PN Jakarta Pusat Tak Berwenang Tunda Pemilu, KPU Tetap Lanjutkan Tahapan
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menegaskan KPU RI akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi atas putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU tidak melanjutkan tahapan Pemilu 2024 dan memulai lagi tahapan dari awal.
- Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menegaskan tahapan Pemilu 2024 tetap berjalan sesuai jadwal.
- Putusan PN Jakarta Pusat atas gugatan perdata Prima dinilai melampaui kewenangannya karena sengketa proses pemilu berada di ranah PTUN.
- PN Jakarta Pusat diminta menjelaskan putusannya yang menimbulkan kegaduhan politik.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum akan tetap menjalankan tahapan Pemilu 2024 sesuai jadwal. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memerintahkan KPU untuk tidak melanjutkan tahapan pemilu dan meminta KPU memulai kembali tahapan Pemilu 2024 dari awal.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, yang diketuai T Oyong dan hakim anggota H Bakri serta Dominggus Silaban, membacakan putusan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Kamis (2/3/2023). Dalam putusannya, majelis menerima seluruh gugatan. Majelis juga menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi materiil Rp 500 juta.
Selain itu, KPU dihukum agar tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan itu diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari. Majelis juga menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta. Adapun Prima mengajukan gugatan karena merasa dirugikan dalam tahap verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, KPU akan melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Di sisi lain, KPU akan terus menjalankan tahapan Pemilu 2024 karena tahapan dan jadwal yang telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal. Sebab, putusan tersebut tidak menyasar ke PKPU No 3/2022 sehingga KPU masih sah untuk melanjutkan tahapan Pemilu 2024.
”Dengan demikian, dasar hukum tentang tahapan dan jadwal masih sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai dasar bagi KPU melanjutkan tahapan Pemilu 2024,” ujarnya saat konferensi pers di Bali, Kamis (2/3/2023) malam.
Hasyim menuturkan, pihaknya juga telah mengajukan eksepsi atau perlawanan saat persidangan. KPU menyampaikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kewenangan untuk menguji produk KPU ranahnya ada di PTUN, termasuk terhadap Prima sudah pernah diuji di PTUN dan dinyatakan tidak diterima. Oleh karena itu, produk hukum KPU, termasuk penetapan parpol peserta Pemilu 2024, tetap sah dan tidak ada perubahan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, PN Jakpus membuat sensasi yang berlebihan. Ia meminta KPU mengajukan banding dan melawan putusan tersebut habis-habisan. ”Kalau secara logika hukum, pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” katanya.
Keyakinan itu didasarkan pada beberapa hal, pertama sengketa proses, administrasi, dan hasil pemilu bukan menjadi ranah pengadilan negeri, melainkan Bawaslu dan PTUN. Pengadilan umum tidak memiliki kompetensi memutus sengketa pemilu. Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Baca juga: Perintahkan Penundaan Pemilu, Putusan PN Jakpus Melampaui Kewenangannya
”Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU Pemilu, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan, tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” tutur Mahfud.
Menurut dia, vonis PN Jakpus tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. ”Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva berpendapat, KPU tidak perlu menjalankan putusan tersebut. Sebab putusan serta-merta pada umumnya tidak dalam kasus seperti ini, tetapi dalam kasus-kasus wanprestasi yang sangat sederhana, yang hanya melibatkan dua pihak atau pihak-pihak yang beperkara.
Padahal putusan tersebut menyangkut kepentingan publik, kepentingan parpol lain, dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, putusan itu tidak dapat dijalankan karena akan banyak sekali pihak lain yang dirugikan, yang seharusnya tidak dikenai oleh putusan ini.
”Putusan ini sebenarnya putusan para pihak, antara KPU dengan Prima. Tetapi, akibat putusan itu akan berdampak pada institusi negara yang lain. Institusi negara, kan, bisa terhambat pergantian kepemimpinannya jika pemilu ditunda. Partai-parpol lain pun pasti akan keberatan. Jadi putusan ini totally salah, keliru,” ucapnya.
Menurut Hamdan, PN tidak bisa memutuskan aspek publik yang berkaitan dengan kebijakan KPU, apalagi untuk melanjutkan atau menunda pemilu. Kalaupun KPU salah, putusan maksimal yang bisa dijatuhkan adalah hukuman ganti rugi. ”Jadi, kalau menunda pemilu, ini keliru, bukan kewenangannya. Ini putusan perkara perdata,” katanya.
Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, putusan PN Jakpus membingungkan sehingga perlu dijelaskan kepada seluruh pihak. Putusan ini juga mengacaukan konstruksi sistem keadilan dan penegakan hukum pemilu yang sudah terbangun cukup baik dalam UU Pemilu dan Konstitusi. Bahkan, putusannya dinilai tidak koheren antara fakta hukum dengan amar putusan yang dibuat sehingga tidak salah jika publik membaca kejanggalan dalam putusan tersebut.
”Justru agar tidak spekulatif dan liar, Komisi Yudisial perlu proaktif untuk mengambil langkah-langkah proporsional menindaklanjutinya. Apalagi, putusan ini sudah membuat gaduh dan menimbulkan kontroversi yang luar biasa bagi stabilitas demokrasi Indonesia,” ucap Titi.
Ia menilai, langkah KPU untuk melanjutkan tahapan pemilu sudah tepat. Sebab, KPU harus bekerja berdasarkan undang-undang dan konstitusi. Berdasarkan ketentuan yang ada, tidak ada satu pun klausul dalam UU Pemilu ataupun UUD 1945 yang memungkinkan penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan.
”Kalau KPU mengikuti putusan PN Jakpus, maka serta-merta akan menyimpangi Pasal 7 dan Pasal 22E UUD 1945 soal masa jabatan presiden dan wakil presiden yang rigid serta pemilu yang mesti terselenggara setiap lima tahun sekali. Sementara jika KPU menunda tahapan, KPU justru akan melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan dianggap bertindak inkonstitusional,” ujarnya.
Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono mengatakan, gugatan terhadap KPU dilayangkan karena terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU. Perbuatan yang dimaksud ialah menghilangkan hak Prima sebagai peserta pemilu dan hak untuk dipilih, yang merupakan hak konstitusi dan hak asasi yang diatur oleh hukum nasional ataupun internasional.
”Dalam tahapan verifikasi administrasi, Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan sehingga tidak dapat mengikuti proses verifikasi. Padahal, keanggotaan Prima telah memenuhi syarat,” katanya.
Ia menuturkan, Prima sudah menempuh jalur hukum ke Bawaslu dan PTUN. Hasilnya, gugatan tersebut tidak diterima karena PTUN merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengadili gugatan karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum. Pihaknya kemudian menggugat KPU ke PN Jakpus dan akhirnya seluruhnya dikabulkan.
”Sejak awal, Prima sudah mendesak agar tahapan proses pemilu dihentikan sementara dan KPU harus segera diaudit. Kami menilai penyelenggaraan Pemilu 2024 terdapat banyak masalah. Kami berharap semua pihak menghormati putusan Pengadilan Negeri tersebut,” kata Agus.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, menanggapi putusan PN Jakarta Pusat terkait gugatan Partai Prima, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengingatkan bahwa berpolitik harus menjunjung tinggi tata negara dan tata pemerintahan berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Persoalan mengenai UU terhadap konstitusi, semestinya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Penyelesaian sengketa pemilu pun semestinya berpedoman ke UU Pemilu.
Hasto menambahkan, Megawati juga menegaskan, MK telah menolak gugatan uji materi terhadap masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Putusan tersebut seharusnya menjadi rujukan. ”Atas dasar putusan MK tersebut, maka berbagai upaya penundaan pemilu adalah inkonstitusional. PDI Perjuangan sikapnya sangat kokoh, taat konstitusi, dan mendukung KPU agar pemilu berjalan tepat waktu. Karena itulah, Ibu Megawati menegaskan agar KPU tetap melanjutkan seluruh tahapan pemilu,” kata Hasto.
Tak hanya itu, PDI-P memandang, PN Jakarta Pusat tak memiliki wewenang terkait. Merujuk UU Pemilu, kewenangan penyelesaian sengketa dalam penetapan peserta pemilu adalah kewenangan Bawaslu dan PTUN. Sebelumnya, Partai Prima sudah pernah mengajukan gugatan ke kedua institusi tersebut, tetapi Bawaslu menolak gugatan tersebut. Putusan itu juga tidak merujuk pada Putusan MK yang menolak uji materi terkait perpanjangan masa jabatan presiden.
Oleh karena itu, PDI-P mendukung sikap KPU untuk mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat. ”Putusan PN Jakarta Pusat itu bukan ranahnya sehingga harus dibatalkan,” kata Hasto.
Terlepas dari persoalan hukum, kata Hasto, pihaknya menduga ada kejanggalan dalam pembuatan putusan itu. Kejanggalan dimaksud terkait dengan penyalahgunaan wewenang hakim PN Jakarta Pusat menyidangkan perkara yang bukan ranah pengadilan negeri. Untuk itu, PDI-P meminta Komisi Yudisial untuk menginvestigasi dugaan tersebut karena dikhawatirkan terkait dengan upaya untuk menunda Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan presiden.
”Berbagai upaya melakukan penundaan pemilu, termasuk yang dilakukan Partai Prima dan disetujui oleh PN Jakarta Pusat yang sama sekali tidak memiliki kewenangan berdasarkan UU Pemilu, maka hal tersebut sama saja dengan penggunaan hukum bagi kepentingan politik. Jika dibiarkan, ini bisa mematikan demokrasi,” ujar Hasto.