Ditunggu, Instruksi Presiden agar Penegak Hukum Tindaklanjuti Laporan PPATK
Presiden dinilai dapat menginstruksikan para penegak hukum untuk lebih serius setelah memanggil Kepala PPATK. Ini terutama dalam menindaklanjuti LHA dan LHP dari PPATK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah persoalan transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan trankasi keuangan di Kementerian Keuangan, Presiden Joko Widodo memanggil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/3/2023). Hingga kini, apa isi pertemuannya, belum diketahui. Namun, Presiden Jokowi diharapkan menginstruksikan penegak hukum untuk serius menindaklanjuti laporan dari PPATK.
Saat dikonfirmasi, Ivan membenarkan pertemuan terusebut. Ia mengatakan, dalam pertemuan tersebut dibahas banyak hal mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), serta terkait pejabat penandatanganan surat perintah membayar (PPSPM). Namun, ia enggan menjelaskan persoalan yang dibahas dan arahan dari Presiden.
“Iya. Alhamdulillah. (Membahas) banyak hal mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU-TPPT-PPSPM,” kata Ivan.
Sebelumnya, usai dipanggil Presiden Jokowi, Ivan sama sekali menolak menjawab meskipun diuber-uber jurnalis di Istana menuju mobil dinasnya.
Adapun pada Rabu (29/3) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD akan mengklarifikasi terkait dugaan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun dalam agenda rapat kerja dengan DPR. Sebelumnya, sejumlah anggota DPR dalam rapat kerja dengan Ivan mencecar terkait indikasi tindak pidana pencucian uang Rp 349 triliun yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan (Kompas, 27/3/2023).
Bersifat intelijen
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, Laporan Hasil Analisis (LHA) dari PPATK merupakan informasi yang bersifat intelijen keuangan, sehingga tidak boleh dibuka di ruang publik. LHA tersebut seharusnya diserahkan langsung ke penegak hukum untuk dianalisis apakah ada tindak pidananya.
“Bahwa ada transaksi mencurigakan dan ada dugaan tindak pidana pencucian uang itu betul tugasnya dari PPATK, tetapi yang menentukan adanya pidana atau tidak, apalagi kemudian korupsi, suap, ataupun pidana lainnya penegak hukum yang harus mendalami dari LHA transaksi mencurigakan”
“Bahwa ada transaksi mencurigakan dan ada dugaan tindak pidana pencucian uang itu betul tugasnya dari PPATK, tetapi yang menentukan adanya pidana atau tidak, apalagi kemudian korupsi, suap, ataupun pidana lainnya penegak hukum yang harus mendalami dari LHA transaksi mencurigakan,” kata Ali.
Menurut Ali, banyak kesalahpahaman di ruang publik dalam memahami LHA. Seharusnya PPATK menjelaskan ke masyarakat terkait LHA, sehingga bisa dipahami bahwa itu sebatas transaksi mencurigakan yang ada indikasi TPPU. Untuk bisa ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, harus ada tindak pidana asalnya.
Terkait dengan kasus bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, Ali menegaskan, KPK berkomitmen untuk segera menyelesaikan proses penyelidikannya. KPK masih butuh waktu untuk menganalisis dan proses hukum yang harus dilalui sesuai ketentuan.
“Kami dalami untuk menemukan peristiwa pidana korupsi dan pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum”
“Kami dalami untuk menemukan peristiwa pidana korupsi dan pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Ali. Namun, ia belum bisa meyampaikan materi kegiatan penyelidikan yang sedang dilakukan KPK dalam kasus ini.
Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, Presiden dapat menginstruksikan para penegak hukum untuk lebih serius. Ini terutama dalam menindaklanjuti LHA dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari PPATK.
”Tindak lanjut dari LHA dan LHP sejak 2016 hingga 2021 baru mencapai 30 persen dari 2.600-an laporan yang masuk. Jika ingin menyelamatkan uang negara, maka penegak hukum harus bekerja lebih giat,” ucapnya.
Ia menegaskan, peran yang diemban PPATK hanya sebatas pengumpan, sedangkan yang menindak merupakan penegak hukum. LHA, kata Agus, umumnya terdapat indikasi tindak pidana. Namun, PPATK tidak memiliki kewenangan dalam penyidikan. Hal ini membuat penegak hukum harus membuktikan LHA.
Terkait yang dilakukan Mahfud dalam menyampaikan dugaan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun, menurut Agus, sudah benar karena hanya sebatas informasi umum. Namun, hal itu justru dikritisi oleh DPR. Oleh karena itu, Presiden dapat turun dan menginstruksikan pihak terkait untuk melaksanakan tugas masing-masing dengan baik. (PDS/Z11)