Presiden Joko Widodo pada momen Hari Antikorupsi Sedunia beberapa waktu lalu mendesak pembentuk undang-undang untuk segera merampungkan pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Oleh
ACHMAD FAUZI
·4 menit baca
Pemulihan kerugian negara yang tak sebanding dengan ongkos pemberantasan korupsi ibarat besar pasak daripada tiang. Perampasan aset menjadi opsi suprematif agar harta hasil korupsi oleh para koruptor bisa dikembalikan dan menjadi penerimaan negara.
Presiden Joko Widodo pada momen Hari Antikorupsi Sedunia beberapa waktu lalu mendesak pembentuk undang-undang untuk segera merampungkan pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Sejak 2008, RUU tersebut telah diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan rampung disusun pada 2012.
Namun, hampir satu dasawarsa politik hukum kurang memihak sehingga RUU Perampasan Aset terkubur di dasar limbah sistem politik yang korup. Diskursus RUU Perampasan Aset semestinya dijangkarkan pada suatu politik hukum yang berorientasi pada kebutuhan rakyat dan daulat hukum, bukan daulat politik.
Sebagai negara demokrasi yang menganut sistem keterwakilan, politik hukum memiliki peran fundamental dalam bernegara. Padmo Wahjono (2010) mendefinisikan politik hukum sebagai kebijaksanaan penyelenggara negara dalam menetapkan kriteria menjadikan sesuatu sebagai hukum.
Maksudnya, dimensi kajian politik hukum mencoba menjawab pertanyaan tentang peraturan-peraturan hukum mana yang patut dijadikan hukum berikut alasan dasar dan tujuan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.
Tarik ulur pembahasan RUU Perampasan Aset mengindikasikan otentisitas politik hukum pembentuk UU terdegradasi oleh adanya kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing untuk menyelamatkan kepentingannya, baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi kekuatan politik terbesar.
Tesis ini sulit dimungkiri karena keberadaan RUU Perampasan Aset bisa menimbulkan turbulensi bagi jagat politik. Elite yang selama ini gemar menyamarkan aset hasil korupsinya atas nama pihak lain atau mengaburkan aset melalui tindak pidana pencucian uang, dengan kehadiran RUU ini, nasibnya bakal terancam.
Penyelamatan aset
RUU Perampasan Aset urgen diprioritaskan karena penyelamatan aset hasil korupsi salah satu instrumen yang efektif untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Tindakan penyelamatan aset negara mencakup pelacakan aset, pengelolaan aset, penyerahan aset, ataupun pemanfaatan dan pengawasan aset yang telah diserahkan. Selama ini aset pelaku tindak pidana sekadar diberi atribut barang bukti hasil kejahatan sehingga jauh dari konsep pemulihan kerugian negara.
Penyelamatan aset bisa diawali dengan pelacakan aset. Tujuannya, mengetahui keberadaan dan jenis aset yang disembunyikan dari hasil tindak pidana, yang akan digunakan untuk penggantian kerugian negara. Penelusuran dilakukan dengan mengikuti, mengungkap, dan memastikan keberadaan aset hasil tindak pidana korupsi melalui penelitian bahan keterangan atau alat bukti.
Penelusuran aset memungkinkan kerja sama dengan institusi terkait, seperti Penyedia Jasa Keuangan, KPK, dan PPATK. Ketika aset hasil korupsi terlacak, penegak hukum bisa melakukan langkah hukum berupa penyitaan, pembekuan sementara untuk mencegah pengalihan, penyitaan, ataupun perampasan sebagai bentuk upaya paksa pengambilalihan atas hak kepemilikan harta hasil korupsi melalui putusan pengadilan.
Merujuk Naskah Akademik RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (2012), penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana menjadi faktor fundamental yang mutlak dilakukan dalam menekan tingkat kejahatan. Purwaning M Yanuar (2007) secara lebih spesifik menyatakan, proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda merupakan instrumen pemulihan kerugian keuangan negara yang dimuat dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Sejatinya landasan hukum perampasan aset hasil korupsi diatur secara parsial di dalam UU Pemberantasan Tipikor. Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan, di antaranya ialah perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tak berwujud atau barang tak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang itu.
Perampasan dikualifikasikan dalam dua jenis, yakni perampasan in personam dan in rem. Perampasan in personam merupakan bagian dari sanksi pidana yang dibebankan kepada personal berdasarkan suatu putusan peradilan pidana. Mekanismenya, permohonan perampasan aset diajukan bersamaan dengan berkas penuntutan. Jaksa berkewajiban membuktikan aset yang akan dirampas merupakan hasil atau sarana dari sebuah tindak pidana.
Perampasan in rem merupakan perampasan perdata yang didahului dengan gugatan terhadap aset. Mekanismenya terpisah dari proses peradilan pidana dan membutuhkan bukti bahwa suatu properti telah tercemar oleh tindak pidana.
Menurut RUU Perampasan Aset, perampasan in rem adalah tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset itu yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana.
Tak ada pilihan lain dalam upaya pemulihan kerugian negara selain mempersempit lalu lintas aset koruptor. Karena itu, pertama, para penyelenggara negara harus kembali kepada khitah mewujudkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) bagi seluruh rakyat, bukan kesejahteraan koruptor.
Kedua, menghadirkan politik hukum yang otentik dengan memasukkan UU yang mengatur secara khusus perampasan aset hasil tindak pidana dalam sistem hukum nasional.
Ketiga, menyempurnakan pranata hukum terkait hubungan kerja sama timbal balik antarnegara demi mempermudah pelacakan dan penyitaan aset hasil tindak pidana. Kita tak ingin mengalami mimpi buruk sebagai negara distopia akibat Orde Reformasi memiliki distorsi sistem yang korup, bukan?
Achmad Fauzi,Mahasiswa Hukum Tata Negara pada Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Balikpapan