Pemilihan Figur Politik Pengaruhi Efektivitas Lembaga
Pembenahan praksis pengisian jabatan di lembaga-lembaga ”anak” reformasi dinilai bisa menjadi salah satu solusi memperbaiki efektivitas kinerja dan independensi lembaga tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas kebersihan melintas di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran bersama, terutama dari kalangan elite politik, dibutuhkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang lahir di era reformasi tetap efektif dan independen. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki praksis pengisian posisi di lembaga itu untuk menghindari masuknya figur-figur yang kadar politisnya kuat sehingga turut berkontribusi pada penurunan kepercayaan publik pada lembaga tersebut.
Setidaknya ada tiga lembaga yang lahir untuk mencapai tujuan reformasi, antara lain, Dewan Perwakilan Daerah (2001), Mahkamah Konstitusi (2003), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2003). Berdasarkan kajian Litbang Kompas berbasis survei nasional dari kurun waktu 2015 hingga Januari 2023, citra positif ketiga lembaga tersebut di mata publik menurun. Sejumlah pakar juga menilai, ada penurunan kinerja, bahkan pelemahan terhadap ketiga lembaga itu (Kompas, 27/3/2023).
Peneliti senior di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor saat dihubungi di Jakarta, Senin (27/3), mengatakan, penurunan citra positif ini tak terlepas dari situasi internal ketiga lembaga yang dinilai publik tak mengalami perbaikan dari periode kepemimpinan satu ke periode selanjutnya. Di generasi pertama, lembaga-lembaga itu sempat diisi figur-figur profesional, memiliki idealisme tinggi, serta berangkat dari keprihatinan yang sama. Namun, di periode selanjutnya hingga sekarang, lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu justru diisi figur-figur yang kadar politisnya kuat. Berbagai intervensi politik masuk ke lembaga-lembaga tersebut sehingga figur-figur di dalamnya tak lagi mengutamakan kepentingan bersama. Kesadaran kenegaraan dan profesionalisme juga hilang.
”Jadi, setelah lembaga-lembaga itu established dan kepentingan politik menjadi lebih tinggi, diikuti oleh naluri untuk menguasai hampir semua segmen politik yang bisa diisi secara politis, itu akhirnya muncul figur-figur yang itu tadi, ketergantungan politiknya tinggi, karena dipilih oleh proses yang politiknya tinggi. Dan kalau diperhatikan, baik buruknya lembaga itu, kan, juga ditentukan oleh individu-individu di dalamnya,” ujar Firman.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Peneliti senior di Pusat Riset dan Politik BRIN, Firman Noor
Dalam situasi tersebut, yang bisa diharapkan adalah membangun dan memperkuat kesadaran kolektif, terutama dari elite politik, untuk menjaga diri secara berkesadaran bahwa lembaga-lembaga ini harus bekerja bukan untuk menopang kekuatan politik sesaaat, tetapi bekerja atas nama negara untuk kepentingan bersama.
”Kuncinya di situ sebuah consciousness (kesadaran) dari elite politik. Artinya, kembali kesadaran itu ke partai politik. Sebab, kalau kesadaran mereka, pimpinan politik dan pimpinan partai politik itu nol, masyarakat mau seprotes apa pun akan susah, akan percuma. Tidak akan didengar mereka juga. Jadi, para elite politik ini harus sadar perlunya keterjarakan dan kepentingan untuk yang lebih besar,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, prinsip check and balances perlu dijalankan secara baik. Artinya, buka seluas-luasnya kesempatan saling melakukan check and balances. Dengan begitu, diyakini akan ada situasi yang berubah karena orang atau lembaga akan berhati-hati untuk bertindak seenaknya. Masyarakat sipil juga harus terus bersuara. Solidaritas elemen masyarakat sipil ini penting karena situasinya sekarang sudah makin mengkhawatirkan.
Independensi lembaga
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pemerintah berkepentingan terus mendorong konsolidasi demokrasi Indonesia yang sudah berlangsung setelah reformasi. Karena itu, pemerintah menyambut baik dan mencatat masukan-masukan perbaikan yang bertujuan mendorong konsolidasi demokrasi Indonesia.
KANTOR STAF PRESIDEN
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani di gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Ia menekankan masing-masing lembaga yang lahir di era reformasi, memiliki koridor serta landasan hukum yang mengatur kewenangan dan derajat independensi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Bahkan, ada pula yang dapat ditarik amanat pembentukannya ke tingkat UUD 1945.
”Dalam konteks tersebut, pemerintah terus menghormati batasan-batasan yang ada dalam berinteraksi dengan lembaga-lembaga tersebut sehingga dalam kerangka negara demokrasi Indonesia, tidak terjadi pula penyimpangan kekuasaan oleh pemerintah,” ujarnya.
Dengan lingkup ruang intervensi yang terbatas oleh pemerintah itu, lanjut Jaleswari, upaya konsolidasi demokrasi Indonesia juga memerlukan partisipasi seluruh elemen bangsa lain, termasuk dari masyarakat, akademisi, serta internal lembaga negara terkait.
Terpisah, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengingatkan, menurunnya persepsi positif publik terhadap MK, KPK, dan DPD terkait dengan kinerja mereka yang menurun. Menurut dia, kinerja KPK menurun sejak ada revisi UU KPK pada 2019 karena ada pengurangan kewenangan dan independensi. Karena itu, kewenangan KPK harus dikembalikan seperti sebelum ada revisi UU KPK. Adapun persoalan yang ada di MK ialah terlalu banyak intervensi politik. Sementera itu, DPD harus diberikan kewenangan yang setara dengan DPR.
Wijayanto menegaskan, untuk bisa ada perbaikan tersebut dibutuhkan kemauan politik dari eksekutif dan legislatif. Momen Pemilu 2024 harus dimanfaatkan masyarakat sipil untuk mendesak agar para calon legislatif dan calon presiden menyetujui agenda progresif untuk memperkuat lembaga-lembaga tersebut.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, pada 2015 kepuasan publik terhadap ketiga lembaga tersebut cukup tinggi. Kepuasan publik pada waktu itu seharusnya menjadi resep yang perlu dikembangkan para pemimpin lembaga agar meraih kembali kepercayaan publik.
Pada 2015, kata Bayu, MK banyak mengeluarkan putusan-putusan yang progresif dan menjadi jalan keluar atas berbagai kemandekan dalam demokrasi dan ketatanegaraan. MK berani keluar dari pakem demi mencari jalan keluar.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintas di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kuningan, Jakarta, Senin (6/7/2020).
KPK pada masa itu bisa mengimbangkan penindakan dan pencegahan. Mereka berani menindak perkara-perkara besar dan tidak hanya fokus pada pencegahan. Hal itu menjadi efek gentar bagi para pihak yang mencoba main-main dengan jabatan yang dimiliki. Menurut Bayu, MK dan KPK bisa bekerja maksimal karena didukung regulasi. Perubahan regulasi justru berpengaruh pada kinerja kedua lembaga tersebut.
Sementara itu, kata Bayu, kewenangan DPD sudah jelas, tetapi mereka lebih sibuk dengan urusannya sendiri, seperti konflik internal, kepemimpinan, sampai dengan keterbelahan. Selain itu, mereka selalu menyalahkan kewenangan.
Padahal, kata Bayu, posisi DPD cukup kuat dengan adanya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). DPD tidak bisa menangkap momentum itu dan lebih sibuk pada urusan internal daripada isu publik. Karena itu, DPD harus lebih fokus untuk mengurusi kepentingan publik dengan mengoptimalkan kewenangan yang ada, baik dalam fungsi legislasi maupun aspirasi kepentingan daerah.