Prima Menggugat KPU Lewat Pengadilan karena Ingin Berkontestasi di Pemilu
Satu-satunya jalan agar Prima bisa kembali berkontestasi politik ialah dengan menghentikan proses pemilu kemudian mengulanginya dari awal. Pasalnya, selain Bawaslu menolak gugatan Prima, PTUN pun menolak permohonannya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima mengajukan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum semata-mata hanya untuk kembali berkontestasi dalam Pemilu 2024. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah Badan Pengawas Pemilu dan pengadian tata usaha negara menolak. Dengan putusan PN Jakarta Pusat, peluang mengulang proses pemilu yang tengah berlangsung menjadi terbuka dan Prima dapat menjadi peserta pemilu.
”Satu-satunya jalan agar Prima bisa kembali berkontestasi politik ialah dengan menghentikan proses pemilu kemudian mengulanginya dari awal,” ujar Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Prima, Jakarta, Jumat (3/3/2023). Dalam keterangan pers tersebut, Agus didampingi sejumlah pengurus Partai Prima.
Prima menggugat KPU, kata Agus, bukan karena perkara sengketa pemilu, melainkan akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU. Oleh karena itu, perkara dapat ditangani Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. KPU dinilai telah menggerus kesempatan Prima untuk lolos sebagai peserta pemilu.
Pada saat pendaftaran pada 12 Oktober 2022, Prima melengkapi 100 persen syarat dokumen yang harus dipenuhi. Namun, Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU mencatat hanya 97 persen. Ada kekurangan pada bagian keanggotaan Prima di sejumlah daerah.
Prima lantas mengadukan hal itu kepada Bawaslu. Bawaslu mengabulkan dan memberi waktu 1 x 24 jam kepada Prima untuk memperbaiki keanggotaannya. Namun, KPU tidak menjalankan ketentuan dari Bawaslu.
”Karena itu, kami menggugat KPU melakukan tindakan melawan hukum. Hak politik kami harus dipulihkan,” ucap Agus.
Tuntutan harus sesuai dengan kerugian yang diterima Prima. Putusan PN Jakarta Pusat untuk menunda pemilu sangat tidak cocok dan relevan dengan kerugian Prima.
Agus menambahkan, pihaknya tidak pernah berniat untuk menunda waktu pemilu. Namun, upaya agar Prima kembali masuk berkontestasi mengharuskan tahapan pemilu diulang.
Saat ditanya bahwa amar putusan PN Jakpus yang menghentikannya sisa tahapan pemilu dinilai sama juga dengan penundaan pemilu yang menjadi ranah publik dan bukan ranah perdata seperti dalam gugatan Prima di PN Jakpus, Wakil Ketua Umum Prima Ahmad Suluh Rifai menyatakan, Prima hanya menanti putusan tetap dari pengadilan. Pihaknya juga hanya akan mendaftar ulang sebagai peserta pemilu ke KPU saat diminta oleh pengadilan.”KPU harus menaati proses hukum yang sedang berlangsung,” kata Rifai.
Perihal amar putusan menghentikan tahapan pemilu dan memilih mengulangi tahapan pemilu, Rifai menjawab kembali bahwa pihaknya menyerahkan seluruh proses tersebut kepada pengadilan. ”Kini kami hanya menanti perkembangan putusan dari pengadilan saja,” ujar Rifai.
Sebelumnya, dalam pertimbangan putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, disebutkan KPU tidak memberikan kesempatan kepada Prima untuk memperbaiki dokumen keanggotaan di lima kabupaten/kota.
PN Jakarta Pusat menilai hal itu bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022. Dalam aturan itu tertuang, partai politik calon peserta pemilu dapat memperbaiki dan menyampaikan dokumen persyaratan perbaikan kepada KPU melalui Sipol.
Terkait hal itu, Kompas mencoba mengonfirmasi kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Dia meminta maaf belum bisa berkomentar lebih lanjut. Namun, KPU menyatakan akan tetap melakukan upaya banding dan terus melanjutkan tahapan Pemilu 2024.
Ini sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebut kewenangan menguji produk KPU ranahnya ada di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Oleh karena itu, produk hukum KPU, termasuk penetapan partai politik peserta Pemilu 2024, tetap sah dan tidak ada perubahan (Kompas, 3/3/2023).
Tidak masuk akal
Dosen hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada, Taufiq El Rahman, menyatakan, putusan PN Jakarta Pusat tidak masuk akal. PN Jakarta Pusat dinilai tidak memiliki kompetensi untuk memutuskan hal politik.
”Syarat untuk mengajukan perbuatan melawan hukum itu harus ada hubungan kausalitas dan sesuai,” kata Taufiq.
Tuntutan harus sesuai dengan kerugian yang diterima Prima. Putusan PN Jakarta Pusat untuk menunda pemilu, menurut Taufiq, sangat tidak cocok dan relevan dengan kerugian Prima.
Hal senada juga dituturkan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Menurut dia, putusan PN Jakarta Pusat untuk menghentikan tahapan dan mengulangi dari awal membuat pemilu tertunda. Penundaan hingga dua tahun empat bulan tujuh hari dinilai tidak sesuai konstitusi.
Syarat untuk mengajukan perbuatan melawan hukum itu harus ada hubungan kausalitas dan sesuai.
”Itu jelas melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu terakhir dilaksanakan pada 2019, maka menjadi harga mati bahwa pemilu berikutnya harus diselenggarakan pada tahun 2024,” kata Hidayat dalam keterangan resminya.
Putusan yang menghebohkan ini, lanjut Hidayat, seharusnya tidak dibuat. Karena itu, putusan ini perlu dibatalkan pada tingkat banding oleh pengadilan tinggi.