Lembaga peradilan harus tetap mengacu pada konstitusi dalam membuat setiap putusan. Dalam konteks pemilu, konstitusi tegas mengatur bahwa pemilu harus digelar setiap lima tahun.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan lembaga peradilan di semua tingkatan harus sejalan dengan konstitusi. Putusan yang terindikasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang dikeluarkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024 tak boleh terulang lagi. Apalagi, saat ini gugatan partai politik yang berpotensi berdampak pada penundaan pemilu masih berlangsung di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gelombang gugatan terkait dengan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 belum berhenti seusai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima juga mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dengan penetapan 17 partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 tidak diterima. Dalam PK tersebut, Prima meminta pembatalan Surat Keputusan KPU Nomor 518 tentang Parpol Peserta Pemilu dan menetapkan Prima sebagai parpol peserta pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain Prima, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) juga mengajukan perlawanan ke PTUN atas gugatan terhadap berita acara (BA) hasil verifikasi faktual yang hasilnya gugatan tidak diterima. PKP kembali melakukan perlawanan atas putusan PTUN dan menginginkan agar hakim menyatakan PTUN berwenang memeriksa dan memutus gugatan dengan obyek sengketa BA.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, lembaga peradilan harus tetap mengacu pada konstitusi dalam membuat setiap putusan. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, konstitusi jelas mengatur bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun. ”Kita harus sama-sama menjaga agar konstitusi dijalankan. Kita punya pemilu yang berlangsung setiap lima tahunan, dan pada 2024 kita harapkan pemilu agar tetap dilaksanakan,” katanya dalam diskusi bertajuk ”Memaknai Konstitusi dalam Sistem Peradilan Pemilu”di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Taufik menambahkan, pengabaian konstitusi terlihat dalam Putusan PN Jakarta Pusat yang salah satunya memerintahkan KPU untuk tidak menyelenggarakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan dibacakan pada 2 Maret 2023. Putusan juga memerintahkan KPU agar melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Menurut dia, eksekusi terhadap putusan tersebut akan melanggar ketentuan penyelenggaraan pemilu yang ditetapkan dalam konstitusi. Ia pun menilai bahwa putusan tersebut tak bisa dieksekusi atau bersifat non executable.
Taufik memandang, putusan tersebut tidak akan menjadi masalah besar jika KPU melihatnya sebagai putusan yang tak bisa dieksekusi. Namun, itu akan menjadi hal lain apabila KPU justru bersikap sebaliknya, yakni menjalankan putusan tersebut. Ia menduga, terbitnya putusan tersebut merupakan salah satu modus dari upaya menunda pemilu yang sebelumnya pernah dilakukan melalui saluran lain, misalnya isu amendemen konstitusi dan persoalan stabilitas ekonomi nasional.
Perkuat memori banding
Menyikapi putusan tersebut, sebelumnya KPU telah menyatakan akan mengajukan banding dan tengah menyiapkan materi terkait. Taufik mengatakan, KPU harus memiliki memori banding yang kuat. ”KPU jangan masuk angin, jangan sampai memorinya lemah yang akhirnya keputusan pengadilan tinggi membenarkan putusan PN Jakarta Pusat,” ujarnya.
Ia juga berpandangan, putusan PN Jakarta Pusat mudah dipatahkan jika pengadilan tinggi melihat bahwa putusan itu keliru serta bisa berdampak pada penundaan pemilu. Dengan kejelasan sikap tersebut, ia meyakini, amar putusan tersebut akan dibatalkan. Peluang putusan tidak dibatalkan hanya akan terjadi jika ada kongkalikong antarpihak tertentu di pengadilan tinggi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, menambahkan, kuaitas memori banding KPU saat ini merupakan hal terpenting untuk mematahkan putusan PN Jakarta Pusat. Kualitas memori banding menjadi krusial karena itu merupakan dasar bagi PT untuk membuat putusan atas banding yang diajukan KPU.
”Ini, kan, baru putusan di tingkat pertama. Bagaimana kalau di tingkat dua kalah karena hakim di tingkat dua itu, kan, sumber putusannya adalah memori banding dan kontra memori banding,” katanya.
Habiburokhman menambahkan, semua pihak saat ini semestinya fokus pada kualitas memori banding KPU ketimbang hal-hal yang masih spekulatif. Sebab, Indonesia merupakan negara hukum sehingga keputusan hukum harus dilawan pula secara hukum. Berbagai spekulasi di luar persoalan itu hanya akan menambah kegaduhan.
Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono mengatakan, Prima berada dalam posisi politik berjuang agar bisa menjadi peserta Pemilu 2024. Sejumlah gugatan yang diajukan, baik ke Bawaslu, PN, PTUN, maupun MA, tidak berintensi untuk menunda pemilu. Ia berharap publik dan pemerintah tidak salah paham sehingga tidak meneliti gugatan mereka secara saksama dan menanggapinya secara reaktif.
Ia pun menjelaskan, gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Pusat bukanlah permohonan sengketa pemilu, melainkan terkait perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dimaksud adalah KPU dinilai tidak profesional dalam melaksanakan verifikasi administrasi terhadap Prima.