Kasus Ferdy Sambo dan Asa Publik pada Korps Bhayangkara
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menganggap kasus Ferdy Sambo merupakan pil pahit bagi Korps Bhayangkara. Namun, Polri akan menjadikan pil pahit itu sebagai obat untuk membenahi institusi kepolisian.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTI D UTAMI
Penerjun payung bersiap mendarat usai upacara peringatan hari ulang tahun ke-76 Bhayangkara di Akademi Kepolisian, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (5/7/2022).
Dua jenderal berbintang dua Polri terjegal kasus pidana dalam waktu yang hampir bersamaan. Ferdy Sambo yang dinilai hakim di pengadilan tingkat pertama menjadi dalang pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J telah dijatuhi hukuman mati dan diberhentikan dari Korps Bhayangkara. Sementara Teddy Minahasa yang didakwa terkait dalam peredaran narkoba masih menjalani persidangan di pengadilan.
Saat tersandung kasus pidana, keduanya sama-sama berpangkat inspektur jenderal. Sambo merupakan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, sedangkan Teddy baru saja ditugasi sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur saat ditangkap karena diduga terkait peredaran narkoba.
Dalam kasus Sambo, harapan publik sedikit banyak terpenuhi dengan vonis mati yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Vonis ringan sekaligus penetapan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu juga telah memenuhi keinginan publik. Terlebih, Polri memberikan kesempatan kepada Richard untuk tetap menjadi anggota kepolisian.
”Tentunya ini menjadi pelajaran berharga. Ini menjadi pil pahit bagi kami. Namun demikian, tentunya pil pahit itu harus menjadi obat untuk kemudian bagaimana kami melakukan perbaikan dalam waktu yang cepat,” kata Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Korps Bhayangkara Setelah Drama Duren Tiga” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (1/3/2023) malam.
Tangkapan layar Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dengan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk "Korps Bhayangkara Setelah Drama Duren Tiga", yang disiarkan Kompas TV, pada Rabu (1/3/2023) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo tersebut, juga hadir sebagai narasumber Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo; anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan; Guru Besar Universitas Bhayangkara, Hermawan Sulistyo; dan advokat senior Todung Mulya Lubis.
Meski menjadi pil pahit, menurut Listyo, kasus tersebut dijadikan momentum bagi Polri untuk melakukan perbaikan. Polri akan meningkatkan pelayanan publik dan memastikan kehadiran polisi dirasakan masyarakat.
Listyo juga terus mengingatkan semua anggota Polri agar berani menolak perintah atasan jika perintah itu dianggap salah. Sebaliknya, setiap pimpinan diminta melakukan pengawasan melekat dan menjadi teladan yang baik bagi anak buahnya.
Tidak hanya itu, Kapolri juga memastikan bahwa prinsip bersih dan transparan terus dipertahankan. Transparansi akan dimulai dari sistem perekrutan polisi. Permintaan uang dalam jumlah tertentu untuk dapat menjadi anggota Polri yang selama ini telah menjadi rahasia umum dipastikan tidak akan ada lagi. Asesmen juga akan diterapkan dalam setiap seleksi jabatan.
Tentunya ini menjadi pelajaran berharga. Ini menjadi pil pahit bagi kami. Namun demikian, tentunya pil pahit itu harus menjadi obat untuk kemudian bagaimana kami melakukan perbaikan dalam waktu yang cepat
Perbaikan juga akan dilakukan pada kualitas pelayanan publik. Salah satunya dengan menerapkan sistem tilang elektronik. Sistem tersebut membuat polisi tidak bersentuhan langsung dengan pihak yang beperkara, sehingga meminimalkan terjadinya penyimpangan. Di sisi lain, pihaknya juga menerapkan mekanisme pemberian ganjaran dan sanksi bagi jajarannya.
”(Bersikap) responsif, sense of crisis, apa yang menjadi keluhan masyarakat segera kita selesaikan, menempatkan hukum sebagai panglima sehingga siapa pun kalau memang dia salah, ya, kami tindak. Dan, bagaimana kami lebih peduli terhadap hal-hal yang mengusik rasa keadilan masyarakat,” tutur Listyo.
Tidak berhenti di situ, Kapolri juga memastikan akan membuka lebar ruang pengaduan bagi masyarakat, termasuk pengaduan melalui media sosial. Dengan berbagai upaya perbaikan tersebut, Polri diharapkan kembali mendapatkan kepercayaan publik.
Trimedya mengakui, saat ini polisi menjadi semakin responsif terhadap pengaduan masyarakat. Namun, hal yang lebih penting adalah pencegahan melalui pengawasan yang intensif.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar acara Satu Meja The Forum bertajuk "Korps Bhayangkara Setelah Drama Duren Tiga", yang disiarkan Kompas TV, pada Rabu (1/3/2023) malam.
Di sisi lain, Trimedya menilai, sejak awal reformasi hingga saat ini, tidak banyak terjadi perubahan perilaku polisi. Sebab, sejak dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), reformasi kultural di tubuh Polri belum selesai sampai sekarang. Oleh karena itu, Polri diharapkan tetap konsisten dan tegas menindak anggotanya yang bersalah.
”Sejak beliau (Listyo) menjadi Kapolri, pada saat beliau tidak rapat, kalau ada pesan Whatsapp tentang pengaduan, langsung di-forward kepada kapoldanya,” ujar Trimedya.
Sementara Hasto berharap, setelah kasus Sambo akan semakin banyak pihak yang bersedia menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. Sebab, hal itu telah memunculkan paradigma baru di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Proses hukum dan vonis yang diterima Richard, menurut Hasto, semestinya bisa dijadikan contoh bagi pihak yang ingin menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. ”Aparat penegak hukum sekarang sudah mulai berpikir progresif ke arah perubahan paradigma itu,” katanya.
Apresiasi
Survei Litbang Kompas pada Januari 2023 merekam, kepercayaan publik terhadap Polri relatif rendah, yakni 50 persen. Angka tersebut menempatkan Polri sebagai lembaga negara di posisi kedua terakhir yang mendapatkan citra positif dari publik sebelum Dewan Perwakilan Rakyat.
Meski begitu, Todung menegaskan, pernyataan dan komitmen Kapolri untuk melakukan perbaikan di Korps Bhayangkara patut diapresiasi. Sebab, selain sebagai sebuah tragedi, kasus itu juga akhirnya menjadi semacam kotak pandora yang berhasil membuka kebobrokan institusi kepolisian.
Kasus yang menjerat para perwira tinggi tersebut, menurut Todung, sekaligus mengafirmasi adanya persepsi negatif publik terhadap institusi penegakan hukum di Indonesia. Namun, Todung menyayangkan Kapolri tidak menyebut tentang perbaikan dalam penegakan hukum di institusi Polri setelah adanya kedua kasus tersebut.
”Saya setuju ini puncak gunung es. Publik tahu bahwa banyak kasus yang mungkin gradasinya di bawah (kasus Sambo), tidak sama. Misalnya, komentar bahwa orang yang kehilangan ayam mesti membayar dengan kambing kalau ke kantor polisi,” tuturnya.
Meski demikian, lanjut Todung, sejauh ini tidak banyak yang dilakukan institusi kepolisian dalam menanggapi keluhan semacam itu. Sementara salah satu perbaikan yang dinyatakan Kapolri adalah menerapkan sistem tilang elektronik. ”Saya apresiasi itu, tetapi itu tidak cukup,” ujar Todung.
Kasus yang menjerat Sambo memang merupakan pil pahit bagi Polri. Namun, tidak bisa dimungkiri, kasus itu juga telah membuka persoalan di internal Polri. Karena itu, Korps Bhayangkara mesti segera berbenah, seperti keinginan segenap masyarakat Indonesia.