PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp 300 triliun. Namun, laporan itu tak direspons pengawasan internal. Di sini, kehadiran UU Perampasan Aset kian dibutuhkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran Undang-Undang Perampasan Aset kian mendesak agar dapat menindak setiap penyelenggara negara dengan penambahan harta kekayaan yang tidak wajar. Selama ini, penelusuran ketidakwajaran harta penyelenggara negara melalui laporan harta kekayaan penyelenggara negara belum berjalan optimal. Laporan transaksi mencurigakan di kementerian/lembaga yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tak selalu ditindaklanjuti oleh pengawas internal.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/3/2023), menyampaikan, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang sudah masuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR perlu segera dibahas dan disahkan sebagai undang-undang.
UU Perampasan Aset penting dihadirkan karena selama ini masih ada kompleksitas dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, terutama dalam hal proses pembuktian pada penambahan harta pejabat yang tak wajar, seperti ditemukan pada beberapa pejabat belakangan ini. Sebab, dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang harus dibuktikan dahulu upaya menyembunyikan asal-usul kekayaan.
”Padahal, masalahnya kekayaan penyelenggara negara meningkat signifikan dalam kurun waktu tertentu. Tetapi, tak bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya dari penghasilan sah atau ilegal,” ungkapnya.
Pada Rabu malam lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, selama tahun 2009-2023, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) sudah mengendus adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun yang bergerak di Kementerian Keuangan. Transaksi itu terdiri atas 200 laporan dan diduga melibatkan 460 orang di Kemenkeu. Namun, laporan yang sudah disampaikan PPATK kepada Kemenkeu itu tidak memperoleh respons.
Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun memeriksa harta kekayaan yang dimiliki bekas pejabat eselon III Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Kemenkeu Kanwil Jakarta Selatan Rafael Alun Trisambodo. Rafael diperiksa terkait dengan gaya hidup mewah anaknya yang tersangkut kasus penganiayaan.
Menurut laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), pada 24 Juni 2011, Rafael laporkan memiliki harta Rp 20,4 miliar. Pada 31 Desember 2021, ia melaporkan hartanya menjadi Rp 56,1 miliar.
”Terkadang, respons muncul setelah menjadi kasus. Kayak yang Rafael. Padahal, sebenarnya dulu sudah dilaporkan, tetapi didiamkan, baru sekarang ditindak,” ujar Mahfud.
Laporan soal transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu itu pun dibenarkan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Kamis. Menurut dia, laporan itu sifatnya amat rinci sehingga bisa ditindaklanjuti baik oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu maupun aparat penegak hukum.
Pengawasan tak berjalan
Mahfud mengatakan, kerap kali inspektorat jenderal baru memberi laporan ketika dipanggil oleh menteri. Artinya, pengawasan internal tidak berjalan karena ternyata ditemukan masalah di kemudian hari. Dia juga meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
”Saya sangat hormat dan salut kepada Bu Sri Mulyani yang begitu hebat membersihkan kasus lama tersebut. Semoga dapat mengambil tindakan-tindakan yang tepat,” ucapnya.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, saat ini KPK masih melanjutkan pemeriksaan terhadap beberapa pejabat yang diduga mengalami peningkatan harta kekayaan tak wajar. Selain Rafael, KPK tengah mengklarifikasi harta kekayaan bekas Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta Eko Darmanto yang mencapai Rp 15,7 miliar. Selain itu, ada pula Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur Wahono Saputro dan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono.
KPK menemukan nama istri Wahono Saputro sebagai pemegang saham di perusahaan properti bersama istri Rafael, Ernike Meike Tondorek. Total harta kekayaan Wahono yang dilaporkan di LHKPN tercatat Rp 14 miliar.
Adapun Andhi Pramono diperiksa karena kerap memamerkan harta kekayaan di media sosial. KPK juga telah menerima laporan hasil analisis mengenai transaksi mencurigakan dari PPATK terhadap Andhi pada 2022 lalu. Klarifikasi LHKPN untuk Wahono dan Andhi dijadwalkan digelar pada pekan depan.
Revisi aturan
Pahala mengungkapkan, LHKPN belum optimal menelusuri ketidakwajaran harta kekayaan penyelenggara negara. Salah satunya karena aturan LHKPN baru menyasar pejabat eselon I dan II. Padahal, ada kemungkinan para pejabat sudah memperoleh kekayaan tidak wajar sejak di golongan bawah.
”Kami akan revisi peraturan KPK di mana definisi level penyelenggara negara dibuat sampai di bawah eselon I dan II. Bagaimana agar pegawai biasa pun ada potensi untuk wajib lapor,” katanya.
Alvin menambahkan, jika ditambah dengan kehadiran UU Perampasan Aset, maka beban pembuktian juga bisa bergeser atau berbalik kepada termohon. ”Setelah aparat penegak hukum menyelesaikan proses pembuktiannya, beban pembuktian beralih pada termohon untuk menunjukkan bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan atau ilegal,” ucapnya.
Selain itu, jika ada UU Perampasan Aset, aparat penegak hukum tidak perlu membuktikan kejahatan termohon atau tindak pidana asalnya. Parameter pembuktian berfokus pada pembuktian terbalik, yaitu bagaimana termohon membuktikan peningkatan kepemilikan harta kekayaannya yang tidak wajar, apakah dari sumber yang sah atau ilegal.