Tak Sulit Mengesahkan RUU Perampasan Aset, Kuncinya di Kemauan Politik
Jika RUU Perampasan Aset disahkan, kasus yang marak terkuak belakangan, yaitu peningkatan kekayaan yang asal-usulnya ditengarai tidak sah dan mencurigakan (illicit enrichment), bisa segera ditindak.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terus terkuaknya kasus harta kekayaan tak wajarpejabat negara membuat kehadiran Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana semakin mendesak. Pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Pakuan Bogor Yenti Garnasih menilai tak sulit mengesahkan rancangan undang-undang yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2023 itu. Semua tergantung kemauan politik dari pembentuk UU.
Yenti, saat dihubungi pada Jumat (24/3/2023), mengatakan, pembahasan RUU Perampasan Aset sudah dilakukan sejak 2006. RUU dibahas untuk menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Hingga 2010, pembahasan RUU dilihatnya sudah sangat baik. Sayangnya, RUU ini kerap keluar-masuk dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
”Sebenarnya, karena kita sudah meratifikasi UNCAC, RUU Perampasan Aset ini yang paling penting. Namun, malah tidak disegerakan karena paradigma pemberantasan korupsi di Indonesia masih pemidanaan badan, bukan pada pengembalian kerugian negara,” ujarnya.
Jika RUU Perampasan Aset disahkan, lanjut Yenti, kasus yang marak terkuak belakangan, yaitu peningkatan kekayaan yang asal-usulnya ditengarai tidak sah dan mencurigakan (illicit enrichment), bisa segera ditindak. Pengaturan itu tertuang dalam UNCAC Pasal 20.
Kehadiran aturan itu diyakini dapat mempermudah aparat penegak hukum untuk menelusuri kasus terkini, seperti mantan Kepala Bagian Umum Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo (RAT). Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 31 Desember 2021, kekayaan RAT mencapai Rp 56,1 miliar.
Seolah berulang, lebih dari satu dekade lalu, pegawai pajak golongan III A Gayus Tambunan juga tak kalah fantastis. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dana gelap yang disita kepolisian dari Gayus di luar aset tanah dan mobil mencapai Rp 100 miliar. Selain itu, ada juga Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Angin Prayitno yang terjerat kasus suap dan pencucian uang dengan harta mencapai Rp 57 miliar. Padahal, dalam LHKPN yang terakhir dilaporkan pada 28 Februari 2020, harta Angin hanya tercatat Rp 18,62 miliar.
Di dalam naskah akademik RUU Perampasan Aset yang terpublikasi di situs resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga ada pengaturan mengenai aset yang tidak seimbang dengan penghasilan.
Dalam ketentuan perampasan aset tindak pidana, akan diatur tentang aset yang dimiliki oleh setiap orang yang tidak seimbang dengan penghasilannya. Atau yang tidak seimbang dengan penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal-usul perolehannya secara sah. Maka, aset tersebut dapat dirampas oleh negara.
Kemauan politik
Peneliti ICW Lalola Easter berpandangan, tanpa menunggu RUU Perampasan Aset disahkan, sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini menangani kasus Rafael Alun bisa memaksimalkan penggunaan pasal di Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Jika KPK bertindak cepat atas laporan analisis PPATK, penyidik dapat mengajukan permohonan penyitaan, bahkan perampasan aset tanpa pemidanaan kepada pengadilan negeri yang diatur dalam Pasal 67 Ayat (2) UU TPPU.
Mekanisme tersebut telah diujikan penerapannya dan menjadi preseden baik dalam sejumlah kasus. Contoh perampasan aset tanpa pemidanaan yang dimohonkan penyidik kepada pengadilan negeri dan dikabulkan adalah kasus penipuan atau pemalsuan data oleh salah satu nasabah Nindy Helsa di Pengadilan Negeri Bogor, kasus pembajakan e-mail lintas negara yang dilakukan oleh Foshan Zebro Ltd di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kasus narkotika dengan tersangka Salahudin di Pengadilan Negeri Batam.
”Jika penyidik KPK serius, ada peluang untuk menggunakan pasal tersebut. Meskipun belum pasti ada korupsinya, dengan dugaan TPPU rasanya sudah cukup,” kata Lalola Easter.
Walakin, Lalola juga menyadari bahwa penerapan pasal TPPU di Indonesia belum bisa berdiri sendiri. Penyidik masih perlu mencari tindak pidana asalnya. Dalam kerangka pencegahan korupsi, LHKPN juga belum optimal digunakan. Apalagi dalam konteks penindakan kasus korupsi.
Oleh karena itu, memang kemudian mendesak untuk menghadirkan aturan yang memungkinkan penegak hukum atau negara melakukan perampasan aset dan pemulihan. RUU Perampasan Aset menjadi penting dan mendesak digolkan di DPR. Momentumnya pun dinilai pas karena sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023. Artinya, desakan untuk mendorong legislasi segera disahkan semakin relevan.
”Surat presiden (surpres) belum dikirimkan pemerintah ke DPR. Kami mendengar info karena belum semua pemangku kepentingan yang terlibat menandatangani draf RUU tersebut,” katanya.
Jika memang serius untuk mengegolkan RUU tersebut, permasalahan teknis itu harus segera diatasi. Pemangku kepentingan yang belum menandatangani draf RUU harus dikumpulkan untuk dicarikan solusinya.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman mengatakan, RUU Perampasan Aset akan menjadi prioritas karena sudah ada arahan dari Presiden untuk segera membahasnya bersama DPR. Kemenkumham berkomitmen penuh untuk percepatan RUU agar bisa dibahas dan disahkan. Terkait dengan surpres yang belum dikirim, lanjutnya, hal itu merupakan tugas dari Kementerian Sekretariat Negara.
”Terkait dengan surpres, apakah bisa dikirim cepat atau lambat, itu tergantung dari pihak Setneg,” katanya.