Pemerintah berencana merevisi terbatas UU ITE, di antaranya untuk mengubah frasa dan memasukkan satu pasal penjelasan. Adapun koalisi masyarakat sipil menilai ada delapan pasal di UU ITE yang harus direvisi.
Oleh
IQBAL BASYARI/DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang dibentuk pemerintah merekomendasikan revisi terbatas UU ITE. Revisi terbatas pada penambahan atau perubahan frasa dan penjelasan makna sehingga butuh dimasukkan satu pasal baru di Bab Penjelasan UU ITE. Sementara Koalisi Serius Revisi UU ITE yang terdiri atas 24 kelompok masyarakat sipil mendesak pentingnya delapan pasal di UU ITE direvisi.
Rekomendasi Tim Kajian UU ITE itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di Jakarta, Kamis (29/4/2021).
Ia menyatakan, revisi hanya terbatas pada penambahan atau perubahan frasa dan penjelasan makna di Bab Penjelasan. Untuk ini, diputuskan akan ditambah satu pasal di UU ITE, yaitu Pasal 45C. ”Penjelasan seperti kata penistaan, fitnah, dan keonaran itu apa, sih, dan dijelaskan sehingga tidak sembarang orang berdebat dianggap onar,” ujarnya.
Sebelum rekomendasi revisi terbatas UU ITE tersebut ke publik, 24 kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE menggelar jumpa pers dan kembali mendesak pemerintah untuk merevisi delapan pasal di UU ITE.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di Jakarta, Jumat (27/3/2020).
Sebagai bentuk tuntutan itu, mereka meluncurkan Kertas Kebijakan bertajuk ”Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil atas Revisi UU ITE”. Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi, antara lain, Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Indonesian Journal of Chemical Research (IJCR), LBH Pers Jakarta, dan Paguyuban Korban UU ITE.
Kertas Kebijakan setebal 29 halaman itu memuat catatan atas norma, penerapan, dan dampak pasal-pasal dalam UU ITE. Ada delapan pasal yang menjadi catatan dan harus direvisi, yakni Pasal 26 Ayat 3 terkait penghapusan informasi, Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 terkait pidana kesusilaan, Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, serta Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45A Ayat 2 terkait kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Selanjutnya, Pasal 29 juncto Pasal 45B terkait ancaman kekerasan, Pasal 36 juncto Pasal 51 Ayat 2, Pasal 40 Ayat 2a dan 2b terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses, serta Pasal 43 Ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengatakan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu merevisi UU ITE. Sebab, di dalamnya ada pasal-pasal karet yang bermasalah karena tidak ada tolok ukur yang jelas. Kemudian, ada masalah pemidanaan karena kategori penghinaan atau pencemaran nama baik yang tidak jelas.
Berdasarkan catatan IJCR, selama 2016 hingga 2020 ada 763 korban dari UU ITE. Sebanyak 286 kasus dijerat Pasal 27 Ayat 3; 238 kasus dijerat Pasal 27 Ayat 1; 217 kasus dijerat Pasal 28 Ayat 2; 21 kasus dijerat Pasal 29; serta 1 kasus dijerat Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 29. Data dari Amnesty International Indonesia, pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sepanjang 2021 sebanyak 15 kasus dengan 18 korban. Kasus pemidanaan terhadap warganet pun meningkat dari 24 kasus pada 2019 menjadi 84 kasus selama 2020.
”Revisi ini tidak hanya penting, tetapi harus serius dan jangan hanya menjadi wacana karena sudah ada contohnya, korbannya, dan korban-korban ini merasakan dampak yang mereka tanggung hingga detik ini,” kata Nurina.
Oleh sebab itu, Kertas Kebijakan itu akan disampaikan kepada pemerintah dan DPR agar sinyal untuk merevisi UU ITE sejak dua bulan lalu segera terlaksana. Dengan demikian, keadilan dan perbaikan sistem hukum pidana terkait UU ITE bisa segera terwujud.
Pertengahan Februari lalu, Presiden Joko Widodo meminta Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo membuat pedoman atas pasal-pasal di UU ITE agar tidak multitafsir. Kapolri diminta meningkatkan pengawasan agar UU ITE diimplementasikan secara konsisten, akuntabel, dan berkeadilan. Namun, jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, Presiden akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE (Kompas, 16/2/2021).
LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA UNTUK KOMPAS
Erasmus Napitupulu
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, masalah dari UU ITE bukan hanya soal implementasi.
Masalah pada UU ITE berawal dari adanya kesalahan di UU itu sehingga mengakibatkan problem implementasi di lapangan. ”Pemerintah dan DPR tidak perlu berkecil hati ketika ingin merevisi karena sejatinya ini mengembalikan marwah UU ITE,” katanya.
Erasmus menuturkan, ada sejumlah pasal di UU ITE yang diduplikasi dalam UU lain, yakni Pasal 27 Ayat 1 dan 3, Pasal 28 Ayat 2, dan Pasal 29. Pasal-pasal itu merupakan duplikasi dari sejumlah pasal di UU KUHP dan UU Pornografi.
Terdakwa kasus pencemaran nama baik yang dijerat dengan Undang-Undang ITE, Prita Mulyasari, Kamis (4/6/2009), menghadiri sidang pertamanya di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Simpatisan dan wartawan memenuhi ruang sidang hingga di halaman pengadilan. Prita menjadi satu di antara sejumlah korban lain penerapan pasal-pasal yang dianggap karet di UU ITE.
Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut harus dicabut atau diformulasi ulang agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menilai, Pasal 26 UU ITE cenderung menghambat hak asasi manusia, terutama terkait dengan hak atas informasi, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak berpendapat. Pasalnya, tidak ada indikator yang jelas terhadap frasa informasi tidak relevan sehingga memungkinkan informasi apa pun di internet bisa dihapus. Penghapusan melalui penetapan pengadilan pun dianggap rancu karena hanya melibatkan pemohon dan pengadilan.
”Kami mengusulkan Pasal 26 ini dihapuskan dari UU ITE, kemudian dipindahkan pembahasannya ke dalam RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) karena kita tahu saat ini pemerintah beserta DPR sedang menggodok RUU PDP,” ucapnya.