Pemerintah mengusulkan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang dibahas bersama DPR memuat norma keadilan restoratif untuk menyelesaikan tindak pidana yang termasuk delik aduan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS– Usulan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE akhirnya disepakati dibahas Komisi I DPR bersama pemerintah. Tak hanya mengatur penyelenggaraan sistem transaksi elektronik dan kejahatan siber, rancangan undang-undang (RUU) itu juga diusulkan memuat pembaruan hukum pidana, termasuk penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana dengan delik aduan. Diharapkan, implementasi keadilan restoratif dirumuskan secara adil, baik bagi pelapor maupun terlapor.
Persetujuan pembahasan RUU tentang Perubahan UU ITE (RUU ITE) diambil dalam rapat kerja Komisi I DPR dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (10/4/2023). Persetujuan diambil setelah sembilan fraksi di Komisi I DPR sepakat membahas RUU usulan pemerintah tersebut.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari itu, semua fraksi dan perwakilan pemerintah sepakat untuk langsung memulai pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU ITE. Setidaknya terdapat 38 DIM yang diajukan pemerintah serta 16 DIM usulan DPR yang akan dibahas bersama.
Namun, menurut Abdul Kharis, pembahasan satu per satu materi krusial dalam RUU ITE itu baru akan dimulai pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 yang dimulai 16 Mei mendatang. Sebab, masa sidang kali ini akan berakhir pada Kamis (13/4).
Sementara itu Menkominfo menjelaskan, UU ITE dibentuk untuk menciptakan ketertiban di ruang siber dengan memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi. RUU ITE yang akan dibahas memuat dua materi pokok, salah satunya penyelenggaraan sistem transaksi elektronik dan pengaturan tentang kejahatan siber yang merujuk pada Budapest Convention on Cyber Crime. Selain itu RUU ITE juga akan memuat pembaruan ketentuan hukum pidana, termasuk penerapan keadilan restoratif.
Sebelum RUU ITE dibahas bersama DPR, menurut Johnny, pemerintah telah mengadakan diskusi publik pada September dan Desember 2022. Dari diskusi tersebut, pemerintah mendapatkan masukan agar memasukkan norma keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana terkait UU ITE. Norma dimaksud diaplikasikan dengan penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan.
”Usulan ini direncanakan dimuat dalam dua bagian dalam RUU ITE, yakni keadilan restoratif berupa upaya penyelesaian tindak pidana yang merupakan delik aduan dan di bagian penjelasan,” ujarnya.
Untuk diketahui, UU ITE yang berlaku selama ini hanya memuat hukuman pidana untuk sejumlah jenis pelanggaran yang menimbulkan kontroversi di masyarakat, di antaranya mengenai pencemaran nama baik. Norma keadilan restoratif baru muncul setelah Menkominfo, Kepala Polri, dan Jaksa Agung menandatangani Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi atas Pasal-pasal Tertentu dalam UU ITE.
RUU ITE yang akan dibahas memuat dua materi pokok, salah satunya penyelenggaraan sistem transaksi elektronik dan pengaturan tentang kejahatan siber yang merujuk pada Budapest Convention on Cyber Crime. Selain itu RUU ITE juga akan memuat pembaruan ketentuan hukum pidana, termasuk penerapan keadilan restoratif
Selain itu, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga menerbitkan Surat Edaran Kapolri No SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021. Surat dimaksud mengatur tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Melalui surat itu, Kapolri meminta para penyidik mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara UU ITE. Namun, itu tidak berlaku untuk kasus yang bisa memecah belah masyarakat, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), radikalisme, dan separatisme.
Cabut 10 pasal
Tak hanya memasukkan norma keadilan restoratif, pemerintah juga mengusulkan untuk mencabut 10 pasal dalam UU ITE. Itu antara lain pasal 27 yang mengatur kesusilaan serta penghinaan dan pencemaran nama baik, pasal 28 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA, pasal 30 mengenai akses ilegal, pasal 31 tentang intersepsi atau penyadapan, dan pasal 36 yang memuat ketentuan pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Selain itu, pasal 45 yang mengatur ancaman pidana terhadap pelanggaran terkait kesusilaan serta penghinaan dan pencemaran nama baik juga diusulkan dihapus. Juga pasal 45a yang mengatur ancaman pidana terhadap pelanggaran terkait ujaran kebencian, pasal 46 tentang pidana pelanggaran akses ilegal, pasal 47 mengenai pidana pelanggaran intersepsi, dan pasal 51 tentang ancaman pidana terhadap pelanggaran terkait pemberatan hukuman diusulkan dicabut.
Johnny menegaskan, usulan pencabutan dilakukan untuk mengharmonisasikan RUU ITE dengan ketentuan dalam KUHP yang disahkan pada awal 2023.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, menyampaikan, penyesuaian juga diperlukan untuk merespons perkembangan zaman. Selain itu juga untuk membangun demokrasi yang lebih baik.
DIM DPR
Usulan untuk memasukkan norma keadilan restoratif ke dalam RUU ITE bukan hanya diajukan oleh pemerintah, tetapi juga DPR. Menurut Dave, dalam DIM DPR juga diusulkan agar keadilan restoratif dipertimbangkan untuk diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) RUU ITE. Pasal itu menyebutkan, orang dengan sengaja dan tanpa hak untuk diketahui umum menyiarkan, mempertunjukkan di muka umum, mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, keadilan restoratif itu bisa saja diterapkan jika tindak pidana yang terjadi hanya mendapatkan ancaman pasal yang ringan. Akan tetapi, itu baru bisa dilaksanakan jika ada kesepakatan di antara kedua belah pihak yang berperkara.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet, Nenden Sekar Arum mengatakan, dalam pembahasan RUU ITE, pembentuk undang-undang perlu memperhatikan soal implementasi keadilan restoratif. Berdasarkan pengalaman selama ini, penerapan keadilan restoratif belum tentu adil bagi pihak terlapor atau korban dalam perkara pidana UU ITE.
Misalnya, berdasarkan Peraturan Polri No 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku dapat berupa penggantian kerugian. Akan tetapi, dalam praktiknya, pelapor kerap menentukan nilai ganti rugi secara sepihak dan berpotensi merugikan terlapor. ”(Implementasi) keadilan restoratif ini berpotensi disalahgunakan atau dimanfaatkan,” kata Nenden.