Komisi III DPR Tunggu Kesiapan Pemerintah Bahas RUU Perampasan Aset
Komisi III DPR menunggu surat presiden serta naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset dari pemerintah. Menkumham Yasonna Laoly dan Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan pemerintah akan segera mengirimkannya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mendorong pemerintah agar segera mengirimkan surat presiden, draf, dan naskah akademik Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Sebab, meski telah mengusulkan agar RUU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023, hingga saat ini pemerintah belum menyerahkan dokumen yang dibutuhkan untuk membahasnya.
Padahal, keberadaan undang-undang tersebut dinilai kian mendesak untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Begitu juga dalam pengusutan harta tak wajar dari sejumlah penyelenggara negara yang belakangan mulai terkuak.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, Kamis (23/3/2023), mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 atas inisiatif pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab mempersiapkan draf dan naskah akademik RUU tersebut. Namun, berdasarkan informasi yang diketahui Didik, kedua dokumen tersebut masih diharmonisasi di lintas kementerian.
Didik berharap, pemerintah segera menyelesaikan draf dan naskah akademik RUU Perampasan Aset lalu mengirimkannya ke DPR. Sebab, tanpa itu, pembahasan belum bisa dilakukan. ”Kami di DPR menunggu kesiapan pemerintah. Kami tahu RUU ini sangat dibutuhkan, pasti akan dibahas segera setelah ada surpres (surat presiden) dan penunjukan wakil pemerintah diterima DPR,” katanya.
Ia menambahkan, UU Perampasan Aset merupakan instrumen penting untuk mendukung pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi secara utuh. Di tengah dinamika kejahatan yang kian kompleks dan dinamis, keberadaan UU tersebut pun kian mendesak.
Selama ini, pemberantasan tindak pidana korupsi, narkotika, perpajakan, dan keuangan belum mampu memberikan efek jera yang signifikan, karena pelaku masih bisa tetap menikmati aset hasil tindak pidana setelah menjalani masa hukuman. Pengembalian aset kerugian negara juga belum optimal dan belum bisa membantu pengembalian keuangan negara secara utuh.
”Dalam penindakan tindak pidana pencucian uang, praktiknya pun masih terkendala karena kurang progresifnya peraturan perundang-undangan terkait penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana,” kata Didik.
Oleh karena itu, menurut Didik, UU Perampasan Aset semestinya bisa menjawab harapan publik dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya secara formil. UU itu juga diharapkan menjadi terobosan dalam upaya menekan angka kejahatan tersebut secara utuh.
”Sepenuhnya saya mendukung dan berharap agar RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana ini dapat dibahas dan diundangkan segera agar perampasan aset dapat dilakukan terhadap harta hasil kejahatan tanpa kendala aturan hukum acara yang belum memadai,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, menambahkan, pembahasan RUU Perampasan Aset sangat bergantung pada kapan pemerintah akan mengirimkan surpres, draf, dan naskah akademik terkait. Tidak dimungkiri, RUU ini sudah ditunggu sejak lama oleh berbagai pihak dan diharapkan segera dibahas DPR bersama pemerintah. ”Kami menunggu pemerintah mengirim draf dan naskah akademik RUU tersebut,” ujarnya.
Taufik tidak menampik urgensi UU Perampasan Aset di tengah konteks mulai terkuaknya kekayaan sejumlah penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan profilnya. Begitu pula temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun yang terkait dengan Kementerian Keuangan.
Ia membenarkan, UU Perampasan Aset bisa membantu untuk mengusut dan mengembalikan harta tidak wajar yang dimiliki penyelenggara negara. Namun, aturan tersebut bukan satu-satunya solusi, karena UU bekerja pada bagian akhir proses penegakan hukum. UU itu tidak bekerja sejak proses awal penegakan hukum ataupun pencegahan.
”Terkait dengan temuan transaksi mencurigakan, kebutuhannya lebih pada optimalisasi kerja PPATK bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang juga harus didukung oleh seluruh lembaga penyelenggara negara, untuk melakukan pengawasan ketat terkait kewajaran penghasilan, gaya hidup, dan laporan kekayaan para penyelenggara negara di setiap lembaganya,” kata Taufik.
Mantan Hakim Agung Gayus T Lumbuun melihat, aturan yang ada saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya dapat digunakan untuk menindak kasus harta kekayaan tak wajar pejabat negara. Namun, norma dalam UU itu dinilai tidak optimal, terutama untuk mekanisme pembuktian terbalik.
Dalam Pasal 37 Ayat (3) UU No 31/1999 disebutkan, dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan sumber penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti. Ini disebutnya sudah mengakomodasi pembuktian terbalik. Namun, dalam Pasal 37 Ayat (4), penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya.
”Ini seperti dua wajah aturan yang akhirnya menjadi celah, karena beban pembuktian tetap harus dilakukan penuntut umum,” ujarnya.
Gayus juga sepakat, jika kasus kekayaan tak wajar pejabat negara ingin diselesaikan secara komprehensif, harus ada aturan illicit enrichment atau proses penelusuran harta kekayaan pejabat untuk membuktikan aset berasal dari sumber sah atau tidak. Aturan itu bisa diakomodasi dalam RUU Perampasan Aset yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023. Jika pembentuk UU berkomitmen serius, regulasi itu tentu bisa segera disahkan.
Selesai diharmonisasi
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana sudah selesai diharmonisasi di tingkat pemerintah. Dia juga menyebut pemerintah akan mengirimkan surpres ke DPR sebagai permintaan untuk membahas legislasi itu bersama sesegera mungkin.
”Sudah selesai harmonisasi. Kami harapkan segera (dikirim surpres ke DPR),” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Menurut dia, proses pembahasan di DPR menunggu surat presiden. Dia berharap DPR konsisten untuk menuntaskan RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 itu sebelum masa jabatan mereka berakhir. ”Oke, kami ajukan secepatnya,” ujarnya.