Taktik Memikat Parpol demi Nomor Urut ”Cantik”
Meski bukan lagi menjadi penentu kemenangan, nomor urut ”cantik” tetap diburu para bakal caleg yang akan mengikuti pemilu. Lantas, apa saja taktik yang dilancarkan para bakal caleg untuk mendapat nomor urut cantik?
- Meski bukan menjadi penentu kemenangan, nomor urut ”cantik” tetap diburu para bakal caleg yang akan maju di Pemilu 2024.
- Para bakal caleg, terutama mereka yang baru pertama kali mengikuti pemilu, berupaya mendapatkan nomor urut cantik dengan mendekati petinggi partai.
- Strategi lain adalah mendekati calon pemilih demi meningkatkan popularitas dan elektabilitas agar petinggi partai bersedia memberikan nomor urut kecil.
Nomor urut calon anggota legislatif atau caleg, menurut teorinya, tidak lagi menjadi penentu kemenangan begitu Indonesia menerapkan sistem pemilihan umum proporsional daftar terbuka. Pasalnya, dengan sistem itu, penetapan kursi di parlemen didasarkan pada perolehan suara caleg. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang paling berhak menduduki kursi parlemen.
Namun, belajar dari pemilihan umum sebelumnya, caleg bernomor urut ”cantik” lebih berpeluang untuk lolos ke Senayan dibandingkan kontestan dengan nomor ”sepatu”. Di kalangan politisi, nomor urut cantik adalah nomor urut kecil dari nomor satu, dua, hingga tiga. Sedangkan nomor sepatu adalah nomor urut besar atau urutan terakhir.
Karena itu, para bakal caleg pun berupaya mendapatkan nomor urut cantik dengan melancarkan berbagai strategi. Demi mendapatkan nomor urut kecil, para bakal caleg rela saling sikut dan silang pendapat dengan sesama bakal kontestan di partai politik (parpol) yang sama.
Kondisi ini membuat gusar Carolus Tindra Matutino, bakal caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berniat bertarung pada pemilihan anggota legislatif (pileg) mendatang. Menurut rencana, pria yang akrab disapa Nino ini akan maju melalui Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah I yang meliputi Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Salatiga.
Pileg 2024 merupakan kontestasi pertama Nino. Kendati demikian, dia menargetkan untuk lolos dan dapat mewakili dapilnya sebagai anggota DPR. Karena itu, dia berambisi mendapatkan nomor urut cantik dari partainya. ”Kalau ingin menang, harus dapat nomor cantik, entah itu satu, dua, atau tiga,” ujarnya di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Sejumlah strategi telah disiapkan dosen di Unisadhuguna Business School itu untuk mengejar nomor urut kecil. Nino mulai terjun ke dapilnya untuk mengonsolidasi para calon pemilihnya. Ini dilakukannya lantaran tidak memiliki modal finansial yang besar dan jam terbang politik yang tinggi.
Caleg yang mendapatkan nomor urut kecil umumnya merupakan petahana, memiliki modal finansial besar, atau dekat dengan petinggi partai. Untuk itu, Nino perlu menambah daya tawarnya untuk mendapatkan nomor urut kecil.
Pria berumur 35 tahun itu kini tengah sibuk memetakan calon pemilihnya. Dengan 400.000 pemilih, para bakal caleg di Dapil Jawa Tengah I akan memperebutkan delapan kursi DPR.
Tak hanya Nino, Sunanto, mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, juga tengah berjuang mendapatkan nomor urut kecil. Mantan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) itu untuk pertama kalinya maju mengikuti kontestasi Pemilu 2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Baca Juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Tak tanggung-tanggung, ia bakal ditempatkan di Dapil Jawa Tengah VII, salah satu ”dapil neraka”. Persaingan di dapil dengan cakupan wilayah Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen itu memang cukup ketat. Sejumlah politikus kawakan yang telah memiliki basis massa kuat serta punya modal popularitas dan finansial maju dari Dapil Jateng VII. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, misalnya, sejak Pemilu 2009 maju dan menang bertarung di Dapil Jateng VII. Wakil Ketua MPR Utut Adianto juga sama-sama berasal dari Dapil Jateng VII. Ada pula nama politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Taufik R Abdullah, suami Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, yang juga bertarung memperebutkan tujuh kursi DPR dari Dapil Jateng VII sejak Pemilu 2014.
Karena itu, bagi Sunanto, mendapatkan nomor urut kecil merupakan keistimewaan lantaran biasanya hanya diberikan kepada calon petahana ataupun pengurus DPP PDI-P. Sementara itu, Pileg 2024 merupakan kontestasi pertamanya.
Pria yang akrab dipanggil Cak Nanto itu pun berupaya mendekati dan mengambil hati para petinggi PDI-P. ”Ya, sama dengan yang lain, tentu saya juga melakukan pendekatan-pendekatan,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (8/4/2023).
Saat berpidato pada pembukaan Muktamar ke-18 Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Februari lalu, misalnya, Sunanto menyapa Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang hadir dengan sebutan, ”Ibuku”. Tak hanya itu, di hadapan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat lain yang hadir, Sunanto menegaskan bahwa ia adalah kader partai yang dipimpin oleh Megawati.
”Suatu kehormatan besar karena ini pertama kali juga saya ketemu Ibu (Megawati) walaupun saya kader Ibu,” katanya kala itu.
Sunanto sadar, nomor urut kecil akan memudahkan proses kampanye dan memberikan kepercayaan diri bagi caleg. Oleh karena itu, dia berharap pengalamannya sebagai aktivis sejumlah organisasi menjadi pertimbangan partai untuk memberikannya nomor urut kecil. Jam terbang di organisasi kemasyarakatan itu disebut sebagai nilai tambah yang melekat pada dirinya. Pendekatan keorganisasian juga diterapkannya di dapilnya.
Meski begitu, sebagai petugas partai, dia patuh pada apa pun keputusan PDI-P mengenai nomor urutnya kelak. ”Meski tak mendapat nomor urut kecil nanti, saya tidak berkecil hati. Harus tetap all out, habis-habisan untuk mendulang suara partai,” ujarnya.
Saat ini, ia fokus mempersiapkan diri untuk bertarung di dapil ”neraka” tersebut. Selain sosialisasi kepada masyarakat, ia juga mulai membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh di dapilnya. Hal yang tak kalah penting adalah memetakan simpul-simpul suara.
Modal tarik simpati
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB Daniel Johan menuturkan, penentuan nomor urut caleg di partainya didasarkan pada hasil survei internal. Survei ini mempertimbangkan kelaikan, etos kerja, dan kedekatan caleg dengan masyarakat.
Dengan survei itu, PKB mulai memetakan caleg. Biasanya, nomor urut kecil diberikan kepada bakal caleg yang memiliki tingkat keterpilihan tinggi. Ini karena mereka memiliki modal dan latar belakang yang kuat untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat.
Sebenarnya, berapa pun nomor urutnya, setiap caleg punya peluang yang sama untuk melaju ke parlemen. Siapa pun bisa memenangi pileg apabila didukung basis massa yang kuat. Namun, tetap saja, para bakal caleg mengincar nomor urut kecil karena yakin potensi menang lebih tinggi.
Baca Juga: Sederet Daya Memikat Parpol untuk Tiket Pencalonan Anggota Legislatif
Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Pengalaman sejumlah partai politik pada beberapa pemilu terakhir menunjukkan caleg yang lolos ke parlemen sebagian besar merupakan caleg dengan nomor urut kecil. Partai Demokrat, misalnya, 60 persen caleg dengan nomor urut satu berhasil lolos ke parlemen. ”Sementara yang gagal itu 40 persen. Perbandingan antara sukses dan gagal itu 60:40,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief.
Dari fakta itu, Andi menyimpulkan masih ada kemungkinan caleg dengan nomor urut cantik gagal terpilih. Meskipun demikian, Demokrat tetap menyediakan ruang bagi caleg petahana untuk mendapatkan nomor urut satu. Sementara untuk nomor urut berikutnya ditentukan berdasarkan hasil survei dan pengamatan oleh Bappilu yang akan ditetapkan oleh Majelis Tinggi Partai.
Peluang terpilih caleg bernomor urut kecil masih sangat tinggi meski saat ini pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka. Selain itu, kondisi ini juga didukung oleh partai politik yang biasanya menempatkan kader andalannya di nomor urut cantik.
”Minggu kedua April telah dilakukan survei untuk caleg petahana apakah masih laik menempati nomor urut satu atau tidak. Mereka bisa saja kemudian ditempatkan pada nomor urut dua atau tiga, yang juga dikenal populer,” tutur Andi.
Kader andalan
Riset yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Pemilu 2019 menemukan, sebanyak 63,48 persen caleg yang mendapat kursi DPR merupakan caleg bernomor urut satu. Jumlah ini setara dengan 365 dari total 575 kursi yang ada di DPR. Sementara itu, sebanyak 109 kursi (18,96 persen) lainnya ditempati caleg nomor urut dua.
Menanggapi fenomena ini, pembina Perludem, Titi Anggraini, menyampaikan, peluang terpilih caleg bernomor urut kecil masih sangat tinggi meski saat ini pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka. Selain itu, kondisi ini juga didukung oleh partai politik yang biasanya menempatkan kader andalannya di nomor urut cantik.
Para caleg menjadi berlomba-lomba untuk merebut nomor urut cantik demi dirinya. Tujuannya, membangun persepsi publik bahwa dirinya merupakan utusan partai untuk menang. Walakin, tidak sedikit juga caleg yang mengincar nomor urut sama dengan partai politik pengusungnya, bahkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden pilihannya.
”Pencocokan nomor urut ini untuk meraih limpahan pemilih yang memilih berdasarkan insting mereka. Hal ini juga memudahkan proses kampanye para caleg agar masyarakat lebih mengingatnya,” ucap Titi.
Menurut dosen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, sejak Orde Baru, partai politik menempatkan caleg favoritnya pada nomor urut kecil, seperti satu atau dua, sedangkan urutan lainnya sebatas melengkapi keperluan administratif. Hal ini memicu kesan caleg bernomor urut kecil sudah laik atau pantas lolos ke Senayan.
”Dalam pileg, penyelenggara pemilu dan pesertanya tidak serius untuk meningkatkan kualitas adu gagasan serta janji program antarpartai. Masyarakat selaku pemilih seolah tidak diajak dan dibiasakan mengolah informasi sebaik mungkin saat proses pemilu,” paparnya.
Kondisi itu memunculkan cara berpikir masyarakat untuk mencari jalan pintas. Hal ini, menurut Dicky, tentu tak lepas dari perilaku manusia dibentuk oleh proses kognitif yang disebut kesadaran. Dalam hal ini, para pemilih dipaksa mengaitkan nomor urut dengan kapasitas dan kemampuan caleg. Karena itu, muncul pandangan bahwa caleg nomor urut satu pasti punya kualitas top dan dipersiapkan untuk menang.
Meskipun demikian, sebenarnya, nomor urut cantik bukanlah segalanya. Para caleg tetap harus berdarah-darah memikat simpul suara. Kerap kali dalam mendulang suara membutuhkan modal, kesiapan, dan pengalaman yang tidak sedikit.