Lembaga Survei Abal-abal Masif Bermunculan, Bahaya Mengintai
Dalam masyarakat yang kondisinya tengah terpolarisasi dan cenderung mengarah pada perpecahan, hasil survei abal-abal atau manipulatif akan sangat berbahaya dampaknya.

Mendekati Pemilu 2024, hasil survei terkait calon presiden-wakil presiden bertebaran. Bahkan, setiap bulan, ada saja lembaga survei yang merilis hasil survei terbarunya. Problemnya, banyak lembaga disinyalir menjalankan surveinya tanpa berbasiskan kaidah-kaidah ilmiah. Lantas bagaimana membedakan lembaga survei yang kredibel dengan yang abal-abal?
Hamdi Muluk terdengar kesal saat ditanya soal adanya sejumlah hasil survei terkait calon presiden-wakil presiden oleh sejumlah lembaga yang sangat signifikan bedanya dengan hasil survei yang dirilis oleh lembaga-lembaga kredibel. Problem klasik yang selalu tampak menjelang pemilu, menurut dia, kembali tampak terulang mendekati Pemilu 2024.
Sudah bukan rahasia, kata anggota Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) ini, setiap menjelang pemilu, sejumlah peserta pemilu, baik partai politik, calon presiden-wakil presiden maupun calon anggota legislatif, memesan lembaga-lembaga survei sebagai konsultan politiknya. Hasil survei penting sebagai panduan dalam menerapkan strategi pemenangan pemilu.
Praktik ini sah-sah saja. Sejumlah lembaga survei kredibel membuat survei dengan kaidah-kaidah ilmiah dan merilis apa pun hasilnya kepada pihak pemesan.
Baca Juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik

Hamdi Muluk
Namun, problem yang kerap muncul, ada sejumlah lembaga yang justru dipesan untuk memanipulasi elektabilitas peserta pemilu tertentu. Yang paling menonjol, memanipulasi elektabilitas figur yang berintensi maju di pemillihan presiden (pilpres).
Tujuannya, bisa untuk melahirkan opini bahwa figur itu banyak pendukungnya sehingga bisa diperhitungkan partai politik (parpol) atau justru melapangkan jalan bagi figur itu memperoleh tiket pencalonan dari parpol. Bisa juga untuk tujuan meyakinkan masyarakat, utamanya mereka yang belum menentukan pilihan, bahwa figur tersebut layak memimpin karena pendukungnya banyak.
Baru-baru ini saya menemukan sekitar 42 lembaga abal-abal dan ini masih menjadi masalah.
Kepentingan untuk merengkuh tujuan itu terlihat kembali menguat saat ini atau satu tahun menjelang digelarnya pilpres. ”Saat ini, pertumbuhannya masih masif. Baru-baru ini saya menemukan sekitar 42 lembaga abal-abal dan ini masih menjadi masalah,” tutur Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia ini saat dihubungi, Kamis (23/3/2023).
Meski kesal dengan kondisi itu, Dewan Etik Persepi tak bisa berbuat banyak. Pasalnya, lembaga-lembaga itu tidak menjadi bagian dari Persepi. Ini berbeda halnya jika lembaga itu masuk Persepi, Dewan Etik bisa langsung memanggil dan meminta penjelasan dari lembaga yang hasil surveinya disinyalir tidak benar. Jika kemudian terbukti melanggar, sanksi bisa dijatuhkan. Data dari Persepi, kini ada 61 lembaga survei yang tergabung dalam Persepi.

Suasana Quick Count Pilpres 2019 oleh Litbang Kompas di kantor Kompas, Jakarta, Rabu (17/4/2019).
Hamdi juga melihat peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup kuat untuk mencegah bermunculannya lembaga survei yang disebutnya abal-abal tersebut. Kehadiran aturan yang bisa mencegah praktik negatif tersebut, menurut dia, perlu dipikirkan.
Sambil menanti aturan itu hadir, menurut Hamdi, kunci untuk mencegah lahirnya lembaga-lembaga survei abal-abal tersebut ada di tangan media massa dan masyarakat.
”Masyarakat dan media harus mampu membedakan survei yang baik dan yang tidak. Kemudian, media tidak memberitakan hasil survei yang salah kepada publik dan tidak turut mendukung lembaga survei tersebut memanipulasi hasilnya sehingga mereka yang berupaya memanipulasi hasil surve tidak akan menggunakan kembali jasa lembaga abal-abal karena merasa tidak mampu mempengaruhi publik,” tutur Hamdi.
Baca Juga: Panjat Pohon Cari Sinyal dan Naik ”Trail” demi Hitung Cepat ”Kompas”
Lantas bagaimana membedakan antara lembaga survei yang kredibel dengan yang abal-abal?

Kegiatan mahasiswa yang terlibat hitung cepat Litbang Kompas untuk Pilkada Jakarta putaran kedua pada 19 April 2017.
Menurut Hamdi, lembaga survei bisa dinilai kredibel jika berani mengungkapkan metodologi surveinya terang-terangan ke publik sebelum merilis hasil surveinya. Dari sana kemudian bisa diukur apakah hasil surveinya benar-benar mencerminkan suara publik atau hasil manipulasi.
”Pertama, lihat metode survei yang digunakan. Kemudian, analisisnya benar atau tidak. Kuisionernya benar atau tidak, reputasi peneliti baik atau tidak, serta kemampuan peneliti mempertanggungjawabkan hasil survei jika terdapat ketidakcocokan,” tuturnya menambahkan.
Hal lain yang bisa dilihat, menurut Ketua Departemen Politik dan Perubahan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, kredibilitas dari penyelenggara survei tersebut. Ini bisa dilihat dari rekam jejak lembaga survei dan hasil-hasilnya sebelumnya. CSIS, untuk diketahui, termasuk salah satu anggota Persepi.
”Kemudian metodologi yang digunakan harus mempertimbangkan standar dan prosedur akademik yang ketat. Dalam pemilu, karena terdapat prinsip one man one vote, survei harus dilakukan secara probabilitas,” ujarnya. Survei yang baik perlu mewakili proporsi antara jumlah penduduk setiap provinsi dan jumlah sampel. Juga dalam metodologi, survei harus representatif sesuai dengan data populasi, seperti jender, agama, dan penduduk yang tinggal di kota dan desa.

Arya Fernandes
Meski kini lembaga survei abal-abal bertebaran, Arya meyakini kehadiran mereka tak akan menggerus kepercayaan publik, termasuk politisi, terhadap lembaga-lembaga survei yang kredibel. Publik diyakininya sudah paham membedakan lembaga survei yang kredibel dan abal-abal. Publik tak akan mudah terkecoh dengan hasil survei yang abal-abal.
”Publik misalnya sering mengomparasi antara hasil survei yang satu dan yang lain. Jika ada hasil survei yang beda sendiri, publik sudah curiga lembaga survei dan riset surveinya tidak benar,” ujarnya.
Meski demikian, sepakat dengan Hamdi, Arya menekankan pentingnya peran media massa. Jika media massa cermat dalam melihat hasil survei dan tak memublikasikan hasil survei yang terindikasi abal-abal, keberadaan lembaga survei abal-abal akan mati dengan sendirinya. Pihak-pihak yang bisa saja dengan sengaja menghidupkan lembaga survei abal-abal untuk kepentingan politik juga diyakini bakal mengurungkan niatnya.
Di luar itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu mencoba menghadirkan aturan untuk mencegah lahirnya survei yang abal-abal. Aturan dimaksud adalah Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2022 yang mengatur soal partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah.

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Dalam aturan itu, lembaga yang hendak melakukan survei dan jajak pendapat terkait pemilu hingga penghitungan cepat hasil pemilu harus mendaftar ke KPU. Lembaga survei yang bisa mendaftar pun harus memenuhi kriteria tertentu, di antaranya berbadan hukum di Indonesia, bersifat independen, dan mempunyai sumber dana yang jelas.
Ketika sudah terdaftar dan memperoleh sertifikat, setelah setiap lembaga survei menggelar kegiatannya diwajibkan lapor ke KPU. Laporan di antaranya harus memuat sumber dana yang dibuktikan dengan laporan hasil audit oleh akuntan publik, metodologi yang digunakan, jumlah responden beserta lampiran unit sampel, tanggal, dan wilayah pelaksanaan serta hasil survei atau jajak.
Tak sebatas itu, dibuka ruang publik untuk mengadu jika ditemukan dugaan pelanggaran dalam kegiatan lembaga survei. Publik bisa mengadu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Jika kemudian Bawaslu menjumpai dugaan pelanggaran etika, rekomendasi dari Bawaslu diserahkan ke KPU yang selanjutnya diserahkan kepada asosiasi lembaga survei untuk mendapatkan penilaian terhadap dugaan pelanggaran etika. Asosiasi lembaga survei akan memberikan penilaian dan keputusan mengenai adanya pelanggaran etika dan diserahkan kembali ke KPU untuk ditindaklanjuti. KPU kemudian memberikan sanksi kepada lembaga survei. Sanksi dimaksud berupa peringatan hingga mencabut sertifikat terdaftar sebagai lembaga survei.

August Mellaz
Menurut Komisioner KPU, August Mellaz, sejak PKPU No 9/2022 diundangkan pada 15 November 2022, semua lembaga survei yang ingin berkegiatan terkait pemilu sudah bisa mendaftar ke KPU. Meski demikian, hingga saat ini belum ada lembaga yang mendaftar.
Ditanyakan jika ada lembaga survei yang masih berkegiatan terkait pemilu di luar yang terdaftar di KPU dan hasil surveinya disinyalir hasil manipulasi, August angkat tangan.
”Memang itu keterbatasannya. KPU tidak mengatur lembaga-lembaga survei yang tidak terdaftar. Namun, intinya, dengan terbitnya PKPU ini, kami mendorong lembaga survei yang berbadan hukum untuk daftar karena kami memfasilitasi partisipasi masyarakat. Kami akan mengumumkan lembaga survei yang terdaftar. Di luar itu, lembaga survei yang manipulatif, kami tidak tahu,” tuturnya.
Sebagai solusi, menurut pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, instrumen hukum di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya mengenai penyebaran informasi bohong dan fitnah, bisa saja digunakan jika hasil survei disinyalir hasil manipulasi. Menurut dia, tidak semua hal bisa digantungkan pada aturan pemilu. Terutama ketika Undang-Undang Pemilu diputuskan untuk tidak direvisi.
Baca Juga: Di Balik Survei Litbang ”Kompas”, Saat Kopi dan Sopi Mencairkan Suasana

Titi Anggraini
Ia pun mengingatkan, dalam masyarakat yang kondisinya tengah terpolarisasi dan cenderung mengarah pada perpecahan, hasil survei abal-abal atau manipulatif akan sangat berbahaya dampaknya. Bahkan, hasil survei dapat memicu konflik serta ketidakpercayaan pada proses dan hasil pemilu secara berkepanjangan.
”Manipulasi terhadap pemilih dapat terjadi karena intimidasi, politik uang, dan penyebaran informasi bohong, hoaks, atau disinformasi pemilu. Informasi bohong itu bisa berasal dari hasil survei abal-abal yang tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia pun mendorong masyarakat membuat keputusan dalam memilih secara cerdas dengan berdasar pada data, fakta, dan informasi yang valid. ”Bukan karena merujuk hasil survei abal-abal yang justru direkayasa,” katanya menambahkan. (APA)