Belum Ada Kerugian Konstitusional, MK Tolak Tiga Uji Materi KUHP
Mahkamah Konstitusi menolak ketiga perkara uji materi sejumlah pasal di KUHP karena majelis menganggap Undang-Undang 1/2023 tentang KUHP itu belum berlaku dan belum menimbulkan kerugian konstitusional bagi para pemohon.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi, Selasa (28/2/2023), menolak tiga permohonan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP. Majelis hakim berpendapat, kekhawatiran para pemohon terhadap potensi yang dapat terjadi prematur karena UU KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Sidang pembacaan putusan uji materi tersebut dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Pemohon pertama di antaranya Zico Leonard Djagardo Simanjuntak beserta kuasa hukum Angela Claresta Foek, Rustina Haryati, Carlo Axton Lapian, Leon Maulana Mirza Pasha, dan tim. Para pemohon mempermasalahkan Pasal 433 Ayat (3) dan Pasal 434 Ayat (2) pada UU 1/2023 tentang KUHP, mengenai potensi pidana terkait pencemaran nama baik. Selain itu, juga Pasal 509 Huruf (a) dan (b) tentang pemberian keterangan yang bertentangan dengan keadaan sebenarnya pada advokat. Para pemohon menilai hal tersebut mengganggu kerja advokat.
Pemohon pada perkara lainnya ialah Fernando M Manullang, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Dina Listiorini, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta; sejumlah mahasiswa; dan salah satu pemilik platform digital yang fokus pada persoalan hukum. Kuasa hukum mereka ialah Zico, Angela, Rustina, Leon, dan Bella Christine. Para pemohon mempersoalkan ketentuan pada Pasal 218 Ayat (1) dan Pasal 219, Pasal 240 Ayat (1) dan Pasal 241 Ayat (1) KUHP. Para pemohon menilai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara melanggar asas kebebasan berpendapat.
Selain itu, ada juga uji materi yang diajukan 20 mahasiswa beserta kuasa hukumnya, Zico dan Dixon Sanjaya. Para pemohon mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 256 KUHP tentang unjuk rasa yang berpotensi menghambat mahasiswa untuk berunjuk rasa dan Pasal 603 serta Pasal 604 mengenai minimal pidana korupsi.
Dalam putusannya, majelis hakim menolak perkara uji materi yang diajukan tiga pemohon dengan alasan yang sama. Pasal yang dipersoalkan para pemohon dinilai belum berlaku dan belum memiliki ketentuan hukum yang mengikat.
Hal ini sesuai dengan Pasal 624 KUHP yang menyebutkan undang-undang mulai berlaku tiga tahun setelah diundangkan. UU KUHP diundangkan pada 2 Januari 2023 dan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Rentang waktu tiga tahun akan dimanfaatkan untuk menyosialisasikan UU KUHP.
”Dengan demikian, pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang,” ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul saat membacakan pertimbangan majelis.
MK tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut. Hal lain yang tidak dipertimbangkan juga dinilai MK tidak relevan.
Kerugian yang dimaksud para pemohon baik secara potensial (di masa depan) maupun aktual (saat ini) otomatis tidak dapat dibuktikan. Oleh karena itu, lanjut Manahan, MK tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan dari para pemohon. Hal lain yang tidak dipertimbangkan juga dinilai MK tidak relevan.
Para pemohon sudah mendalilkan uji materi perkara UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pada perkara itu, MK memberikan kedudukan hukum bagi para pemohon meski UU SPPA belum berlaku—seperti halnya UU KUHP.
Majelis hakim juga memasukkan hal tersebut dalam pertimbangannya. Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan, UU KUHP dan UU SPPA memiliki karakter yang sangat berbeda. Para pemohon perkara UU SPPA mempersoalkan ancaman pidana bagi para penegak hukum saat melakukan tugasnya. Hal ini tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya, yakni UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak.
Oleh karena itu, majelis hakim dalam perkara tersebut menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskan. Ini berkaitan dengan kekhawatiran bahkan ketakutan penegak hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan terdakwa atau tersangka anak.