya dan menghadirkan delapan orang ahli, salah satunya ahli pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Arief Setiawan.
Selain itu, dihadirkan pula tiga dokter spesialis Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto yang memeriksa dan merawat Lukas. KPK juga menghadirkan empat dokter dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang memeriksa kondisi faktual Lukas dan menyusun pendapat kedua (second opinion) atas kondisi kesehatan Lukas dengan menyatakan bahwa Lukas fit for interview dan fit for stand to trial.
”KPK juga menghadirkan satu saksi, yaitu dokter KPK yang secara aktif selalu memantau kondisi kesehatan tersangka selama berada di rutan (rumah tahanan) KPK. Turut pula dipaparkan 142 dokumen yang menerangkan bahwa proses penyidikan perkara ini dilakukan berdasarkan aturan hukum,” kata Ali melalui keterangan tertulis.
Ia menegaskan, semua alat bukti yang dihadirkan selama proses persidangan akan memberikan keyakinan kepada hakim tunggal praperadilan tersebut untuk menolak seluruh isi permohonan yang diajukan pihak Lukas.
Salah satu kuasa hukum Lukas, Emanuel Herdyanto, mengatakan, ada tiga kesimpulan yang menjadi dasar pihaknya melakukan gugatan praperadilan, yakni penetapan tersangka terhadap Lukas cacat prosedur, ada sakit permanen yang diderita Lukas, dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia karena menahan orang sakit.
Ia menjelaskan, cacat prosedur karena ada perbedaan isi surat perintah penyelidikan yang diberikan kepada penyidik KPK dengan isi pasal yang diterapkan oleh penyidik dalam menetapkan tersangka terhadap Lukas.
”Secara prosedur, kita menangkap bahwa hal ini bertentangan dengan prosedur yang benar dalam pelaksanaan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana),” kata Emanuel.
Menurut dia, jika surat perintahnya untuk menyidik dugaan penyalahgunaan anggaran, penetapan tersangkanya juga harus menyalahgunakan anggaran. Kasus yang disidik harus berkesinambungan demi kepastian hukum. Adapun Lukas ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penerimaan suap dari Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka.
Terkait dengan kondisi kesehatan Lukas, Emanuel menuding KPK tidak pernah membuka ke publik dan kuasa hukumnya bahwa Lukas mengidap penyakit berbahaya. Dalam persidangan praperadilan, Lukas juga mengidap penyakit hepatitis B yang menular. Hal itu disampaikan ahli patologi Gatot Susilo Lawrence. Selama ini, RSPAD Gatot Soebroto hanya menyebut Lukas sakit ginjal, hepatitis, stroke, kolestrol, dan diabetes.
”Pak Lukas ini seorang yang sedang sakit dan menderita penyakit permanen yang kronis. Oleh karena itu, tidak lain dan tidak patut jika orang sakit oleh karena diduga melakukan sesuatu lalu kemudian dipaksakan untuk ditempatkan dalam rumah tahanan yang sebelumnya tidak layak untuk dihuni oleh seorang pasien yang sakit seperti ini,” tutur Emanuel.
Ia menegaskan, ahli dalam praperadilan juga telah menjelaskan bahwa kesehatan harus diutamakan. Karena itu, penahanan terhadap orang sakit permanen tingkat kronis adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Keselamatan jiwa seseorang sudah diatur negara sebagai bagian dari upaya negara mengakomodasi perlindungan HAM. Menurut Emanuel, fakta yang ada di praperadilan tidak bisa dibiarkan karena penegakan hukum tidak boleh mengabaikan kesehatan dan keselamatan jiwa seseorang.