Komnas HAM Belum Tuntas Investigasi Peristiwa Kerusuhan Wamena
Kerusuhan di Wamena harus dituntaskan dengan mekanisme penegakan hukum. Jika mekanisme kompensasi yang ditempuh, seolah ada upaya untuk menutupi kasus tersebut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia masih menyelidiki peristiwa kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, akhir Februari lalu. Sementara itu, aktivis kemanusiaan Papua berharap kerusuhan yang menewaskan 12 orang itu diproses hukum, bukan diselesaikan dengan memberikan uang duka.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam acara diskusi ”Wamena Berdarah 2023: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan?”, Selasa (14/3/2023), mengatakan, tim gabungan dari perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua dan Komnas HAM pusat telah melakukan pemantauan awal sehari setelah kejadian pada 24-28 Februari lalu. Adapun kerusuhan yang dipicu oleh berita bohong mengenai penculikan anak yang merebak di Kampung Sapalek, Jalan Trans-Irian, Wamena, terjadi pada Kamis (23/2/2023). Pada saat pemantauan awal, situasi di lokasi masih mencekam.
”Sekarang kami masih menyelidiki di sana. Tanggal 6-11 Maret lalu, tim Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua datang. Sekarang (pemantauan) masih berlanjut dengan Komnas HAM Pusat,” terangnya.
Atnike menerangkan, Komnas HAM telah bertemu dengan berbagai pihak, seperti keluarga korban, saksi mata kejadian, Bupati Jayawijaya Jhon Richard Banua, hingga Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem. Namun, pengumpulan data belum selesai. Hasilnya pun belum dapat disimpulkan apakah ada pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat atau tidak dalam peristiwa itu. ”Komnas HAM tidak bisa menyimpulkan cepat karena harus memverifikasi di lapangan. Bukti-bukti dan keterangan saksi sedang diselidiki. Kami tidak bisa terburu-buru karena harus sesuai prosedur,” imbuhnya.
Terkait dengan kondisi di lapangan, di mana korban kerusuhan tidak divisum, Komnas HAM sudah meminta agar korban diproses sesuai prosedur hukum. Dia meminta kepada saksi, baik itu masyarakat maupun aparat penegak hukum yang mengetahui peristiwa itu, dapat bekerja sama dengan Komnas HAM untuk mengumpulkan data di lapangan.
Minta diproses hukum
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem yang hadir dalam diskusi itu menegaskan, masyarakat Wamena tidak ingin penyelesaian kasus kerusuhan itu hanya menggunakan uang duka dan penyelesaian adat. Masyarakat tetap meminta proses hukum terhadap peristiwa itu. Masyarakat menilai uang senilai Rp 500 juta yang diberikan pemerintah daerah hanyalah uang kerohiman. Di luar itu, tetap harus ada proses hukum. Hasil laporan akhir Komnas HAM nanti juga akan menjadi pegangan bagi masyarakat untuk mencari keadilan.
”Keluarga akan segera melaporkan kasus ini kepada kepolisian. Kami akan membuat laporan polisi. Kami sudah siapkan upaya litigasi dan nonlitigasi,” tegas Theo.
Berdasarkan data yang dihimpun Theo dari lokasi kejadian, peristiwa berawal saat seorang anak perempuan berinisial BK diminta oleh ibunya membeli minyak goreng, kunyit, dan penyedap rasa di warung. Dia pergi ke warung diantar oleh pamannya. Setelah selesai berbelanja, di jalan masuk kampung dia bertemu dengan dua orang, yaitu pedagang dan sopir.
Kedua orang dewasa itu mengucapkan selamat siang, dilanjutkan dengan ajakan mari, mari. Anak perempuan itu kemudian lari menuju rumah. Dari situlah, kemudian kabar tentang penculikan merebak. Kakak BK dan saudaranya mengejar pedagang dan sopir itu karena dikira akan menculik anak.
Dua saudara BK itu kemudian menemukan pedagang dan sopir yang dimaksud. Terjadi miskomunikasi sehingga memicu keributan dan pemukulan. Karena warga sekitar khawatir, mereka menelepon polisi untuk mendamaikan.
Kapolres Jayawijaya Ajun Komisaris Besar Hesman Napitupulu pun datang untuk mengamankan. Namun, situasi di lokasi masih memanas. Massa semakin banyak dan terjadi pelemparan batu. Dua orang yang diduga sebagai penculik kemudian dibawa oleh polisi.
Warga diminta menyelesaikan permasalahan di lokasi, tetapi justru konflik semakin memanas. Akhirnya, pasukan gabungan TNI/Polri datang ke lokasi. Di situlah kemudian terjadi penembakan dan pelemparan batu. Eskalasi konflik tak terbendung, bahkan rumah warga dibakar dan terjadi tembakan bertubi-tubi di lokasi yang menewaskan 12 orang yang sebagian besar mengalami luka tembak dan belasan orang lainnya luka-luka.
Memutus rantai kekerasan
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan, jika konflik berdarah itu melibatkan warga dan aparat keamanan TNI/Polri, tidak tepat jika mekanisme yang dilakukan adalah kompensasi atau pemberian uang duka.
Seharusnya konflik itu diselesaikan dengan mekanisme penegakan hukum. Sebab, jika mekanisme kompensasi yang dilakukan, seolah ada upaya dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menutupi kasus tersebut. Bahkan, ada kemungkinan pelaku penembakan akan kebal hukum (impunitas).
”Jika melihat kronologi peristiwa yang disampaikan teman-teman di Papua, kejadian ini menunjukkan ketidakprofesionalan aparat dalam menangani unjuk rasa. Padahal, sudah ada aturan tentang pengamanan demo yang menjamin keselamatan manusia,” tegasnya.
Lebih jauh, dia khawatir mekanisme kompensasi justru tidak bisa menyelesaikan agar masalah konflik bersenjata dan ketegangan antara warga sipil dengan aparat di Papua. Jika cara itu ditempuh, dia khawatir siklus kekerasan akan terus terjadi di Papua dan seolah dinormalisasi.
”Khawatirnya ada rasa tidak bersalah dari aparat karena kekerasan bisa diselesaikan dengan uang kompensasi. Ini mengkhawatirkan karena akan melegitimasi kekuatan yang besar dan melanggengkan impunitas,” ungkapnya.
Perwakilan Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, Anum Siregar, menambahkan, keluarga korban harus melaporkan kejadian itu ke kepolisian. Mereka juga harus didampingi oleh pengacara yang memiliki kapasitas hukum memadai. Jangan sampai uang kemanusiaan dijadikan solusi untuk menutup kasus ini.
Tindakan aparat yang tidak sesuai prosedur atau bahkan yang sewenang-wenang harus dievaluasi dan dipertanggungjawabkan. Apalagi, Kapolres Jayawijaya sudah dicopot dan digantikan dengan pejabat yang baru sebagai imbas dari kerusuhan yang menelan korban jiwa itu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta kepada pemerintah untuk serius memikirkan upaya deeskalasi konflik di Papua. Selama ini, harkat dan martabat warga Papua sudah hancur karena konflik bersenjata yang berkepanjangan. Harus ada langkah korektif yang nyata khususnya pendekatan keamanan untuk memutus mata rantai kekerasan di ”Bumi Cenderawasih”.