Meski Sepi Peminat, KY Buka Lagi Pendaftaran Calon Hakim ”Ad Hoc” HAM
Proses seleksi calon hakim agung dan hakim ”ad hoc” HAM akan kembali dibuka pada awal Mei. Namun, minimnya pendaftar calon hakim ”ad hoc” HAM masih menjadi persoalan hingga saat ini.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung akan segera membuka kembali seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia. Proses seleksi tersebut selama ini menghadapi persoalan mengingat minimnya pendaftar calon hakim yang berkualitas.
Sebelumnya, pada Selasa (4/4/2023), Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat tidak meloloskan tiga calon hakim ad hoc HAM untuk tingkat kasasi yang sangat dibutuhkan dalam penanganan perkara kasasi bebas kasus pelanggaran HAM Paniai. Alasannya, karena Komisi III DPR menilai para calon belum berpengalaman untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.
Menyusul penolakan tersebut, Mahkamah Agung (MA) meminta Komisi Yudisial (KY) untuk segera menyeleksi ulang guna mencari hakim ad hocHAM tingkat kasasi yang kredibel dan berintegritas.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting, Jumat (28/4/2023), di Jakarta, mengatakan, permasalahan yang hingga saat ini masih terjadi ialah minimnya pendaftar calon hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM). Hal itu, antara lain, disebabkan kepastian penanganan perkara yang disidangkan cukup lama dalam kasus-kasus pelanggaran HAM sehingga sebagian calon hakim HAM kurang berminat.
”Masalah sekarang soal sedikitnya pendaftar hakim ad hoc yang berkualitas. Meskipun begitu, KY sudah mengirimkan nama-nama calon hakim ke DPR berdasarkan hasil seleksi sebelumnya,” ucap Miko saat dihubungi.
Lebih lanjut, kata Miko, para hakim ad hoc akan bekerja dalam periode masa jabatan tertentu. Namun, sampai saat ini hanya ada satu perkara yang akan disidangkan dan itu pun hanya satu berkas perkara, yakni kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Hal itu menjadi alasan rendahnya menjadi hakim ad hoc HAM.
Berkaca pada seleksi yang lalu, menurut Miko, kendala utama terletak pada rendahnya minat pendaftar calon hakim ad hoc HAM. Meskipun kebutuhan hakim dirasa mendesak, KY dinilai harus membatasi diri untuk tidak terlalu aktif karena KY merupakan lembaga penyeleksi.
Akan muncul konflik kepentingan jika KY sangat aktif mendorong calon-calon tertentu. Namun, di sisi lain sebagai penyeleksi.
”Akan muncul konflik kepentingan jika KY sangat aktif mendorong calon-calon tertentu. Namun, di sisi lain sebagai penyeleksi,” tutur Miko.
Seleksi calon hakim akan kembali dibuka pada awal Mei mendatang serta diawali dengan konferensi pers pembukaan seleksi. KY berharap calon-calon hakim potensial dapat mendaftar supaya dapat diperoleh hakim-hakim ad hoc berkualitas.
Perlu koordinasi
Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto menyatakan, urgensi kehadiran hakim agung dan hakim ad hoc HAM di MA merupakan amanat Undang-Undang (UU) Pengadilan HAM dalam Pasal 33 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Pada Ayat (1) pasal tersebut menyatakan, ”dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
Karena itu, sudah menjadi sebuah sistem yang harus dipenuhi karena jika tidak, putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah.
Kemudian, Ayat (2) menyatakan, ”pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Ayat (3) menyatakan, Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang.”
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat, urgensi kehadiran hakim agung dan hakim ad hoc adalah perwakilan masyarakat dalam peradilan. Hal itu sesuai dengan amanat reformasi yang menghendaki peran masyaramat pada setiap urusan kenegaraan.
”Karena itu, sudah menjadi sebuah sistem yang harus dipenuhi karena jika tidak, putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah,” kata Abdul, Jumat (28/4).
Oleh karena itu, menurut Abdul, KY perlu berkoordinasi dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM soal minimnya pendaftar calon hakim ad hoc. Lebih lanjut, banyak anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis yang peduli soal HAM.
Kepedulian mereka terhadap HAM merupakan kelebihan dan rata-rata mereka belajar juga soal HAM, bahkan sekolah atau kursus di luar negeri.
KY disebut perlu meminta masyarakat sipil yang memiliki kekhawatiran terhadap HAM untuk mengisi kekosongan hakim ad hoc dengan seleksi yang semestinya. Banyak anggota LSM atau aktivis, kata Abdul, pemerhati HAM yang merupakan lulusan sarjana.
”Kepedulian mereka terhadap HAM merupakan kelebihan dan rata-rata mereka belajar juga soal HAM, bahkan sekolah atau kursus di luar negeri,” ujarnya.
Lebih lanjut, jika menunggu pendaftar yang memiliki kapabilitas, itu adalah mimpi karena profesi hakim dinilai tidak menguntungkan secara ekonomis. Oleh karena itu, pertimbangan kepedulian perlu dikedepankan.