Sudah satu dekade RUU Perampasan Aset tak dibahas. Aparat penegak hukum membutuhkan aturan itu untuk memudahkan pengambilan kembali aset hasil tindak pidana.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/5/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset kembali bergaung setelah merosotnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Namun, kekhawatiran bahwa aturan tersebut nantinya bakal menjadi bumerang yang menyerang balik penguasa ditengarai menjadi penyebab lambatnya pembahasan RUU itu.
RUU Perampasan Aset telah diusulkan menjadi legislasi prioritas sejak 2012. Namun, hingga kini tak kunjung dibahas pemerintah dan DPR. Pembahasan pun belum tampak tahun ini meski RUU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, menengarai, masih ada kekhawatiran dari pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang akan potensi serangan balik terhadap mereka jika RUU Perampasan Aset nantinya sudah disahkan.
”Ada kekhawatiran ini akan menjadi senjata makan tuan atau RUU ini mau diarahkan ke mana. Sebab, yang punya aset itu, kan, orang berkuasa, maka dikhawatirkan undang-undang ini nantinya mengarah ke orang yang berkuasa,” kata Nasir dalam diskusi bertajuk ”Urgensi RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana”, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Menurut Nasir, mengelola aset pada dasarnya sama dengan mengelola kekuasaan. Selain pengaturan, dibutuhkan juga pembatasan dan pengawasan. ”Sebab, orang yang berkuasa berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya karena itu butuh suatu peraturan perundang-undangan agar pihak yang berkuasa ini tidak menyalahgunakan, menggelapkan, atau mencuri aset negara,” tambahnya.
Ia menyatakan, konstitusi mengakui hak yang dimiliki warga negara, termasuk hak atas kepemilikan aset, sehingga aset warga negara tak serta-merta bisa dirampas. Namun, merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penolakan atas penghapusan hukuman mati, MK menyebut bahwa hak warga negara yang diatur dalam konstitusi tidak mutlak, tetapi dibatasi undang-undang. Menurut dia, hal itu juga berlaku pada hak kepemilikan aset.
Nasir menekankan, keberadaan RUU Perampasan Aset kian mendesak seiring dengan merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, pada 2022, Indonesia mencatatkan skor IPK sebesar 34, menurun dari capaian tahun sebelumnya, yakni 38. Skor itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan pun menjadi yang tertinggi sejak 1995.
Korupsi politik
Penurunan drastis itu salah satunya terjadi karena tingginya risiko korupsi politik. Dalam survei disebutkan, indikator Political Risk Service (PRS) merosot dari 48 poin pada 2021 menjadi 35 pada 2022. Hal-hal yang terkait dengan PRS di antaranya korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran suap untuk izin ekspor dan impor. Dari hasil penelusuran di survei dimaksud, korupsi politik semacam itu masih lazim terjadi.
Nasir mengatakan, penegak hukum membutuhkan payung hukum untuk tidak hanya mengejar para koruptor, tetapi juga mengambil kembali aset hasil korupsi. Oleh karena itu, pembahasan RUU Perampasan Aset perlu dipercepat.
”Kita dorong agar jalan yang seperti siput ini berubah menjadi jalan cepat. Mudah-mudahan RUU tidak bermaksud mengancam warga negara tertentu, tetapi bagian dari upaya untuk mengembalikan aset-aset yang disalahgunakan orang-orang yang punya kuasa,” kata Nasir.
Pada 3 Februari 2023, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan harapan agar DPR menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi seiring dengan penurunan IPK di Indonesia. Ia pun mengajak jajaran legislatif untuk bekerja sama dalam perumusan undang-undang yang berpihak pada pemberantasan korupsi, di antaranya RUU Perampasan Aset. Dengan UU Perampasan Aset, Mahfud meyakini, negara bisa menyita aset-aset terkait dugaan korupsi sekaligus membuat koruptor tidak berkutik (Kompas, 4/2/2023).
Niat memberantas korupsi
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat, pemerintah dan DPR cenderung tidak berani membahas RUU Perampasan Aset kendati memahami urgensinya.
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menko Polhukam Mahfud MD, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan berbagai hal terkait agenda pemberantasan korupsi, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/2/2023). Presiden menegaskan komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi tidak pernah surut. Dalam kaitan itu, Presiden mendorong agar dua rancangan undang-undang (RUU), yakni RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal, agar dikebut pembahasannya.
Hal itu mengindikasikan bahwa niat untuk memberantas korupsi belum sepenuhnya ingin dilaksanakan. Bahkan, Lucius menilai, lambatnya pembahasan itu sejalan dengan upaya pelemahan gerakan antikorupsi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menambahkan, UU Perampasan Aset diperlukan untuk memperkuat landasan bagi penegak hukum dalam mengambil kembali aset-aset hasil tindak pidana.
Selama ini penegak hukum hanya bisa menyita aset hasil tindak pidana jika ada putusan pengadilan. UU Perampasan Aset diharapkan bisa menciptakan sistem perampasan aset yang dilakukan tanpa harus didahului putusan pengadilan.
Selain itu, RUU Perampasan Aset juga harus menjaga keseimbangan dengan memperhatikan unsur hak warga negara. Caranya dengan memperjelas definisi status aset yang bisa dirampas, yakni harta hasil tindak pidana. Warga yang dirampas asetnya juga semestinya diberikan ruang untuk mengajukan keberatan di pengadilan.