Satgas TPPU yang Akan Dibentuk Bakal Meneliti Tindak Lanjut Kemenkeu
Mahfud MD menyampaikan Satgas TPPU yang akan dibentuk dalam waktu dekat ini akan meneliti ulang tindak lanjut yang sudah dilakukan Kemenkeu terhadap laporan analisis dan pemeriksaan yang diterbitkan PPATK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang yang akan dibentuk dalam waktu dekat ini akan mendalami transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan senilai lebih dari Rp 349 triliun. Satgas akan meneliti ulang tindak lanjut yang sudah dilakukan oleh Kemenkeu terhadap laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Target kerja satgas yang sampai saat ini masih menunggu dibentuk itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Rabu (12/4/2023). Menurut Mahfud, tugas utama satgas itu adalah memberikan supervisi penanganan dan penyelesaian seluruh LHA dan LHP yang berisi laporan transaksi keuangan mencurigakan dari PPATK. Jika PPATK mengirimkan surat kepada Kemenkeu, surat itu tidak berdiri sendiri. Surat itu pasti ada lampirannya berupa LHA dan LHP.
”Satgas akan mendalami hal-hal yang dilaporkan sudah ditindaklanjuti. Kami akan mendalami lagi. Sebab, menurut hukum TPPU, yang ditindaklanjuti itu belum tentu diselesaikan. Justru yang sudah ditindaklanjuti itu hasilnya bisa menjadi pintu masuk untuk masuk ke proses TPPU-nya,” kata Mahfud.
Menurut rencana, Satgas TPPU yang akan dibentuk oleh Komite Komite TPPU itu akan melibatkan personel dari PPATK, Direktorat Jenderal Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Reserse Kriminal Polri, Jaksa Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Bidang Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, Badan Intelijen Negara, dan Kemenko Polhukam. Satgas ini diharapkan bisa mengungkap pihak-pihak yang terkait TPPU sekaligus menindaknya, selain mencegah kasus serupa terulang kembali di kemudian hari (Kompas, 11/4/2023).
Mahfud, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) ini, menyampaikan, Satgas TPPU akan memulai pendalaman terhadap transaksi mencurigakan yang nilainya paling besar, yaitu Rp 189 triliun. Transaksi itu pernah disebut Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023), sebagai impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu.
Menurut Mahfud, Kemenkeu akan mengonfirmasi bahwa kasus dugaan pencucian uang itu sudah ditindaklanjuti oleh Ditjen Bea dan Cukai. Bahkan, katanya, sudah ada putusan pengadilan hingga peninjauan kembali (PK). Dari putusan itu, untuk pelaku perseorangan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan tingkat PK. Namun, untuk pelaku korporasi dinyatakan bersalah dan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap.
Satgas TPPU akan memulai pendalaman terhadap transaksi mencurigakan yang nilainya paling besar, yaitu Rp 189 triliun.
”Karena korporasi tersebut dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, Satgas berpandangan harus ditindaklanjuti untuk masuk ke dugaan TPPU. Kan, pidana asalnya (pidana korporasinya) sudah terbukti,” kata Mahfud.
Dia juga mengapresiasi Komisi III yang dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komite TPPU, Selasa lalu, menyetujui pembentukan satgas. Persetujuan itu disampaikan langsung oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan dukungan terhadap langkah Komite TPPU untuk membongkar setiap kasus di balik transaksi mencurigakan senilai ratusan triliun tersebut. Tak hanya itu, Komisi III juga mendukung pembentukan satgas untuk mengusut dugaan TPPU.
”Komisi III mendukung penuh keputusan untuk membuat satgas. Dalam setiap periode rapat, kami meminta satgas dan PPATK melaporkan perkembangan penelusuran itu, sampai 300 laporan itu selesai,” kata Bambang (Kompas, 12/4/2023).
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Golkar, Supriansa, menuturkan, dari rekapitulasi surat yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu dalam kurun waktu 2009-2023, ada beberapa surat yang keterangannya belum ditindaklanjuti, baik itu dari aparat penegak hukum maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kemenkeu.
”Tahun 2020 itu ada 28 surat yang nilainya besar, Rp 199 triliun, tetapi belum seluruhnya ditindaklanjuti. Itu ada kendala apa yang dihadapi?” katanya.
Supriansa juga menyoroti data 15 poin surat yang dipaparkan Kemenkeu itu. Menurut dia, kesimpulannya, dari total 300 surat yang dikirimkan PPATK dengan nilai transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun, masih banyak yang belum ditindaklanjuti. Supriansa meminta nilai transaksi terutama yang besar-besar bisa segera ditindaklanjuti. Harus ada yang bertanggung jawab menjelaskan nilai tersebut secara akuntabel dan transparan.
”Mengapa mesti berlarut-larut dari 2009-2023? Berarti ini barang sudah lama. Kenapa dibiarkan Pak Kabareskrim? Ini APH (aparat penegak hukum) juga harus dijelaskan di kepolisian, KPK, atau kejaksaan?” ungkapnya.
Supriansa meminta nilai transaksi terutama yang besar-besar bisa segera ditindaklanjuti.
Dia pun mengapresiasi langkah Komite TPPU, terutama Ketua Komite TPPU Mahfud MD, yang berani membuka data tersebut. Tanpa keberanian Mahfud, katanya, ada kemungkinan nilai transaksi itu akan didiamkan saja. Tanpa jelas duduk perkaranya apakah dana ilegal atau bukan. Dia pun menyambut baik niat komite untuk membuat satgas TPPU.
”Namun, apakah tidak sebaiknya dibuatkan forum lain? Ini seharusnya dibantu kirim sebanyak-banyaknya APH sehingga aparat bisa langsung melakukan penyidikan TPPU. Apakah di KPK, Polri, atau kejaksaan. Mengapa tidak langsung ke sana saja? Karena percuma ribut ratusan triliun jika tidak ada hasilnya,” tegasnya.