Alih-alih Persoalkan Data Rahasia, MAKI Minta Transaksi Janggal Rp 349 Triliun Dibongkar
MAKI laporkan Menteri Koordinator Bidang Polhukam Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Kepala PPATK Ivan Yustiavandana ke Bareskrim Polri. Pelaporan agar kasus itu diungkap, bukan diperdebatkan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Laporan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati; serta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana ke Badan Reserse Kriminal Polri dimaksudkan agar persoalan prosedur pembukaan transaksi mencurigakan hingga Rp 349 triliun segera dituntaskan secara adil. Alih-alih menaruh perhatian ke persoalan prosedural, pengungkapan transaksi mencurigakan tersebut jauh lebih penting.
Boyamin mendatangi Gedung Bareskrim Polri sekitar pukul 12.00, Selasa (28/3/3/2023). Ia mengatakan, maksud kedatangannya adalah untuk melaporkan Mahfud MD, Sri Mulyani Indrawati, dan Ivan Yustiavandana kepada Bareskrim Polri. Laporan tersebut mengenai peristiwa dugaan tindak pidana membuka rahasia data transaksi mencurigakan Rp 300 triliun atau Rp 349 triliun melalui media massa oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Hal itu sebagaimana diatur dalam rumusan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut Boyamin, laporan tersebut merupakan tindak lanjut dari pernyataan tiga anggota Komisi III DPR saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepala PPATK pada 22 Maret lalu. Pada RDP tersebut, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan, menyatakan, terdapat ketentuan pidana penjara 4 tahun bagi siapa pun yang membuka rahasia data dari hasil PPATK bagi pejabat, menteri, dan menteri koordinator.
Demikian pula anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menyatakan, terdapat agenda politik untuk menyerang Kementerian Keuangan atau orang Kemenkeu. Terakhir adalah anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, yang menyatakan, Menko Polhukam tidak berwenang mengumumkan hasil analisis PPATK.
Sementara Sri Mulyani Indrawati turut dilaporkan, menurut Boyamin, karena merujuk pada penjelasan Sri Mulyani yang menyebut inisial nama orang yang tercantum dalam surat Kepala PPATK kepada Menkeu. ”Daripada perdebatan terus antara pemerintah dan DPR, sudahlah, saya yang melapor ke Bareskrim,” kata Mahfud.
Tidak lebih dari 15 menit, Boyamin keluar dari Gedung Bareskrim. Menurut Boyamin, karena ia datang di saat istirahat, Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim tutup karena petugasnya sedang beristirahat. Meski demikian, Boyamin tetap memasukkan laporan tertulis yang ditujukan kepada Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Dengan demikian, Boyamin berharap agar dirinya dapat segera dipanggil dan diminta keterangan oleh Bareskrim Polri, termasuk juga para saksi yang dimaksud, yakni para anggota Komisi III DPR. Jika ternyata laporannya tidak ditindaklanjuti, MAKI akan menggugat Bareskrim melalui mekanisme praperadilan.
”Karena (mekanisme ini) untuk menguji, pendapat DPR atau pendapat Pak Mahfud MD yang benar. Kita rakyat, kan, supaya tidak terombang-ambing,” tutur Boyamin.
Menurut Boyamin, dalam rangkaian dugaan transaksi janggal Rp 349 triliun, sebenarnya pihaknya ingin agar perkara dugaan pencucian uang itu dibongkar hingga ditemukan pelakunya dan diproses hukum. Boyamin pun berharap agar masyarakat tidak terbawa pada persoalan prosedural dan dugaan politisasi sebagaimana diungkap beberapa anggota Komisi III DPR tersebut.
Ini supaya dugaan pencucian uang ini bisa dibuka. Dan, harapan saya agar dana ini dirampas untuk negara. Saya malah ingin ini gaduh karena jika tidak ada viral, tidak ada keadilan.
Oleh karena itu, Boyamin mengaku bahwa dalam perkara ini, MAKI mendukung Mahfud MD, Ivan Yustiavandana, dan Sri Mulyani Indrawati. Oleh karena itu, laporan yang ia ajukan tersebut diterima atau ditolak tidak menjadi masalah bagi MAKI karena yang dia harapkan adalah proses yang adil dengan mengundang semua pihak, khususnya tiga anggota Komisi III yang disebutkan dalam laporan.
”Ini supaya dugaan pencucian uang ini bisa dibuka. Dan, harapan saya agar dana ini dirampas untuk negara. Saya malah ingin ini gaduh karena jika tidak ada viral, tidak ada keadilan,” ujar Boyamin.
Menjaga akuntabilitas
Secara terpisah, Ivan menyatakan, pihaknya akan tetap menjaga akuntabilitas, integritas, dan independensi dalam menjalankan tugas, fungsi, serta kewenangannya, termasuk pada kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. Menurut Ivan, yang dilakukannya berdasarkan pada koridor hukum sebagai dasar pijakan.
Tentunya kami membutuhkan partisipasi tersebut untuk menjadi semakin kuat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU (tindak pidana pencucian uang), TPPT (tindak pidana pendanaan terorisme) dan PPSPM (Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal) di Indonesia.
Ivan pun mengungkapkan terima kasih kepada segenap lapisan masyarakat ataupun organisasi kemasyarakatan yang memberikan perhatian pada PPATK. ”Tentunya kami membutuhkan partisipasi tersebut untuk menjadi semakin kuat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU (tindak pidana pencucian uang), TPPT (tindak pidana pendanaan terorisme), dan PPSPM (pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal) di Indonesia,” kata Ivan.
Menelusuri pidana asal
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berpandangan, laporan PPATK tentang transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun yang disampaikan ke Kemenkeu tersebut terkait dengan tindak pidana kepabeanan dan cukai serta merupakan kompilasi sejak 2009. Namun, tidak tertutup kemungkinan jika didalami lebih jauh, maka terkait dengan tindak pidana korupsi.
Jika PPATK menyinyalir adanya dugaan tindak pidana korupsi, tentu informasi tersebut juga dikirimkan kepada aparat penegak hukum. Namun, untuk sampai ke sana, perlu dibangun koordinasi antara PPATK, Kemenkeu, dan aparat penegak hukum.
Terkait fungsi pengawasan Komisi III DPR, akan jauh lebih baik jika DPR mendalami tindakan koordinasi dan supervisi antara PPATK dan aparat penegak hukum. Sebab, laporan yang disampaikan PPATK ke aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi, tentu berdasarkan pemetaan yang berujung pada kesimpulan tindak pidana asal dari pencucian uang tersebut adalah korupsi.
”Terkait fungsi pengawasan Komisi III DPR, akan jauh lebih baik jika DPR mendalami tindakan koordinasi dan supervisi antara PPATK dan aparat penegak hukum. Sebab, laporan yang disampaikan PPATK ke aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi, tentu berdasarkan pemetaan yang berujung pada kesimpulan tindak pidana asal dari pencucian uang tersebut adalah korupsi,” tutur Kurnia.
Di situ, lanjut Kurnia, peran Komisi III diperlukan untuk mengurai kendala yang mungkin selama ini terjadi antara PPATK dan KPK. Komisi III pun bisa melihat berapa banyak laporan yang diberikan oleh PPATK dan ditindaklanjuti serta berapa yang tidak, tanpa membuka isi laporan yang bersifat rahasia tersebut.
Secara terpisah, peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, berpandangan, PPATK memang memiliki kewajiban untuk memberikan informasi tentang dugaan transaksi mencurigakan ke penyidik yang berkaitan, dalam hal ini termasuk ke Kemenkeu. Sementara informasi yang disampaikan Mahfud berdasarkan data laporan hasil analisis (LHA) yang masuk dalam kategori informasi yang terbuka bagi publik. Itu berarti, informasi tersebut dapat dijadikan pijakan dalam penelusuran dugaan kasus.
Oleh karena itu, menurut Alvin, sikap Mahfud justru sangat dibutuhkan di tengah gersangnya kepemimpinan dalam perang melawan korupsi. ”Ini patut diapresiasi. Diharapkan, dukungan ini juga berlanjut ke arah penyusunan legislasi, terutama Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset,” ujar Alvin.